2. Hari ke enam bulan.

1267 Kata
                                                                                    ***                                                                     Selamat membaca.                                                                                     ***                                                         Aku sama sekali tidak meminta untuk kamu yang selalu berada di sini, untuk kamu yang selalu menemaniku, untuk kamu yang selalu mendengarkan, aku hanya ingin kamu tidak membagi perasaan kamu, kepada orang lain, selain dari aku.                                                                                 ***             Fallany tersenyum hangat, sama seperti mentari yang Jefri lihat di pagi hari ini, tidak, walau sebenarnya ini belum siang, bukan waktunya mentari terbit, tapi, Jefri bisa melihat sebuah mentari yang menyinari harinya, ya, Fallany, kekasihnya, cintanya itu. “Pagi,” ucap Jefri, menyerahkan helm untuk Fallany.             Senyum Fallany jelas melebar, perempuan itu mengambil alih helm yang baru saja disodorkan oleh Jefri, pagi itu, semua baik-baik saja, bahkan Fella yang masih berdiri di depan rumahnya, menunggu supirnya untuk mengantar pun tersenyum sekilas saat melihat Jefri tersenyum hangat saat melirik spionnya, pagi itu, semuanya terlihat baik-baik saja, Banjarmasin tengah dipenuhi oleh rasa cinta Jefri dan juga Fallany.             Motor Jefri berhenti di SMA Banua, laki-laki itu melangkahkan kakinya dengan ceria bersama dengan Fallany dengan ringan, sebelum pesan yang ia terima kembali membuat laki-laki itu terdiam di tepatnya, pesan itu, pesan yang berasal dari Fella, sahabatnya, teman sekelasnya lebih tepat, ah atau bisa dibilang pesan dari sepupu kekasihnya. “Fella,” lirih Jefri, yang jelas membuat Fallany yang berjalan di samping laki-laki itu mendengarnya dengan jelas.             Fella, lirihan yang ia dengar itu membuat Fallany berpaling, ia menatap kekasihnya itu, menatap Jefri yang terlihat sekali bingung dengan keadaan, biar Fallany jelaskan sedikit kenapa wajah kekasihnya itu menjadi tidak enak dipandang seperti ini, walau dalam diam Fallany tahu bahwa Jefri khuwatir dengan sepupunya itu, ya, Fella berasal dari orangtua yang tidak harmonis, biasanya om Alex pulang dan langsung melakukan hal yang sama sekali tidak bisa dikatakan ramah kepada anak dan juga isterinya, ya, Om Alex adalah orang yang sangat ringan tangan – dalam hal yang sama sekali tidak bisa dijadikan contoh, ia bisa saja melayangkan apa pun kepada orang di rumahnya bila perasaanya tengah tidak baik-baik saja.             Jelas hal itu membuat Om Alex dan juga Tante Dila bercerai, ya, kekerasan yang sudah didapatkan oleh Tante Dila dari Om Alex membuat Tante Dila tidak urung menceraikan suaminya yang sudah hapir dua puluh tahun bersama dnegannya itu, perceraian yang dilakukan oleh kedua orangtua Fella baru saja satu tahun belakangan itu, dan itu juga menjadi salah satu sebab Om Alex masih menyimpan amarah besar dengan Tante Dila.             Sejujurnya Fallany juga tidak mengerti dengan keadaan dari keluarganya itu, yang ia tahu hanya itu hanya Om Alex yang berlaku semena-mena kepada Tante Dila dan membuat Tante Dila memilih untuk berpisah dari ayah dari Fella itu.             Jefri mengangguk dengan lemah, ia sudah berteman dengan Fella sudah dari kecil, ya, mereka sudah satu sekolah sejak taman kanak-kanak, bahkan juga sampai sekolah menengah atas ini mereka masih satu sekolah, sekolah Benua ini memang yayasan yang menyediakan sekoalh sejak TK hingga bangku menengah atas.             Jefri memghela napasnya, Fella bukan hanya sekedar teman bagi Jefri, tapi juga adik sekaligus sahabatnya, tapi, ia juga tidak bisa meninggalkan Fallany saat ini, dirinya sadar terlalu sering ia memilih untuk mengutamakan Fella, terlalu sering laki-laki itu meninggalkan Fallany sendirian, jelas itu juga membuat Jefri bertarung dengan batinnya sendiri saat ini.             Hembusan napas Fallany terdengar menggangu Jefri yang tengah berpikir keras saat ini, perempuan itu meliirk Jefri yang sedang menatap jalanan dengan kosong, tidak bisa dipungkiri, selama enam bulan ia bersama dengan Jefri, total waktu satu tahun ia habiskan bersama dnegan Jefri membuat Fallany sadar, bahwa statusnya sebagai kekasih Jefri masih saja tidak bisa tergeserkan dengan status Fella sebagai sahabatnya Jefri.             Ya, dirinya dan Fella memang tidak satu sekolah sejak dahulu, mereka satu sekolah hanya di SMA saja, tapi, ia tak jarang melihat Jefri yang bertemu dengan Fella, bahkan, Bang Jo – kakanya Fallany juga menjadi temannya Jefri, karena mereka hanya berbeda satu tahu saja, membuat lambat laun Fallany dan Jefri akhirnya juga berteman, dan juga insiden di luar rumah yang membuat hubungan mereka semakin dekat.             Fallany mengangguk sambil tersenyum, saat melihat Jefri yang yang melangkah kembali ke motornya, tidak bisa dipungkiri, karena sudah terlalu lama bersama dengan Fella, karena sudah terlalu kenal bersama dengan keluarga Fella, Jefri mampu meredakan amarah, dan salah satu alasan yang Fallany tahu dari Bang Jo, ayahnya Fella menginginkan anak laki-laki untuk menjari keturunan pertamanya, karena Jefri terlalu akrab dengan kelaurga itu Jefri sudah dianggap anak sendiri oleh Om Alex, membuat kadnag Om Alex lebih mendengarkan suara dari Jefri daripada anak dan isterinya.             Fella bersandar dengan tak nyaman di dalam mobilnya, setelah ia melihat motor Jefri yang berada di samping mobilnya kini, permepuan itu menyapu air matanya yang semakin deras turun, walau sebenarnya hal itu tidak bisa hentikan, menangis, ya saat ini Fella sedang menangis, dan Fella tahu obat yang bisa menyembuhkannya, obat yang bisa membuat dirinya tidak menangis lagi hanyalah Jefri, hanya laki-laki itu.             “Tapi lo enggak apa-apa kan La?” pertanyaan itu Jefri lemparkan saat Fella membuka pintu mobilnya.             Fella menggeleng tidak yakin, perempuan itu masih menuduk, ia mungkin bisa mengatakan bahwa Jefri adalah alasan dirinya bisa berhenti menangis, tapi, saat menangis seperti ini di depan Jefri juga mampu membuat dadanya terasa sesak, Fella juga tidak bisa mengontrol emosinya.             “Bisa ke sekolah? Atau mau bolos?” tanya Jefri akhirnya.             Fella tersenyum jahil, rasanya tidak ada kata bolos di kamus hidup seorang Yorik Jefriano Nilandram, ia sudah lama kenal dengan laki-laki itu, dan ia sama sekali tidak pernah mendapati bahwa Jefri berbohong atau melakukan hal yang semacam bolos itu. “Sudah, mending ke sekolah aja,” ucap Fella menerima helm yang disodrokan oleh Jefri, helm yang Fella lihat tadi pagi tengah digunakan oleh Fallany, sepupunya.             Helaan napas Fella terdengar saat tangannya masuk ke dalam saku jaket yang tengah Jefri kenakan, perempuan itu menghela napasnya, pagi senin yang cerah ini dirinya sudah menyusahkan Jefri.             Jefri juga sama, laki-laki itu tengah menghela napsnya dengan berat, rasanya tidak percaya, untuk kesekian kalinya dirinya melakukan hal ini, untuk kesekian kalinya laki-laki itu menghilang dari sisi Fallany hanya karena Fella, hanya karena perempuan itu tengah membutuhkannya.             Kadang Jefri sama sekali tidak bisa menemukan hal yang bisa ia banggakan untuk tetap bersanding dengan Fallany, tapi, nyatanya berpisah dengan Fallany adalah hal mustahil yang dilakukan oleh Jefri, Fallany adalah pilar tempat Jefri berpegangan, walau Jefri juga tahu dirinya adalah pilar yang tengah dipegang erat oleh Fella untuk dirinya tidak ternggelam dalam dunia ini, ya, hubungan mereka terlalu rumit, serumit kini pikiran yang benar-benar mengacaukan Jefri.             Jefri benar-benar tidak menepati perkataannya, dirinya jelas tidak akan membawa Fella untuk kabur dari sekolah hari ini, karena bagaimana pun keadaannya, kewajiban mereka adalah belajar, dan saat ini motor yang tengah dikendari oleh Jefri sudah kembali masuk ke halamann parkir SMA Banua khusus motor, mengingat jam sudah menunjukan hampir di angak tujuh, Jefri dan Fella segera bergegas ke kelasnya, karena upacara bendera pasti akan segera dilaksanakan.             Melihat Fella yang sudah kembali ceira dengan meyapa kembali beberapa kenalan mereka di sepanjang koridor membuat laki-laki itu tersenyum kecil, Fella memang begitu, mudah menangis, dan juga mudah kembali tetrawa, tak sampai di sana senyum Jefri terukir, ia juga tersenyum kecil saat melihat Fallany yang masih duduk di dalam kelas dan tengah membaca buku pelajaran, hingga mata mereka bertemu Jefri mengucapkan kalimat yang sedari tadi Fallany tunggu.             “Selamat hari ke enam bulan, Fallany,” kata Jefri dengan gerakan bibirnya saat melangkah bersama dengan Fella masuk ke dalam kelas mereka.             Fallany tersenyum kecil, ia tidak membalas ucapan yang baru saja Jefri katakan padanya, tapi, hatinya kini tengah memanjatkan seutas do’a yang Fallany pikir hanya dirinya dan Tuhan saja yang harus tahu do’a itu, “Selamat enam bulan juga Jefri, semoga kamu selalu bahagia, apa pun alasannya dan apa pun yang terjadi dihidup kamu.”                                                                                         ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN