Alex menepuk-nepuk bibir perempuan di hadapannya dengan miliknya yang besar, memaksa agar mulut perempuan itu terbuka dan mengulum seluruh bagian dari miliknya.
Alex lalu tersenyum sinis dengan kepatuhan perempuan itu yang telah ia setubuhi semalaman dan pagi ini Alex akan melakukannya lagi.
"Menungging," perintahnya sangat dominan. "I will f*ck you again, I won't stop until your legs are shaking, understand?"
"Yes, sir." Perempuan itu melakukan apa yang Alex suruh, pinggulnya tersaji di depan Alex, siap dimasuki.
Alex membelai menggunakan tangan, dua jarinya masuk dari belakang dan ia dapat mendengar perempuan itu melenguh. "Tell me, it's good, Darling?"
"Yes, sir."
Alex mengeluarkan jarinya, memposisikan miliknya pada tempat lembab yang menggairahkan. Alex mendorong masuk bersamaan dengan dirinya menarik rambut perempuan itu seperti menungganginya. Alex langsung memacu ritme, suara penyatuan terdengar diimbangi tangisan nikmat si perempuan.
Perempuan itu mendesahkan nama Alex entah bagaimana caranya ia mengetahui namanya namun Alex tidak peduli ia hanya ingin sampai puncak.
"Kak Alex??"
Alex menutup mata, terus memasuki dan mencari kepuasaan.
"Kak Alex? Aku tahu kamu di rumah!"
Alex masih menutup matanya dan mungkin ia sudah gila karena mendengar suara lain di sini.
Matanya terbuka, hujaman pada bagian belakang perempuan yang tak ia kenali masih sama cepatnya, dan suara perempuan yang memanggilnya "Kak Alex" bukan berasal dari mulut orang yang sedang ia cumbu.
"Seriously?" Alex berdecak setelah sadar suara siapa itu.
Pintu kamarnya terbuka menampilkan sosok perempuan dengan pakaian yang sangat nyentrik padahal ini masih pagi ditambah dua sarung tangan berwarna putih mirip film dansa kerajaan yang terlihat menyebalkan karena orang itu menyilangkan kedua tangan di depan badannya.
"Jadi suara-suara aneh sejak tadi berasal dari sini ya?"
Perempuan yang berada di atas ranang Alex langsung terkejut mendapati ada seseorang yang mengganggu penyatuan. "Si-siapa itu Alex?"
Alex mengeluarkan miliknya yang belun mendapatkan pelepasan. Ia memberikan selimut untuk menutupi tubuh polos perempuan asing itu.
"Astaga, pakai celana kamu, Kak!"
Alex mendengar teriakan, datangnya dari si penerobos rumahnya. Alex malah sengaja berjalan ke arah perempuan itu. "Kamu mengganggu aku, Cassie."
Cassie Irvadia Hartono sedikit menurunkan tangannya untuk mengintip ke bawah. "Kamu belum pakai celana, Kak!"
"My house my rules," ujar Alex dengan tegas. "Dan kenapa kamu tahu password rumah aku?"
"Apa itu penting?" Sekarang Cassie sepenuhnya menurunkan tangannya sehingga ia melihat tubuh polos Alex. Dadanya sangat kekar, dan perutnya...
Cassie berdeham, "Aku ingin bicara. Soal yang semalam."
"Kamu bisa menelepon aku dan membuat janji daripada masuk sembarangan ke rumah orang, Cassie." Alex berjalan untuk memungut celananya yang ada di lantai lalu berkata kepada perempuan asing yang menggulung tubuhnya dengan selimut, "You can go now."
"Apa kamu akan menelepon aku?" tanyanya penuh khayalan.
"No." Alex mengatakannya sangat jelas.
"Tapi semalam..."
"ONS, kamu berharap apa?"
Perempuan itu merasa sangat malu sehingga ia mengambil pakaiannya yang juga tergeletak di lantai lalu memakainya dengan cepat. Keluar dari kamar Alex dan menatap sinis kepada Cassie.
Cassie melihat itu semua sehingga ia tidak tahan untuk berkomentar tentang kebiasaan Alex. "Apa kamu sering melakukan one night stand?"
"Ya." Alex tidak menutupi.
"Dengan wanita asing? Random?"
"Aku tahu orang seperti apa yang ada di J'Land, Cassie."
"Lalu kamu hanya menidurinya dan nggak bertanggung jawab?"
"Dia menikmati saat aku setubuhi, bagian mana dari aku yang harus bertanggung jawab?"
"Kamu sangat b*rengsek."
"Ya, cantik. It's me." Alex menjawab tenang. "Apa kamu masih ingin memiliki perjanjian dengan orang b*rengsek ini?"
"Tentu!" Cassie merasa tidak punya pilihan setelah semalam ia mencium Alexander Madava di J'Land. Bahkan kakaknya sampai tahu.
"Good," Alex tersenyum sinis. "Kamu memang sebaiknya bertanggung jawab setelah mencium aku sembarangan."
"Aku kan sudah menjelaskan alasannya!"
"I know."
"Kalau begitu Kakak setuju, kan?"
"Ya," Alex mengangguk, "tapi lain kali telepon aku kalau ingin membicarakan sesuatu jangan datang seenaknya seperti tadi."
"Takut aku pergoki sedang meniduri perempuan-perempuan asing, ya?" tuduh Cassie seperti ejekan. "Ternyata Alexander Madava punya malu?"
Alex adalah seorang pengacara, ia terbiasa mendebat orang di pengadilan dengan bahasa yang santun namun tegas. Menurutnya berbicara dengan perempuan hanya buang-buang waktu sehingga ia berjalan ke dapur dan Cassie mengikutinya.
"Aku belum sarapan, apa kamu mau sekalian sarapan di sini?" tanya Alex kepada Cassie ketika ia mengeluarkan cereal dari lemari es.
"No, thanks." Cassie menggeleng. "Aku ke sini cuma mau memastikan kalau Kak Alex setuju dengan perjanjian aku."
"Perjanjian kamu?" Alex mengulangi.
"Ya. Itu perjanjian aku, jadi Kak Alex hanya tinggal menuruti apa yang aku katakan."
Alex tak menuruti siapa-siapa bahkan orangtuanya, menurutnya lucu ada perempuan dari keluarga kaya raya menyuruhnya untuk menurut.
"Cassie, kamu mengundang dan melakukan perjanjian dengan iblis yang salah." Alex menatap lekat kepada Cassie.
Dengan percaya diri Cassie menjawab, "Kalau begitu aku akan membuat sang iblis ini berlutut di kaki aku. Aku nggak takut dengan Alexander Madava."
***
Beberapa jam sebelumnya....
Cassie merasakan ciuman itu terlepas. Rasa bibir Alex masih membuatnya termenung sehingga ketika pria itu membawanya keluar dari J-Land, Cassie menurut.
"Aku mau dibawa ke mana?" Cassie bertanya setelah mereka berdua memasuki lift dan setelah keluar, Cassie melihat mobil mewah berjejer. Oh, tempat parkir.
Tunggu...
"Apa aku mau diculik?!" Tiba-tiba Cassie menjadi heboh dan bergerak melepaskan genggaman Alex pada pergelangan tangannya.
Alex dengan tenang bertanya, "Cassie, kamu mabuk?" meski Alex yakin wanita itu tidak minum alkohol. Sebab bibirnya manis dan sama sekali tak berbau.
"Saya antar kamu pulang." Alex membukakan pintu penumpang depan.
"Kata siapa aku mau pulang?"
"Lalu kamu mau apa? Menjelaskan kenapa tadi kamu mencium saya?"
Cassie berdeham kaku, sudah sepatutnya Alex meminta penjelasan. "Ayo bicara di dalam mobil kakak."
Alex membiarkan Cassie duduk di kursi penumpang depan sedangkan dirinya juga berjalan memutar untuk duduk di kursi kemudi.
"Kak Alex jangan menikah dengan Tavisa," ujar Cassie, langsung.
"Kamu tahu dari mana?"
"Jadi bener kata si ular kalau kak Alex calon suaminya?"
Si ular?
Alex lalu mendengar penjelasan Cassie, "Maaf mencium kakak seperti tadi, aku lagi balas dendam."
Balas dendam?
"Saya ada salah sama kamu?" Alex memastikan.
"Oh, bukan kakak, tapi Tavisa Wyne."
"Saya nggak tahu ada urusan apa kamu dengan Tavisa, tapi saya memang dikenalkan oleh mama—saya dijodohkan dengan Tavisa Wyne."
"Jangan menikah sama dia! Sifat dia itu jelek!"
Alex mengerutkan kening—merasa tertarik.
Bukan karena ingin tahu sifat jelek apa yang dimiliki Tavisa, melainkan mengapa Cassie sangat tidak ingin dirinya menikah dengan Tavisa. Alex dan Cassie bahkan bukan teman.
"Apa kamu mengatakan ini karena kamu punya dendam pribadi terhadap Tavisa?" Alex bertanya. "Tavisa Wyne adalah dokter, Cassie. Dan mama saya nggak mungkin mengenalkan perempuan sembarangan."
Cassie berusaha membuka mata pria yang menatapnya tenang, "Kak Alex nggak tahu berita, ya? Papanya Tavisa membayar media supaya masyarakat nggak tahu kalau Tavisa pernah dua kali salah kasih obat sampai pasiennya lumpuh."
"Kamu serius, Cassie?'
"Serius."
"...."
"...."
"Masih banyak cewek di luar sana yang lebih baik daripada si penyihir muka dua itu, Kak Alex!"
"Contohnya perempuan dari keluaga Hartono?" Alex bergurau.
"Ya. Aku bisa jadi istri kak Alex."
Alex tidak menyangka kata-kata kosongnya ditimpali. "Kenapa kamu mendadak ingin jadi istri saya, Cassie?"
"Karena aku nggak mau Tavisa Wyne bahagia mendapatkan pria tampan dan sek—" Cassie tak melanjutkan kalimatnya dan ia melihat Alex menyeringai. "Aku ingin melihat Tavisa menangis tersedu-sedu karena pria impiannya—kamu, kak Alex—aku rebut."
"Jadi kamu memanfaatkan saya untuk balas dendam, ya?" Alex sama sekali tidak tersinggung, ia hanya memancing sedikit karena Cassie terlihat sangat serius.
"Katakan aja seperti itu tapi ini akan jadi win-win solution. Kamu menikahi seorang Hartono, kak. Kamu akan mendapatkan istri dari keluarga berpengaruh. Mama kakak akan lebih senang memiliki aku sebagai menantu daripada dokter palsu bernama Tavisa."
Alex mendengar nada angkuh dari ucapan Cassie, dan merasa maklum karena Cassie hidup seperti puteri di dalam dongeng indahnya sendiri.
Lalu putri berharga dari keluarga Hartono ini sekarang memberikan penawaran padanya.
Alex pikir Cassie konyol.
"Saya cari perempuan untuk ditiduri, bukan cari istri."
Mendengar ucapan Alex, Cassie berkedip—terkejut—meski harusnya tak terkejut karena reputasi Alex yang sering ganti-ganti teman tidur menjadi rahasia umum.
"Kecuali kalau kamu mau saya tiduri terlebih dahulu, saya akan pertimbangkan menikahi kamu." Alex kembali bergurau.
Namun Cassie menjadi marah. "Dasar b*rengsek."
Alex tertawa. "Sudah tahu saya seperti itu kenapa malah minta saya jadikan istri, Cassie?"
"Aku dari keluarga terhormat dan aku nggak akan melakukan seks sebelum menikah!"
"Baiklah, princess...." Alex meledek.
"Aku serius."
"Saya juga bercanda, Cassie. Arik akan membunuh saya kalau adiknya dibawa ke tempat tidur."
Mereka berdua terdiam beberapa detik sampai Cassie kembali membuka suara, "Menurut aku udah saatnya kak Alex bertaubat."
Alex merasa lucu mendengarnya. "Apa kamu akan menceramahi saya, Cassie?"
"Bukan itu maksud aku. Kak Alex adalah putra pertama, bukannya kakak harus menikah dan punya anak untuk meneruskan kejayaan keluarga Madava?"
Alex memang sudah dipaksa menikah oleh ibunya, namun seingatnya Tavisa Wyne adalah calon istinya—itu pun Alex masih belum setuju. Kenapa sekarang adik dari sahabatnya meminta untuk dinikahi?
Apa semesta sedang main lempar dadu dengannya?
"Bukannya saya nggak mau menikahi kamu, tapi kamu berhak mendapatkan pria baik-baik, Cassie." Alex bersungguh-sungguh.
"Apa sering tidur dengan banyak perempuan membuat kak Alex menjadi nggak baik?"
"Masyarakat menganggapnya seperti itu, bukan?"
"Well, aku nggak peduli sama omongan orang."
Cassie nampak tenang dan Alex mengangkat sebelah alisnya. "Cassie, kamu benar-benar dendam dengan Tavisa?"
"Iya!" Cassie mengangguk cepat.
"...."
"...."
"Kak Alex?"
Alex berpikir cukup lama.
Lalu...
"Di mana saya harus tanda tangan perjanjiannya, Cassie?"
"Tunggu... KAK ALEX SETUJU?!" Cassie berteriak senang.
Alex menahan senyum. Menurutnya Cassie seperti tokoh kartun yang polos. Ceria, bersemangat, tak tahu bahwa dunia ini penuh orang jahat.
"Karena kakak setuju, berhenti panggil diri kakak 'saya' kalau bicara sama aku."
"Kenapa?"
"Aku seperti ngobrol sama om-om."
Alex langsung tertawa keras. P3nis besarnya pasti tersinggung karena dipanggil om-om. []