Alex lebih suka pasta daripada sushi, oke Cassie akan ingat.
Cassie juga menjadi ingat sedikit-sedikit tentang Alex di masa yang lalu. Dan ingat tentang dirinya sendiri.
Jika harus menjelaskan bagaimana dirinya dibesarkan, Cassie selalu bersyukur. Dirinya mendapatkan sesuatu yang orang banyak sebut sebagai ‘privilege’. Hanya melihat nama belakangnya saja tentu itu sudah sebuah hak istimewa.
Alex juga seperti itu. Keluarganya turun-temurun menjadi orang berpengaruh di negara ini, atau lebih jelasnya di persidangan-persidangan krusial.
Ayahnya Alex, Tuan Gibran Madava adalah pengacara terkenal dan dihormati. Jika ada mahasiswa hukum ditanya di mana mereka ingin bekerja atau magang, pasti jawabannya di firma hukum Gibran Madava.
Meski begitu, Alex tidak bekerja di firma hukum ayahnya melainkan membangun bisnisnya sendiri.
Sedangkan keluarga Hartono hampir menguasai bisnis real estate, namanya penting di pasar proverti, juga berperan besar dalam rantai rumah sakit di Indonesia. Keluarga Hartono mensuplai obat-obatan serta alat kesehatan yang dibutuhkan makhluk hidup, mereka adalah orang-orang penting di bidangnya. Resort, gedung dan sederet hunian mewah, juga berdiri atas nama Hartono Grup.
Cassie memanfaatkan privilege miliknya dengan baik. Masuk sekolah terbaik sampai meneruskan untuk menuntut ilmu di kampus luar negeri. Bekerja sesuai minatnya, bahkan mendapatkan perlindungan kelas satu. Dan Cassie juga tahu Alex kuliah di luar negeri sampai jadi pengacara sukses sekarang.
Apa dengan menjadi anak dari keluarga berpengaruh membuat mereka berdua tak memiliki kesulitan? Tentu ada.
Satu-satunya kesulitan Cassie mungkin hanya mengupas jeruk, begitu orang bilang. Dan Cassie tidak mau repot-repot mendebat karena memang benar. Lagi pula untuk apa ia mengupas sesuatu jika asisten rumah tangganya ada untuk melayaninya?
Cassie seperti hidup di negeri dongeng.
Cantik, pintar, dari keluarga berpengaruh, punya segalanya.
Ya, begitulah hidup Cassie Irvadia Hartono.
Namun bagi Cassie, tetap ada kekurangan di dalam hidupnya. Hal-hal yang tidak leluasa ia lakukan saat dirinya remaja.
Cassie senang punya kakak laki-laki secerdas Arik, namun menjadi menjengkelkan sebab Arik begitu protektif padanya melebihi ayahnya.
Cassie masih ingat bagaimana kakaknya tetap bisa ikut campur saat Cassie masuk SMA padahal Arik tinggal di California untuk kuliah di Stanford.
Arik tidak mengizinkan Cassie dekat dengan anak lelaki meskipun itu dari keluarga yang mereka kenal. Arik ingin Cassie fokus belajar dan menyusulnya untuk melanjutkan pendidikan di Stanford.
Apa Cassie pergi kuliah di kampus yang sama dengan Arik? Ya, namun ia pindah ke Boston setelah satu semester karena tidak mau mendapatkan larangan ini-itu dari Arik.
Apakah Cassie terbebas? Oh, tentu tidak. Di Boston, ternyata ada Alex yang menjadi mata-mata Arik untuk melaporkan apa saja yang dilakukannya. Padahal Alex sedang magang di salah satu firma hukum, tapi entah mengapa pria itu menurut kepada Arik untuk melaporkan kegiatan Cassie.
Saat di Boston, sebenarnya Cassie selalu rutin bertemu dengan Alex, kurang lebih dua tahun sampai Alex kembali ke Indonesia karena ia akan membangun kantor dan firma hukumnya sendiri.
Selama di Boston, Alex adalah tipe pria yang selalu membaca buku—sebenarnya sejak dulu, sejak kecil—Alex adalah tipe seseorang yang akan berlama-lama berkencan dengan lembaran-lembaran beraroma khas itu namun bukan seorang cupu.
Alex membaca buku dengan seksi. Well, itu sih yang Cassie pikirkan saat itu.
Alex selalu lebih peduli pada buku dibandingkan perempuan. Saat di Boston, Cassie tidak pernah melihat Alex menggoda perempuan atau jalan dengan salah satu dari mereka.
Lalu kini julukan pria itu adalah playboy yang sering ganti-ganti cewek. Alexander Madava terkenal karena kemampuannya menjadi pengacara plus kehebatannya di ranjang—kata perempuan-perempuan yang sudah tidur dengan Alex.
Cassie tidak mengerti mengapa Alex menjadi seperti itu.
Sepertinya semua orang berubah. Iya kan?
***
Boston, sembilan tahun lalu....
“Apa kak Alex akan mengikuti aku seharian?” Cassie punya pesta sampai pagi malam nanti dan ia ingin pria di hadapannya tidak menghalangi rencananya.
“Kamu tahu aku gak mengikuti kamu, Cassie,” ujar Alex yang tampak tenang membaca koran pagi sambil menunggu kopi pesananya datang.
“Yes, you are!” tuduh Cassie dengan sengaja. “Teman-teman aku ngira kak Alex sugar daddy aku karena kita selalu ketemu setiap hari.”
“Teman-teman kamu tidak kompeten kalau begitu.” Alex masih membaca koran, sama sekali tidak menatap Cassie yang kesal.
“Tidak kompeten?!” ulang Cassie. “Hei, sir, aku berteman bukan cari partner kerja!”
“Cassie...” Alex menurunkan koran, sehingga wajahnya yang sedang memakai kacamata bisa dilihat Cassie. “Teman dan lingkungan ikut andil dalam pembentukan karakter—“
“Stop.” Cassie mengangkat tangannya ke udara. “Jangan ceramah, hari minggu masih lusa. Kak Alex bener-bener mirip kak Arik, menyebalkan.”
Alex pura-pura tidak mendengar kalimat terakhir Cassie. “Kamu ada ujian hari senin nanti, kan? Seharusnya belajar, bukan ke pesta.”
“Nggak semua mahasiswa cinta buku seperti kak Alex!”
“Aku bukan lagi mahasiswa,” bela Alex. “Apa perlu aku tunjukan kartu nama di mana firma hukum tempat aku magang, Cassie?”
“Kak Alex bener-bener nyebelin.” Cassie berdecak. “Aku perlu ke pesta sebelum ujian supaya aku fokus.”
“Bullshit. Kamu perlu belajar untuk lulus seluruh mata kuliah.”
“Ini Boston. Dan aku gak perlu izin kak Alex untuk pesta.”
“Arik menyuruh aku—“
“Persetan dengan kak Arik, dia gak ada di sini!”
Alex mengangkat sebelah alisnya mendengar Cassie mengumpat. “Kamu tahu Arik cuma mencoba melindungi kamu, Cassie. Kamu adik perempuannya.”
“Kak Arik bukan Iron Man, dia gak perlu melindungi aku.” Cassie sinis lalu menunjuk Alex dengan garpu dari pancake-nya. “Dan Kak Alex bukan Captain America, jadi jangan sok-sokan melindungi aku juga.”
“Aku nggak melindungi kamu,” ujar Alex lebih bersabar. Berbicara dengan gadis yang masih kuliah harus hati-hati karena masa-masa Cassie saat ini adalah waktu yang sering dipakai untuk menjadi pembangkang. “Aku cuma menyampaikan kekhawatiran Arik. Sebenernya aku gak peduli kamu mau ngapain, Cassie.”
Cassie sedikit mengerjap dan menurunkan garpu. “Kalau gitu, aku boleh ke pesta kan malem ini?”
Alex menaikkan bahu, kembali membuka koran dan membacanya. “Pergi aja.”
Tapi Cassie curiga. “Kak Alex pasti akan lapor ke kak Arik, kan???”
“Nggak.”
“Serius?”
“Iya.”
“Kak Alex bersumpah?”
“Pergi aja, Cassie. Lagian malem ini aku gak bisa merhatiin kamu.”
“Kak Alex ada acara?” Cassie penasaran karena biasanya Alex lebih senang mengintilinya.
“Ada buku baru yang mau aku baca.”
“Astaga...” Cassie menatap iba kepada Alex.
Alex menurunkan korannya lagi. “Kenapa?”
“Apa kak Alex gak punya hobi lain? Apa kak Alex gak punya teman untuk diajak ke pesta?”
“Aku gak suka hal-hal seperti itu, Cassie.”
“Kak Alex mau ikut aku ke pesta?” Cassie merasa kasihan kepada Alex.
“Nggak, terima kasih.”
“Libur baca buku satu hari gak akan membuat otak encer kakak jadi bodoh.”
“Aku mau di apartemen malem ini, Cassie.”
“Oke, up to you. Selamat pacaran sama buku.” Cassie tidak ingin memaksa. Malah bagus jika Alex tidak ada bersamanya di satu ruangan berarti ia bebas berpesta tanpa Alexander Madava.
Cassie akan bersenang-senang bersama teman-temannya, gadis-gadis Boston. Menikmati masa muda yang tidak datang dua kali. []
---------------------------
Hai, apa kabar semuanya?
Follow my i********:; galeri.ken