Anggapan Yang Terbantahkan

945 Kata
Memasuki usia pernikahan ke dua puluh, kini usiaku empat puluh tiga tahun lebih tujuh bulan. Saat itu usia pernikahan Aprin juga masuk enam tahun. Neli juga sudah hampir setahun menikah. Pagi itu aku berangkat kerja, setiba di tempat kerja ada beberapa rekan kerja yang masih duduk-duduk di halaman sambil menunggu waktu masuk kerja. Mereka bilang Neli demam, dia tak masuk hari ini. "Tumben demam, biasanya paling cepat datang." kata Isma, salah satu rekan kerjaku yg lain. "Kalau demam bawaan, siapa tahu positif." kata Ria rekan kerja yang sedang hamil anak keduanya. "Syukur alhamdulillah..." kata Ara yang datang-datang langsung nimbrung percakapan kami. Ara juga sedang hamil anak keduanya. Ara dua minggu lebih dulu hamil daripada Ria. "Iya biasanya hamil itu menular, siapa lagi yang bakalan hamil setelah kami." kata Ara dan Ria sembari tertawa. "Mudah-mudahan Aprin segera menyusul." kata mereka bersamaan. Aku hanya diam. Dalam hati berkata "Tak ada orang yang bersimpati padaku lagi, mungkin untuk mendoakan aku saja mereka sudah lupa." Tiba-tiba, "Mudah-mudahan Bu Elis juga segera menyusul." kata Ria. Mungkin setelah dia melihatku diam saja, baru menyadari suasana yang kurang enak saat itu. Jam kerja pun dimulai, mereka masuk dan berjalan menuju tempat kerja masing-masing. Jam sepuluh, istirahat kerja pun tiba, sekitar setengah jam waktu istirahat kami. Kami masih sempatkan waktu untuk bergurau ditengah waktu istirahat sambil melepaskan lelah dan mengendurkan saraf otak. Kami pergi ke kantin untuk mengisi perut dan minum es, teh maupun kopi sesuai selera masing-masing. Ada saja yang nyeletuk, "Kalau betul Neli hamil, banyak yang cuti." "Iya, aku yang paling duluan cuti." kata Ara. "Aku menyusul setelahnya." sambung Ria. "Iya, juga ya." sahut Titi dan Eri bersamaan. "HPL mu kapan Ra? tanya Eri. "Bulan puasa, tapi tak tahu maju mundurnya." jawab Ara. "Kalau kau Ria, kapan HPL mu?" tanya Eri pada Ria. "Pokoknya setelah Ara launching, aku harus siap-siap meluncur ke kota, aku mau melahirkan normal." kata Ria menjelaskan. Waktu cepat berlalu, tak terasa jam dua, saat pulang kerja pun tiba. Masing-masing berjalan menuju tempat parkir masih sambil bergurau dan bercerita. Ada yang langsung pulang ke rumah, tapi ada juga yang singgah untuk santap siang di warung bakso sambil minum es sebelum pulang. Keesokkan harinya Neli masuk kerja seperti biasanya. Begitu tiba di tempat kerja, seperti biasa sambil menunggu waktu kami duduk-duduk dan menanyai Neli. Nampak Reva berjalan menuju ke arah kami. "Nel, positif kah?" tanya Eri penasaran. "Alhamdulillah, iya Bu." jawabnya dengan gembira. "Aku senang Nel, kau hamil. Sehat-sehat ya." kata Aprin keras. Aku tahu, Aprin sengaja menyinggung Reva. "Iya Bu, terimakasih. Mudah-mudahan bu Aprin dan Bu Elis segera menyusul, aamiin."jawab Neli. Iya Nel, ini mematahkan anggapan bahwa berteman dengan kami tidak membuatmu tidak beranak." kata Aprin masih dengan sengaja menyinggung Reva. Susan juga ikut berbicara, "Iya, kami bersyukur, mudah-mudahan lah yang belum diberi rezeki keturunan, doanya segera di ijabah oleh Allah SWT, aamiin." Tak lama jam kerja pun di mulai, kami bekerja seperti biasa sampai jam dua siang. Aku dan beberapa teman dekatku yang lain, Lili, Aprin dan Neli pulang bersama, lalu kami singgah makan di warung bakso Isma. Selain bekerja Isma juga punya usaha sampingan untuk menambah pundi-pundi penghasilannya dari warung bakso. Meski ia harus membayar gaji dua orang pekerja. Itulah tempat kami selalu nongkrong dan bercerita macam-macam. Sesampainya di warung bakso, kami mengambil tempat di dekat kipas angin, supaya dingin. Dingin dari cuaca panas serta dingin dari amarah. Karena Aprin sepertinya masih belum tuntas melepaskan geram hatinya terhadap Reva. Sambil menulis menu pesanan kami, kami lanjut ngerumpi. "Sengaja tadi aku kuat-kuat bilang, kalau aku senang, bersyukur dirimu hamil Neli, biar dia merasa." kata Aprin melepaskan geramnya dengan berapi-api. "Kok tega sekali dia bilang seperti itu, andai dia yang mengalami, dan di bilang seperti itu, bagaimana perasaannya?" kata Susan "Umur saja tua tapi pikirannya tidak dewasa. Orang dewasa dipikir dulu baru ngomong, kalau dia ngomong dulu baru mikir." timpal Lili. "Sudah orang sakit hati baru cari pembenaran." timpal Aprin. "Iya, macam tak tahu saja. Dia tu tukang cari muka. Kalau ada atasan mendekat, memuji diri rajin kerja, padahal aslinya?" sambung Isma tak terkontrol. "Iya, kalau atasan ada rajin, atasan tak ada duduk di kantin." tukas Nely. "Hati-hati sama dia, jangan terlalu dekat dengannya, dan bicara tentang rahasia diri. Nanti kalau sudah tak baik semua dibeberkan rahasia kita ke orang lain." kataku mengingatkan teman-teman yang lain. "Iyakah? Parahnya?" kata Susan. "Iya. Kemarin berkelahi dengan tetangga sebelah rumahnya, semua keburukannya di beberkan. Itu makanya aku jadi tahu." jawabku. Menu pesanan kami datang, kamipun makan dengan tenang, meski ada ungkapan rasa geram terhadap Reva masih tetap berlanjut. Sekitar jam tiga lewat, perut sudah merasa kenyang dan hati juga sudah sedikit tenang, kamipun memutuskan untuk pulang. "Sebentar lagi Ashar, pulang yuk, kita lanjutkan besok." kata Aprin Kamipun membayar makanan kami masing-masing sebelum pulang. Lalu kami satu persatu keluar dan menuju sepeda motor masing-masing, bagi yang nebeng juga pastinya ikut. Lalu kami berpisah menuju rumah masing-masing. Berhubung rumahku dekat, aku yang biasanya nebeng sama Aprin, "Aku jalan saja Prin, dekat kok." "Ok, sampai jumpa besok." jawab Aprin Hari-hari berikutnya kami lalui seperti biasa, dengan aktivitas yang sama. Kecuali hari Minggu adalah hari libur kami. Kadang kami ngumpul di hari libur ataupun sore hari saat senggang untuk makan tekwan ataupun sekedar minum es dan bakso bersama meskipun yang bisa hadir cuma bertiga atau berempat saja. Inilah hiburan perempuan-perempuan tangguh pencari cuan. Dengan segala aktivitas tambahan untuk membantu biar asap dapur tetap mengepul. Ada yang jualan online, ada yang terima jasa untuk banking, ada yang buka warung makan, dan lain-lainnya. Kami tidak mengharapkan diberi uang oleh suami, setidaknya kami punya uang untuk mencukupi kebutuhan pribadi. Bedak lipstik beli sendiri tak perlu di fasilitasi. Bahkan kadang-kadang ketika ada kekurangan untuk keperluan, kami bisa membantu menambahi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN