“Kak, kita bertiga pamit duluan ya.” pamit ketiga Prince SMANSA yang diwakili oleh Agil itu pada Fahri yang masih berdiri memandangi gundukan tanah yang dikelilingi susunan keramik dan dua batu nisan berwarna putih tertancap di dua ujungnya. Gudukan tanah yang hijau dengan rerumputan juga bertabur bunga-bunga diatasnya.
“Ya, kalian balik duluan saja. Kakak masih ingin di sini melihat Dhika. Kalian hati-hati aja di jalan.” Ucap Fahri lirih. Air matanya masih tetap saja menetes, sampai matanya merah karena menangis. Ya siapa yang tidak sedih kalau ditinggal orang yang dicintai.
“Nad kakak duluan ya. Nggak usah nangis terus” kata Ichal seraya menepuk pundak Nadia.
Nadia cuma bisa menganggukkan kepalanya, air matanya tak berhenti menetes. Ketiga kakaknya hanya bisa menatap wajah adik perempuannya itu, dan akhirnya mereka pun pergi meninggalkan pemakaman.
Angin berhembus pelan, menyentuh lembut wajah Nadia dan juga Fahri yang larut dalam kesedihan mengingat kenangan masa lalu ketika Dhika masih ada bersama mereka.
“Nad yang sabar ya, kita harus ikhlas menerima semuanya. Sudah nggak usah nangis terus. Relakan Dhika pergi, kan masih ada Pian yang akan gantiin Dhika. Kakak juga yakin kalau Dhika juga senang kamu sama Pian.” Fahri coba menghibur.
Tapi Nadia diam saja tidak bereaksi, tumben ini anak tidak merespon kalau dengar namanya Pian. Padahal Fahri menunggu reaksi Nadia yang selalu marah setiap dipasangkan dengan Pian. Tapi ada yang aneh juga darinya, Nadia seperti sedang mengingat seseorang.
'Pian, Pian, Pian, dan Pian, kenapa harus Pian sih Apa benar dia penggantinya Dhika?' bisik Nadia dalam hati.
“Wooii, lagi mikirin siapa sih?” kata Fahri seraya menepuk bahu Nadia, dan Nadia akhirnya tersadar dari lamunannya.
“Ehh, nggak ada kok kak. Ya kak Nadia tau kok. Semoga Dhika mendapat tempat di sisi Allah SWT. Aamiin.” Nadia menjawab perkataan Fahri. Itu kan Nadia nya juga mengiyakan kata Fahri tadi.
“Amin, ya udah Nad, kita pulang yuk.” ajak Fahri seraya menepuk bahu Nadia, tapi Nadia masih tetap terdiam menatap lurus ke depan.
Ada yang menyita perhatiannya, sosok seorang cowok yang sedang duduk di samping sebuah makam, entah makamnya siapa. Nadia sangat mengenal sosok cowok yang tak jauh dari tempatnya itu yang kira-kira jaraknya hanya 4 meter.
“Itu kan Pian, ngapain itu anak sendirian di sana. Itu makamnya siapa ya,? Udahlah, ngapain juga aku mikirin dia?” desis Nadia.
“Kamu ngomong apa sih Nad? Kok bicara sendiri?” tanya Fahri mendengar perkataan Nadia.
Tajam juga pendengarannya ni cowok.
“Hah, nggak kok, Nadia nggak ngomong apa-apa, cuma ngucapin salam aja sama Dhika, pamitan sama Dhika” kata Nadia sedikit kaget, tapi untung saja dia bisa cepat cari alasan, ”Ya udah, yuk kita pulang kak!” lanjutnya lagi.
Mereka beranjak pergi meninggalkan makamnya Dhika dan keluar dari area permakaman itu. Saat perjalanan pulang Nadia kembali memikirkan cowok yang dilihatnya di pemakaman tadi.
“Makam yang dikunjungi Pian tadi, makamnya siapa ya? Nggak mungkin itu makam orang tuanya. Secara orang tuanya masih sehat tak kekurangan suatu apapun. Nggak mungkin juga itu makam saudaranya, secara Pian nggak pernah bahas masalah saudaranya ama temen-temen di kelas. Mungkin kakek-neneknya kali ya? Atau mungkin pacarnya??. Tau ah, ngapain juga aku pusing-pusing mikirin itu, peduli amat ama Pian.” batin Nadia.
“Assalamualaikum.” ucap Fahri dan Nadia saat memasuki rumahnya.
“Kenapa sih kak Fahri lewat pintu depan, lewat pintu belakang kan lebih enak. Jadinya nggak perlu lewatin ruang tamu. Males banget deh aku ketemu sama si Pian itu” gerutu Nadia dalam hati.
“Wa'alaikumsalam” jawab orang-orang yang ada di ruang tamu serentak.
Ruang tamu sudah ramai oleh keluarga Nadia, dan tentunya keluarga Pak Budi yang akan menjadi tetangga baru mereka. Tapi sayangnya salah satu anggota keluarga Pak Budi tidak hadir yaitu anak semata wayang mereka.
“Ayok Nad, salaman dulu sama camer kamu, alias calon mertua!!” kata Anul. Raut wajah Nadia berubah seketika, kaget, bingung, marah, seneng, semua bercampur jadi satu.
“Kok kak Anul ngomong gitu sih, aku kan nggak pernah cerita apa-apa ke mereka tentang Pian, tapi kenapa mereka bisa tau??” batin Nadia.
Tidak hanya Nadia saja yang terheran-heran, tapi orang tuanya Pian juga tidak kalah kagetnya. Mereka akhirnya hanya bisa tersenyum menghilangkan rasa bingung mereka. Sementara yang lainnya hanya menahan tawa. Memang tetangga barunya Nadia ini adalah keluarganya Pian. Hehehehe. Seru sudah ntar, nggak hanya di sekolah saja mereka bakalan perang, tetapi di rumah juga.
“Nadia kok kamu malah ngelamun, diem aja udah kayak patung?? Yang sopan dong!!” tambah Agil.
“Tunggu-tunggu, kalian pada ngomongin apa sih, nggak ngerti saya. Dasar aneh?” kata Nadia yang sedari tadi masih berdiri bersama Fahri, Nadia pura-pura nggak tau.
“Aneh kenapa? Nggak ada yang aneh tuh, biasa aja.” sahut Ichal.
“Maaf ya Om, Tante, maklum kakak-kakak saya kalo bicara memang suka asal bicara. Maaf juga kalau saya kurang sopan” kata Nadia kepada Ibu dan Bapak Budi, yang sedari tadi masih dengan tampang heran mereka. Mereka pun tersenyum manis pada Nadia, Nadia pun membalas senyuman mereka.
“Kalo gitu, Nadia permisi ke kamar dulu.” pamit Nadia seraya berlalu pergi, dan kakak-kakaknya tidak bisa mencegah kepergian Nadia, sementara Fahri langsung mengambil tempat duduk di antara saudara kembarnya Nadia setelah tadi dipersilahkan duduk oleh Papa dan Mama Nadia.
Setelah mengganti pakaiannya di kamar, Nadia beranjak pergi ke taman untuk melihat tanaman-tanamannya juga bertemu dengan kucing kesayangannya. Setibanya di taman, betapa kagetnya Nadia melihat apa yang terjadi di tamannya.
“Lho kok pintu tamannya kebuka?? Kuncinya kan ada di aku. Nggak mungkin ada orang lain yang punya kuncinya lagi selain aku dan Dhika. Terus siapa dong yang buka pintu dan berani lancang masuk ke dalam tanpa seizin aku? Nggak mungkin pencuri yang masuk, apa coba yang mau dicuri di sini? Tanaman? kagak mungkin lah di sini cuma ada tanaman biasa doang. Atau mungkin kak Fahri ya yang buka pintunya terus lupa dikunci? Tapi kak Fahri juga nggak punya kunci. Ya sudahlah, dari pada capek-capek mikir siapa yang buka ini pintu, lebih baik aku masuk terus liat siapa yang udah berani lancang masuk ke taman pribadiku??” Nadia bicara sendiri panjang lebar.
Setelah masuk ke dalam taman, ternyata memang benar ada orang di sana. Ada seorang cowok berdiri di pinggir kolam air mancur, terlihat kedua tangannya menggendong sesuatu. Nadia melihat ekor kucing yang sangat dikenalnya menggelantung dari lengan kanan cowok itu. Ternyata benar kucing itu adalah Nadhi, tapi siapa cowok yang menggendong Nadhi itu,? Cowok itu membelakangi Nadia sehingga Nadia tidak bisa melihat wajahnya, tapi dari postur tubuhnya sepertinya Nadia tidak asing dengan cowok itu. Bahkan Nadia sangat mengenali sosok itu, kontan Nadia langsung memanggil nama seseorang.
“Dhika??” panggil Nadia, sosok cowok yang berdiri di hadapannya itu memang seperti Dhika kekasihnya.
Karena mendengar ada suara yang memanggil nama seseorang, cowok itu pun menoleh ke belakangnya. Dan betapa kagetnya Nadia melihat siapa cowok yang tadi dia panggil dengan nama Dhika itu.
“PIAN” teriak Nadia shock,”ngapain kamu di sini? Kenapa kamu bisa masuk ke sini??? Dan apa-apaan itu, pakai acara gendong Nadhi segala, ini nggak mungkin??” lanjut Nadia dengan meluncurkan pertanyaan-pertanyaan ke Pian, Nadia masih nggak percaya dengan apa yang dilihatnya ini. Sementara Pian hanya tersenyum kecil, seraya berkata dengan lembut ke pada Nadia.
“Kamu bisa kan tidak teriak-teriak seperti itu?? Aku tidak tuli Nad. Dan cobalah untuk tenang sedikit!!!” kata Pian dengan halus dan lembutnya, tumben tidak ada balasan dari Pian.
Nadia hanya melotot ke arah Pian, matanya tak berkedip sedikitpun. Kedua matanya menatap tajam seperti mata elang, rasa kebencian dan amarah terpancar dari kedua matanya. Yeah, kejadian yang bener-bener mengejutkan bagi Nadia, mulai dari Pian yang duduk di samping makam seseorang, kakak kembarnya Nadia yang ngomong aneh-aneh, dan yang lebih mengagetkan lagi bisa-bisanya Pian masuk ke dalam tamannya dan juga menggendong kucing kesayangannya sementara Nadhi bukan kucing yang mau dideketin sama siapa saja kecuali pemiliknya, apalagi orang baru, bisa-bisa Nadhi langsung mencakar orang itu, tapi kok Pian nggak dicakar bahkan Nadhi mau digendong sama Pian.
“Udah deh, nggak usah pakai acara ngomong lemah lembut kayak gitu. Biasanya juga kamu ngomongnya keras dan kasar sama aku. Sekarang lebih baik kamu keluar dari sini dan turunin Nadhi!” bentak Nadia, wajahnya yang manis berubah jadi menyeramkan.
“Jadi kucing ini namanya Nadhi toh, manis juga namanya semanis kucingnya. Nggak kayak orang yang punya, pahitnya minta ampun” ledek Pian
“Kurang ajar, kamu kira aku kopi apa makanya kamu bilang aku pahit. Udah deh, cepat lepasin Nadhi, dan jangan pernah sentuh dia lagi. Dan satu hal yang terpenting cepat kamu keluar dari sini, dan jangan masuk ke sini lagi!!!!” bentak Nadia lagi.
“Ya elah, galak amat Bu. Nggak usah galak-galak napa, jelek tau,!”
“Terserah, aku mau jelek kek, mau cantik kek, bukan urusan kamu. Banyak omong kamu dari tadi. Sekarang terakhir aku ngomong, cepat turunin kucing itu dan keluar dari sini, nggak pakai lama Naruto bego,!!”
“Ya, iya aku turunin Nadhi nya,” kata Pian singkat seraya menurunkan Nadhi, ”Dadaaaa Nadhi, daaaaaan juga nenek lampir” kata Pian dan kabur dari taman dengan berlari secepat kilat biar tidak kena tonjok dari Nadia.
“Kurang ajar kamu bilang aku nenek lampir, dasar Devil boy. Awas kamu ya,!!” teriak Nadia dengan geram.
Tuh kan, keluar juga jiwa nenek lampir Nadia, hehehe, tapi Pian tidak peduli dengan perkataan Nadia. Pian terus berlalu pergi.
*****
“Kak Ayuuuuu, Nadia sebeeeeel banget” teriak Nadia
“Woooiii, nggak usah teriak-teriak gitu dong! Sakit telinganya kakak. Orang nelpon itu ucapin salam kek dulu baru ngomong, ini malah teriak-teriak” protes Ayu dari seberang sana.
“Maaf kak, habisnya Nadia lagi sebel. Ini hari paling buruk yang pernah Nadia alami. Mau nangis rasanya, hiks, hiks, hiks,” Nadia memulai curhatannya.
“Emangnya apa yang udah terjadi, jangan main nangis-nangis aja, cengeng sekali!!!”
“Gini kak, pertama mulai dari kejadian di pemakaman, Nadia ngeliat Pian lagi duduk di samping makam seseorang. Terus...” ucapan Nadia terhenti karena Ayu langsung memberi tanggapan.
“Kalau itu mah biasa cin, apanya coba yang nyebelin??? Wajarlah kalo orang pergi ke pemakaman” kata Ayu
“Kakak ini main potong aja, Nadia kan belum selesai ngomongnya. Buat Nadia itu aneh kak, Pian mengunjungi makam seseorang, setau Nadia nggak ada tuh anggota keluarganya Pian yang sudah meninggal, kakek-neneknya masih ada, orang tuanya juga, lagian aneh juga kan biasanya tradisi orang Lombok itu mengunjungi makam keluarganya pas hari Raya saja” kata Nadia
“Nad, Nad, kamu kan baru kenal Pian saat masuk SMA, baru juga satu setengah tahun lebih. Memang selama kamu sama dia nggak terjadi apa-apa, tapi di masa lalunya nggak ada yang tau kan,?”
“Ya sih, ya sudahlah kak, lanjut ke cerita yang tadi kepotong, tapi kakak jangan potong lagi cerita Nadia ya,! Jangan komentar apa-apa dulu sebelum Nadia selesai,!” pinta Nadia.
“Iya, iya, oya sekalian dah habis kamu cerita, kakak mau bayar utangnya kakak. Kakak kan udah janji buat cerita tentang cowok yang kakak cintai itu” kata ayu.
“Oceh kak,,sekarang Nadia dulu yang cerita,”
Nadia pun memulai ceritanya tentang apa yang udah terjadi hari ini pada dirinya. Ayu yang mendengar cerita Nadia terkadang tertawa, ikut-ikutan kesel juga, dan tak lupa memberikan tanggapan atas cerita Nadia. Dan sesuai kesepakatan mereka setelah Nadia selesai dengan ceritanya, kini giliran Ayu yang cerita, berbagi pengalaman dan perasaan ke Nadia. Sama halnya dengan Ayu saat mendengar cerita Nadia, Nadia yang mendengar cerita Ayu ikut senang, bahagia, kesel, marah ketika mendengar cerita itu. Tanpa terasa mereka ngobrol sampai larut malam.