Candralekha
Aku bersenandung pelan sambil mengaduk sup yang mulai mendidih. Pagi ini suasana hatiku sedang baik meski semalam baru masuk apartemen pukul tiga dini hari setelah menyelesaikan operasi SC pasien yang masuk IGD pukul sepuluh malam karena mengalami eklampsia di usia kandungan 32 minggu. Itupun aku baru bisa tidur pukul setengah lima dan sudah bangun lagi pukul tujuh pagi. Namun aku merasakan tidur yang cukup berkualitas meski hanya sebentar. Terbukti aku bangun dalam kondisi segar.
Sebagai seorang dokter kandungan sebuah rumah sakit skala internasional tidaklah mudah. Rumah sakit Orland’s Hospital tempatku bekerja adalah sebuah rumah sakit swasta internasional milik grup perusahaan Orland’s Group. Meski berstandar internasional dan memiliki fasilitas medis yang tak kalah bersaing dengan rumah sakit besar lainnya, Orland’s Hospital tidak memiliki cabang rumah sakit di daerah manapun selain di Jakarta. Menurut banyak orang aku adalah dokter yang kompeten di bidangnya. Berkat keahlianku di bidang kandungan dan persalinan, aku bisa menyelamatkan istri pemilik Orland’s Group ketika melahirkan. Aku selalu menolak diberi penghargaan dalam bentuk apa pun oleh pemilik perusahaan. Karena aku merasa semua itu adalah bagian dari tugas dan pengabdianku sebagai dokter. Gaji dan fasilitas yang aku dapatkan sudah lebih dari cukup untuk menghargai itu semua.
Sejujurnya aku tidak mempermasalahkan diberi penghargaan. Tapi aku kurang suka yang sifatnya pribadi. Mungkin jika publik yang memberikan penghargaan atas dedikasi-ku di dunia kesehatan, maka aku akan menerimanya dengan senang hati. Namun ada satu reward yang akan aku pertimbangkan untuk menerimanya, yaitu penghargaan berupa liburan tour ke Jepang, reward yang jauh dari kata sederhana dibanding dengan reward-reward lain yang pernah ditawarkan perusahaan padaku. Aku akan menerima reward tersebut juga dikarenakan sahabat karibku yang bernama Symphony atau yang akrab dipanggil Syfo juga ingin pergi traveling dan kami sepakat menjadikan Jepang sebagai destinasi wisata. Tinggal menyesuaikan jadwal kami saja nantinya. Sayangnya sejak reward itu ditawarkan padaku, sampai berbulan-bulan berlalu aku belum juga sampai di Jepang karena memang terbentur jadwalku dan Syfo yang sulit sekali dikompromi.
“Masak apa, Lek?”
Sontak aku berbalik menuju sumber suara. Senyumku mengembang tatkala wajah mamaku memenuhi layar laptop. Padahal kami tinggal satu kota, tetapi karena kesibukanku membuat aku jadi jarang mengunjungi Mama. Alhasil komunikasi melalui panggilan video lewat laptop maupun ponsel jadi alternatif Mama agar bisa lebih sering berkomunikasi denganku.
“Sop buntut, Ma. Recook resepnya Mama,” balasku sambil terkekeh pelan.
Aku kembali fokus pada sop di dalam panci ukuran medium yang mulai mendidih sempurna. Aroma lezat mulai menguar, membuat cacing-cacing di perutku mengadakan konser bersama. Aku bergegas mematikan kompor, mengambil kain lap terdekat kemudian mengangkat panci untuk dipindahkan di samping kompor.
“Pasti lebih enak dari buatan Mama. Jadi kangen masakanmu, Lek. Mama lupa kapan kamu terakhir masak buat Mama.”
Aku sudah berdiri lagi di depan laptop, meng. hadap pada Mama yang sedang melakukan hobi lamanya, merajut. Salah satu tanganku mengambil secangkir teh di seruput sedikit demi sedikit. “Nanti kalau nggak terlalu sibuk aku pulang ke rumah dan masakin Mama,” ujarku.
Mama mencibir ucapanku sambil menggeleng pelan. “Memangnya kapan kamu nggak sibuknya, Lek? Daripada cuma kamu masakin, mending pas pulang ke rumah bawa calon suami.”
Tanpa sadar aku memutar bola mata saking malasnya. Paling nggak suka kalau mulai membuka topik pembicaraan seputar itu. Wajahku sudah berubah masam bahkan membanting cangkir teh di atas meja dapur. Namun Mama terlihat tidak menyadari perubahan ekspresiku. Ini bukan sekali dua kali bahasan mengenai calon suami keluar dari mulut Mama. Menghindari pembahasan itu jugalah yang menjadi alasanku malas pulang ke rumah Mama, selain karena memang benar-benar sibuk di rumah sakit. Apalagi bahasan itu untuk mengawali pagiku yang terasa indah ini, rasanya momennya kurang pas.
“Doanya aja, Ma,” jawabku sekenanya.
“Ingat umur, dong, Lekha,” ujar Mama memulai wejangannya. Mama terdengar menarik napas panjang. Sekilas aku lihat tatapannya kini berubah sendu. “Kamu sudah mau empat puluh tahun, umur krusial. Mama rasa ini waktu yang tepat untuk berdamai dengan masa lalu. Masalahmu dengan laki-laki yang pernah mengecewakan dan menyakitimu di masa lalu sudah selesai. Mama paham, masa lalu kamu soal laki-laki sangat buruk dan nggak mudah untuk dilewati begitu saja. Tapi yakinlah, di luar sana masih banyak pria yang jauh lebih baik dari Galih dan Papamu. Buka hatimu. Kamu pantas mendapatkan kebahagiaan, Lekha.”
Gerakan tanganku hendak meraih ponsel terhenti. Setelah sekian tahun, lagi-lagi nama mantan pacar dan pria yang pernah mencampakkan aku dan Mama yang b***t itu kembali disebut oleh Mama. Padahal kami sepakat, nama itu harus dikubur dalam-dalam.
“Ma!” hardikku.
“Udahlah, Lek. Berhenti menyakiti diri sendiri dengan tidak mau berdamai dengan masa lalu. Kamu pernah berjanji mau menikah setelah melihat Mama bahagia, kan? Sekarang Mama sudah merasa jauh lebih bahagia dengan kehidupan Mama yang sekarang. Tapi kebahagiaan Mama kurang lengkap karena belum melihat kamu menikah.”
Aku tidak lagi membantah. Apalagi ketika ucapanku bertahun-tahun lalu diputar ulang oleh Mama. Sayangnya merealisasikan apa yang telah aku katakan tidaklah mudah. Karena hingga detik ini, perasaanku berkecamuk ketika nama itu muncul. Hati dan tubuhku terasa sakit setiap kali kenangan buruk hari itu kembali berputar. Pagi indahku telah hancur dengan sangat baik. Senyum secerah mentari di wajahku pun sukses lenyap entah kemana.
Pura-pura meraih ponsel di meja, aku memilih kabur. Dengan gaya meyakinkan aku membaca sesuatu di layar, sekalipun sebenarnya tidak ada apa pun di sana. Aku sudah tidak bisa melanjutkan obrolanku dengan Mama. “Ma, maaf. Aku harus siap-siap kembali ke rumah sakit sekarang. Ada pasien darurat masuk IGD pagi ini. Nanti aku telpon ya. Bye, Ma.”
Setelah salam singkat aku menutup layar laptop dengan kasar. Napasku memburu karena emosi yang tertahan. Kenangan masa lalu itu mulai berputar di kepala, membentuk kepingan puzzle mengerikan. Aku tidak menyangka, nama Galih masih terus mempengaruhi perasaanku. Bahkan setelah hampir 16 tahun berlalu.
*
Hari ini aku sedikit senggang. Sebenarnya ingin mengajak Syfo makan siang. Namun sayang justru sebaliknya hari ini dia yang tampak sibuk. Pesan yang aku kirim tadi pagi sampai siang ini belum dibalas.
“Di auditorium ada acara apa? Kayaknya sibuk tadi saya lewat situ,” tanyaku pada asistenku yang bernama Sigi.
“Ada sosialisasi sistem manajemen rumah sakit baru sekaligus perkenalan kepala IT help desk baru,” ujar Sigi.
“Kamu ikut?” tanyaku lagi.
“Iya, Dok. Seluruh asisten dokter diwajibkan ikut supaya nggak ada miskom pada saat pendaftaran.”
“Oke, deh.”
“Dokter mau pulang ke apartemen sekarang?”
“Belum tahu. Dokter Beki ngajak makan siang. Tapi dia sampai sekarang belum selesai praktek,” jawabku menyebut nama salah satu dokter spesialis yang juga bekerja untuk Orland’s Hospitals.
“Oh, nanti saya bilangin asistennya kalau lewat ruangan Dokter Beki.”
“Thanks, Sigi.”
“Sama-sama, Dok.”
Sigi keluar dari ruanganku. Beberapa menit kemudian ada pesan masuk dari pihak rumah sakit bahwa dokter spesialis yang sedang senggang diminta untuk mengikuti acara sosialisasi sistem rumah sakit terbaru di auditorium. Merasa aku salah satu dokter yang dimaksud maka aku memutuskan untuk mendatangi auditorium.
Sesampainya di auditorium acara sosialisasi ternyata sudah dimulai. Aku pun memutuskan untuk duduk di deretan kursi audience yang kosong. Salah satu staf rumah sakit melihat kehadiranku dan memintaku untuk duduk di kursi khusus dokter. Akhirnya aku memutuskan untuk duduk di tempat yang sudah tersedia.
Karena posisi aku datang terlambat jadinya aku mendapat kursi di deretan paling belakang. Dari posisiku saat ini aku melihat seorang pria tengah duduk membelakangiku. Berperawakan tinggi, menghalangi pandanganku ke arah depan. Punggung yang dibalut kemeja navy itu terlihat bidang. Dari belakang rambutnya tampak rapi dan sepertinya sosok itu terlihat good looking. Namun aku sangsi, jangan-jangan penampilan laki-laki itu hanya menarik dari belakang saja.
Kemudian aku tidak lagi memerhatikan sosok yang berada di deretan depan. Aku lebih fokus mendengarkan penjelasan soal sistem rumah sakit terbaru yang disampaikan oleh salah seorang staf IT helpdesk.
Setelah setengah jam berlalu pembawa acara sosialisasi SMRS menyampaikan bahwa Orland’s Hospitals kedatangan staf baru yang akan ditempatkan di departemen IT menggantikan kepala departemen yang resign seminggu lalu. Aku mencoba mencari tahu orang yang dimaksudkan oleh pembawa acara itu. Ternyata orang yang dimaksud adalah orang yang sempat aku perhatikan dari belakang. Laki-laki itu bangkit berdiri dari kursinya kemudian berjalan ke arah pembawa acara sedang berdiri. Dugaanku benar tubuh sosok itu cukup tinggi untuk ukuran laki-laki Indonesia pada umumnya. Ketika semua orang yang hadir di dalam auditorium bertepuk tangan, aku pun mengikuti jejak mereka untuk memberi sambutan juga.
Namun ketika sosok itu berputar dalam waktu hitungan sepersekian detik menghadap ke arah bagian tempat dudukku, seketika aku membeku di tempat. Senyum yang sempat mengembang tadi mendadak hilang seketika. Mataku pun membelalak sempurna. Napasku tercekat di tenggorokan, apalagi ketika laki-laki itu tak sengaja beradu tatap denganku.
“Perkenalkan saya Galih. Galih Pradipta. Senang berkenalan dengan Anda semua.”
Aku tidak tahu apa mimpiku subuh tadi. Apa pun mimpiku sepertinya akan menjadi mimpi terburuk sepanjang hampir 16 tahun terakhir. Duniaku terasa runtuh dan mendadak berubah menjadi bencana. Menemukan Galih, laki-laki yang telah membuat persepsi dan masa depanku soal laki-laki adalah sepenuhnya gelap itu, berdiri di hadapanku berjarak tidak sampai lima meter saja. Hal ini sama sekali tidak ada di daftar rencana hidupku, baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Tuhan, mengapa Kau mengirimkan jelmaan malaikat pencabut nyawa ini sekarang?!
~~~
^vee^