Candralekha
Lebih dari setengah jam terakhir, aku terus mondar mandir di unitku. Dalam waktu hitungan jam, kehidupan tenang yang telah aku ciptakan selama hampir 16 tahun berubah menjadi musibah. Mimpi buruk yang telah lama aku kubur itu tiba-tiba menjadi kenyataan. Galih kembali. Kalimat yang tidak pernah ingin aku katakan sampai kapanpun, tapi hari ini berkata sebaliknya.
Laki-laki itu sudah banyak berubah. Terlihat lebih tenang dari ingatan terakhir, sejak hari naas itu. Fisik serta penampilannya juga mengalami banyak perubahan. Dia terlihat lebih tegap dalam balutan kemeja warna biru tua dengan punggungnya yang bidang dan postur tubuh atletis. Padahal Galih dulu adalah laki-laki kurus dan berpenampilan urakan yang menurut dia adalah trend fashion pada tahun itu. Namun aku tidak pernah menyukai penampilannya saat itu. Dan dia akan marah besar jika aku mengkritik penampilan ataupun pakaian yang dikenakannya saat jalan denganku.
Berkali-kali aku menghela napas panjang dan dalam. Namun dadaku masih terasa begitu sesak. Terjebak dalam rasa trauma seperti ini memang membuat frustrasi dan ketakutan. Waktu tersisa sekitar satu minggu lagi sebelum Galih resmi bergabung dengan Orland’s Hospitals. Bertemu dengan Galih saja aku takut, apalagi harus terlibat di tempat kerja yang sama dengan laki-laki itu.
Apa aku mengundurkan diri saja ya?
Pertanyaan itu terus berputar di kepalaku. Aku segera meraih secangkir teh hijau di kabinet lalu menyeduhnya dengan air panas dari termos. Biasanya minuman itu cukup membantu ketika aku mengalami frustrasi seperti sekarang ini.
Suara bel pintu berhasil mengalihkan fokusku. Aku tidak serta merta membuka pintu unit apartemenku. Menunggu tingkat kepentingan tamu tersebut denganku lewat usahanya dalam membuatku membukakan pintu. Hingga suara bel kembali berbunyi. Seketika aku terperanjat dan meletakkan cangkir teh sebelum bergegas membuka pintu untuk tamuku. Aku berjalan cepat tak ingin membuat siapapun yang ada di balik pintu menjadi tidak sabaran.
Aku mengintip dari balik peephole, sosok Syfo sedang berdiri di depan pintu sambil menenteng paperbag entah berisi apa di tangannya. Aku membuka pintu dengan senyum lebar menyambut kedatangan sahabatku itu. Syfo refleks menghambur untuk memelukku.
“Lo baik-baik aja, kan?” tanya Syfo seraya menerebos masuk ke unitku.
“Seperti yang lo lihat, gue masih hidup. Lo bawa apa?” tanyaku menanyakan sesuatu yang masih berada di tangan Syfo.
“Cheesecake bikinan Saga buat elo.”
“Pinter nyogok juga berondong lo,” cibirku sembari menerima paperbag yang tadi dibawa oleh Syfo. Perempuan itu hanya balas dengan tawa renyahnya.
Aku langsung menuju dapur untuk menyajikan cheesecake yang dibawa Syfo untuk dinikmati oleh kami berdua. Aku mengambil dua piring ceper berukuran kecil, pisau kue dan dua buah sendok teh di rak penyimpanan. Kemudian membawa semuanya menuju sofa.
“Sorry ya, gue nggak bisa ikut gabung di acaranya Dani,” ujarku memecahkan keheningan.
Syfo menoleh sejenak, lalu kembali sibuk dengan cake dan pekerjaan di laptopnya. “Nggak masalah. Tapi acara di Jakarta nggak boleh absen. Wajib hadir lo.”
Aku tertawa mendengar ancaman itu. Beberapa hari yang lalu keponakan Syfo yang kebetulan juga aku kenal menikah di Padang. Aku diminta untuk ikut hadir sebagai perwakilan keluarga pihak mempelai pria, tapi ada operasi mendadak yang benar-benar nggak bisa ditinggalkan dan nggak bisa digantikan oleh dokter lain karena itu pasienku. Jadinya aku tidak bisa ikut bergabung di acara itu.
Ketika potongan cake di atas piring ceperku tinggal setengahnya, aku baru menyadari kalau belum menyajikan minum untuk aku dan Syfo. Aku buru-buru ke kulkas untuk meraih botol berisi air putih dan dua gelas lalu kembali ke sofa dan duduk di samping Syfo. Setelah meletakkan botol dan gelas di atas meja kopi suasana kembali hening, membuat sosok Galih lagi-lagi memenuhi kepalaku.
“Lek!” Syfo menepuk bahuku, membuatku kembali ke dunia nyata.
Aku menoleh dan mendapati Syfo sedang menatapku dengan kening berkerut. “Are you okay?”
Bukannya menjawab aku malah kembali melamun. Tidak lama kemudian Syfo kembali menepuk bahuku. Sambil berdecak Syfo berkata, “Lek, gue kenal lo udah lama, 25 tahun ada kali kita temenan. Gue tahu kalau lo ngelamun itu pasti lagi ada something problem. Cerita aja, sih! Ada masalah apa?” tanyanya dengan nggak sabaran.
Aku tidak lantas menjawab pertanyaan Syfo. Aku menatap lurus padanya sembari menggeleng lalu membuang wajah agar suasana hatiku tidak semakin terbaca oleh Syfo.
“Ya, memang... Masalah lo nggak tiba-tiba beres setelah lo cerita ke gue. Tapi kan seenggaknya lo bisa berbagi sedikit beban lo ke gue, Lek.”
Aku mengangguk lesu. Aku sangat berterima kasih dengan kebaikan Syfo. Di tengah situasi dan kondisi kehidupannya yang sebenarnya lebih pelik dari aku, dia selalu berusaha ada untuk aku. Aku menghela napas sesaat, lalu bergumam pelan sambil menyebutkan satu nama, “Galih.” Lidahku terasa kelu ketika menyebut nama b******n itu.
“Galih?” Syfo mengulang kembali menyebut nama itu dengan nada tanya, seolah sedang memastikan kalau dia tidak salah dengar. “Galih yang itu?” tanya Syfo sekali lagi.
Aku mengangguk lesu. “Gue lihat dia hari ini,” lanjutku.
“Di mana?”
“Di Orland’s Hospitals.”
Kedua mata Syfo sontak melebar karena terkejut. Dia bahkan sudah tidak peduli lagi pada pekerjaannya. Padahal dia tadi tampak serius ketika menatap layar laptop. Perhatiannya kini tertuju padaku. “Serius? Dia lagi periksa atau ngantar seseorang trus kalian papasan di rumah sakit, gitu?”
“Lo nggak akan pernah percaya fenomena nggak masuk akal ini, Fo,” ucapku sambil meringis. “Gue ketemu pada saat acara sosialisasi sistem manajemen rumah sakit di auditorium Orland’s Fashion. Dia yang ngisi sosialisasi sekaligus akan menjadi kepala IT Helpdesk Orland’s Hospitals yang baru. Gila, Fo! Ketemu dia aja ngeri, apalagi harus satu tempat kerja sama orang itu. Apa gue minggat aja kali ya, dari Orland’s Hospitals?”
“Gila aja, lo!” Tiba-tiba Syfo berteriak. Kepalanya menggeleng tegas menunjukkan penolakan atas ide yang aku utarakan. “Lo udah susah payah bangun karier di rumah sakit itu. Ya, emang sih, dengan segudang prestasi dan keahlian yang lo miliki lo bisa bebas memilih rumah sakit lain untuk berkarier, tapi lo harus memulai semuanya lagi dari nol, Lek. Lo yakin mau ngelakuin itu semua cuma demi menghindari laki-laki b******k itu?”
“Iya, Fo. Tapi karier bisa diusahakan. Sakit hati dan rasa trauma gue yang nggak bisa dihilangkan,” keluhku. Apalagi setiap melihat sosok Galih, kenangan buruk menggelayuti pikiranku. Kesakitan, ketakutan bahkan sampai sesak napas nyaris kehabisan oksigen padahal aku sama sekali tidak punya riwayat penyakit asma, seolah menjadi satu menyerang tubuhku.
“Lek, lo percaya nggak, sih, kalau Tuhan selalu punya rencana di setiap pertemuan dan perpisahan? Siapa tahu Tuhan memberikan jalan hidup paling baik dengan kembalinya Galih.”
“Rencana paling baik gimana, Fo? Dia udah bikin gue hampir ketemu neraka. Gue udah bikin dia mendekam di penjara selama dua tahun. Gue takut dia dendam kesumat sama gue dan ngerencanain hal mengerikan sama gue.”
“Tapi lo sekarang udah dewasa, Lek. Lo lebih bisa aware sama diri lo kalau berhadapan sama dia. Lagian emang dengan lo minggat dari rumah sakit itu semua masalah bisa teratasi? Jangan hiraukan dia. Anggap aja dia nggak pernah ada di rumah sakit itu.”
“Tapi, Fo…” Aku ragu. Aku mengharapkan dukungan Syfo, tapi sepertinya sahabatku itu malah bersikeras untuk memintaku bertahan dan melawan ketidakberdayaanku pada trauma.
“Percaya gue, Lek. Kabur bukan keputusan tepat. Lo harus tunjukin ke dia kalau lo nggak takut sama dia. Lo harus bisa buktikan kalau dia itu cuma butiran debu yang mudah disingkirkan dari kehidupan lo.”
Syfo berhasil membungkamku dan tentunya meningkatkan keberanian dalam diriku untuk menghadapi laki-laki gila seperti Galih. Hanya saja aku tidak percaya diri menunjukkan pada Galih bahwa aku sama sekali tidak menyimpan trauma berhubungan dengan laki-laki. Karena terbukti sampai sekarang aku belum bisa membuka diri lagi pada makhluk bernama laki-laki gara-gara laki-laki seperti dia.
~~~
^vee^