Malam terasa pekat, langit gelap tak ada bulan dan bintang menghiasi. Sosok bayangan bertudung mantel hitam dengan sarung tangan dan sepatu bot. Berjalan membelah kegelapan malam untuk menuju targetnya.
Angin berhembus dengan kencang dan hanya suara lolongan anjing yang memecah keheningan malam. Kota ini memang kota tua dan kebanyakan penduduknya sudah meninggalkan kota kecil mereka. Hanya segelintir orang saja yang masih bertahan di kota tua ini. Kota yang terletak di pinggiran Houston, Texas.
Pria dengan mantel hitam itu tiba di sebuah rumah yang sudah menjadi targetnya, rumah yang dihuni oleh seorang wanita single parent yang hidup bersama dengan putrinya. Seorang gadis remaja yang berumur 16 tahun dan duduk di high school.
Pria bermantel tersebut dengan mudahnya membuka pintu rumah sang wanita. Suara langkah kakinya teredam oleh sol sepatunya yang dari karet. Sebuah pisau berkilat tajam ada di genggaman tangan kirinya. Tak ada rasa takut aksinya akan ketahuan, pria bertudung hitam itu pun membuka pintu kamar.
Begitu pintu terbuka dengan perlahan, terlihat sang ibu tertidur pulas. Pria misterius itu melanjutkan kembali langkahnya menuju ke kamar yang ada di sebelah kamar sang ibu. Begitu pintu kamar terbuka, pria misterius itu tersenyum dari balik topengnya, hanya giginya yang putih bersih dan rapi yang terlihat dari balik topeng penutup wajahnya.
Dihampirinya remaja perempuan yang sedang tertidur pulas tersebut. Sang pria bertopeng berbisik di telinga remaja tersebut, “Sayang sekali, Kau tidak akan lama hidup di dunia ini. Ucapkan selamat tinggal dunia,” ucapnya. Hembusan napasnya yang wangi mint berhembus di telinga dan leher gadis remaja itu, hingga Ia terbangun dari tidurnya.
Melihat targetnya terbangun, pria itu tersenyum dengan penuh percaya diri dilepaskannya topengnya sambil mengacungkan pisau tajam yang berada di genggaman tangan kirinya.
Remaja putri itu kaget melihat wajah pria yang masuk ke dalam kamarnya dan sedang mengacungkan pisau ke arahnya. Sebelum Ia berhasil mengeluarkan suaranya, mulutnya telah di tutup duluan dengan tangan kanan pria yang ada di depannya.
“Suara mu tidak akan terdengar lagi dan Kau hanya akan berteman dengan cacing di dalam peti mati mu.”
Tes…tes…darah mengalir dari tubuh gadis remaja itu yang berasal dari luka sayatan di lehernya. Pria itu kemudian tertawa melihat korbannya sudah tidak bernyawa dan dikenakannya kembali topeng karet penutup wajahnya. Selesai dengan misinya, Ia pun meninggalkan kediaman korbannya dengan santai dan tidak terburu-buru.
Pagi harinya, sang ibu merasa heran, karena putrinya belum bangun juga dari tidurnya, sementara Ia harus pergi ke sekolah. “Karen!, ayo cepat bangun. Bukankah Kau hari ini akan mengikuti latihan vocal grup di sekolahmu!.” Teriak Joana.
Setelah menunggu beberapa menit dan putrinya masih tidak ke luar juga dari kamarnya, Joana dengan kesal meletakkan panci yang sedang dipegangnya dan berjalan menaiki lantai dua, tempat di mana putrinya tidur.
Di bukanya pintu kamar Karen, dengan cepat dan masuk ke dalam kamarnya. Alas kakinya menginjak sesuatu yang terasa lengket, Joana melihat darah, “Kenapa ada darah di lantai,” gumam Joana dan Ia gegas ke tempat tidur di mana Karen berada.
Joana berteriak histeris begitu melihat putrinya telah tak bernyawa dengan mata melotot dan luka sayatan di lehernya yang lebar dan dalam. Ia mengguncang-guncang tubuh putri satu-satunya itu. “Honey, wake up!, please!. Kamu jangan buat mom takut dengan candaanmu. Sekarang bukan waktunya pesta Halloween,” ucap Joana sambil menangis.
Ia dengan setengah berlari menuju ke kamarnya dan mengangkat telepon rumahnya untuk menghubungi 911. Dalam waktu singkat sambungan terhubung, Joana pun menceritakan apa yang terjadi di rumahnya dan menyebutkan alamat rumahnya.
Operator yang menerima telepon dari Joana meminta kepadanya untuk bersikap tenang. Sebentar lagi tim patroli akan sampai ke rumahnya. Operator tersebut juga meminta kepada Joana untuk tetap berada di tempatnya saat ini dan jangan memutuskan sambungan telepon, hingga petugas patroli datang. Tolong Anda kunci pintu ruangan tempat Anda berada saat ini dan usahakan jangan panik.
Joana menuruti apa yang dikatakan oleh operator 911 kepadanya. Ia gegas berlari ka arah pintu kamarnya dan langsung menguncinya. Joana pun berbalik ke tempatnya tadi. Disibaknya korden dan Ia mengintip dari balik kaca jendela kamarnya, menunggu kedatangan petugas patroli untuk memeriksa.
10 menit menunggu, Joana yang selalu melihat ke arah luar melihat kedatangan mobil patroli kepolisian Houston. Joana yang tidak ingin gegabah mengatakan kepada sang operator 911 plat mobil patroli yang datang ke rumahnya. Begitu yakin kalau itu adalah mobil patroli yang dimaksud, Joana segera beranjak dari tempatnya.
Di putarnya kunci pintu kamarnya dan Ia melangkah ke pintu depan. Joana segera membuka kan pintu untuk petugas polisi yang melakukan patroli. Joana mempersilahkan masuk kepada dua orang petugas polisi yang datang ke rumahnya dan mengantarkan mereka menuju kamar putrinya.
Joana kembali menangis terisak melihat kondisi putrinya yang tewas mengenaskan. Tak dihiraukannya wajahnya kotor, karena maskara murahan miliknya yang luntur bersamaan dengan air matanya yang terus mengalir.
Salah seorang petugas polisi itu kemudian menelepon, selesai menelepon ia berbalik dan menghadap ke arah Joana. Petugas itu meminta data diri Joana dan juga data diri putrinya yang kemudian di catat dalam buku agenda miliknya.
Tak lama berselang, seorang pria dengan usia berkisar 35 tahunan masuk ke dalam kamar putri Joana dengan celana jeans dan kemeja coklat tua yang lengannya digulung hingga ke siku.
Pria itu kemudian memperkenalkan dirinya sebagai detektif John Miller dan ia yang akan menangani kasus pembunuhan putri dari wanita tersebut bersama dengan partnernya, detektif Monza. Detektif John Miller, kemudian melihat ke arah korban. Dilihat dari luka sayatan di leher dapat diperkirakan kalau pelaku adalah kidal. Ia mengenakan tangan kirinya untuk membunuh korbannya.
Detektif John Miller melihat ke arah cermin yang telah dicoret dengan darah korban dengan tulisan, “Satu demi satu suara nyanyian akan menjadi suara jeritan. Hanya keheningan malam dan suara lolongan anjing yang terdengar.” Tampaknya sang pelaku meninggalkan sebuah teka teki yang harus dipecahkan oleh detektif John Miller bersama dengan partnernya yang berada di bawah. Miller memotret dan pesan sang pembunuh di agenda miliknya, ini merupakan petunjuk dari sang pembunuh.
Detektif Miller membuat catatan dan meneliti setiap sudut kamar gadis remaja yang bernama Karen yang menjadi korban pembunuhan. Detektif Miller kembali menghampiri Joana dan meminta keterangan kepada Joana mengenai putrinya.
Joana menerangkan putrinya bernama Karen dan Ia merupakan siswi di Senior High School Valey. Joana juga menceritakan kepada detektif Miller, kalau putrinya tergabung dalam vokal grup di sekolahnya dan mereka baru-baru saja memenangkan kejuaraan lomba vokal grup tingkat Nasional.
Joana juga menerangkan kepada Monza dan Miller, kalau putrinya itu merupakan anak yang periang dan disukai banyak orang. Ia tidak mempunyai musuh, karena semua menyukainya.
Joana mengatakan, kalau ia tidak memiliki bayangan sama sekali, siapakah yang sudah mencelakakan putrinya.
Sementara itu, tim forensik juga sudah datang untuk memeriksa kondisi jasad Karen. Tubuh korban telah diambil fotonya dan diperiksa, setiap sudut kamar Karen pun telah didokumentasikan.
Merasa cukup bertanya kepada Joana dan detektif Miller menyerahkan kartu identitasnya kepada Joana agar Joana memberitahukan kepadanya jika sewaktu-waktu Ia mempunyai informasi tambahan. Detektif Miller, kemudian turun ke bawah dan memeriksa pintu depan rumah Joana, “Semoga saja petugas patroli yang pertama kali datang tidak lupa mengenakan sarung tangan dan semoga saja pelaku meninggalkan sidik jarinya.” Gumam Miller.
Miller melakukan prosedur pemeriksaan sidik jari dan memasukkan nya ke dalam plastik klip. Moris mengamati pintu rumah Joana tidak mengalami kerusakan sama sekali. Rekan Miller, detektif Monza datang menghampiri Miller.
“Tidak ada kerusakan sama sekali, pelaku dapat dengan mudah masuk ke dalam rumah. Apakah pelaku mengenal korban dan sudah pernah datang kemari?, dilihat dari mata korban yang melotot, sepertinya korban sempat terbangun dari tidurnya dan terkejut melihat pelaku,” ucap monza.
“Sepertinya korban juga sempat memberontak dilihat dari pergelangan tangannya yang mengalami memar dan kondisi selimut yang tersibak dan berantakan. Kasihan gadis cantik ini harus menjadi korban pembunuhan,” sahut Miller.
“Aku akan meminta foto semua anggota vokal grup Senior High School Valey. Kurasa kita perlu bertemu dengan mereka semua. Bisa jadi pelakunya adalah salah seorang diantara mereka,” tutur Monza lagi.
Miller menyetujui ucapan rekannya, menurutnya bisa juga nyawa anggota vokal grup lainnya dalam bahaya. Kemungkinan pelaku mengincar anggota vokal grup lainnya. Miller mengajak Monza untuk segera kembali ke markas mereka dan mulai melakukan analisa mengenai kasus pembunuhan Karen.
Monza melajukan mobil untuk kembali ke markas dan di tengah perjalanan mereka di sambut oleh hujan yang turun dengan lebat. Miller dan Monza tadi sempat mengambil sampel tapak sepatu yang kemungkinan milik pelaku. Mereka beruntung, hujan tidak turun sebelum mereka selesai melakukan pengecekkan seluruh halaman rumah Joana, bagian muka dan belakang.
Miller dan Monza turun dari mobil Cheverolet milik Monza, pria keturunan Italia yang berumur 37 tahun. Karena hujan semakin lebat, keduanya turun dari mobil dengan memakai rain coat dan sambil berlari kecil masuk ke dalam kantor mereka.
Setelah menggantung rain coat pada hanger, Monza langsung menuju mesin pembuat kopi, sepertinya kopi pahit panas cocok menemaninya mempelajari kasus pembunuhan Karen, remaja 16 tahun dengan warna rambut pirang dan mata biru.
Melihat Monza yang sedang membuat kopi, Miller pun minta dibuatkan kopi yang sama seperti milik Monza. Moris langsung masuk ke dalam ruang kerjanya bersama dengan Monza. Ia langsung menuju ke white board dan mencoba membuat beberapa catatan untuk menganalisa kasus pembunuhan yang baru terjadi.
Di buatnya bagan, korban umur 16 tahun status pelajar dan anggota vokal grup Senior High School Valey. Mata biru, rambut pirang. Ada pesan dari sang pembunuh yang tertulis di kaca korban. Moris kemudian menempelkan catatan yang berisikan pesan dari si pembunuh.
Monza masuk ke dalam ruangan dengan 2 cup kopi hitam panas di kedua tangannya dan diletakkannya di atas meja. Monza kemudian menghampiri Miller dan ikut memberikan analisanya. Di tulisnya orang tua korban single parent dan tinggal terpisah dari tetangga lainnya.
Monza menyarankan kepada Miller agar mereka segera datang ke sekolah Senior High School Valey untuk mencari informasi siswa yang menjadi anggota vocal grup.
Miller menyetujui saran dari Monza dan setelah menyelesaikan menganalisa, keduanya lalu meminum kopi hitam mereka. Kemudian keduanya pergi menuju ke tempat Karen sekolah, sebelum Ia tewas.
Kedatangan Miller dan Monza yang tampan mendapatkan tatapan kagum dari para siswi Senior High School Valey yang melihat keduanya. Miller dan Monza mengabaikan tatapan kagum dan pujian terang-terangan yang dilayangkan kepada keduanya.
Miller bertanya kepada salah seorang siswi yang ditemuinya di mana ruangan kepala sekolah. Mereka lalu ditunjukkan di mana ruangan kepala sekolah berada, yang terletak di ujung ruangan dan bersebelahan dengan ruang guru.
Miller dan Monza mengucapkan terima kasih dan melanjutkan langkah mereka menuju ruangan kepala sekolah. Mereka tiba di ujung lorong dan ada ruangan yang bertuliskan ruang kepala sekolah, Mrs. Dorothy Moris. Miller mengetuk pintu sang kepala sekolah dan dipersilahkan masuk.
Sementara itu, para siswi yang tergabung dalam vokal grup sekolah, sedang merayakan kemenangan mereka dengan berpesta di sebuah kedai yang ada di kota. Mereka mendapat ijin dari kepala sekolah untuk libur merayakan kemenangan dalam lomba vokal grup tingkat nasional.
Mereka sudah berkumpul sejak pagi dan mereka memesan banyak makanan dan minuman. Sebenarnya mereka ada 16 orang dan mereka sedang menunggu kedatangan Karen seorang saja yang belum muncul juga. Ke enam belas remaja putri itu asyik bercanda dan tidak mengetahui sama sekali mengenai kabar teman mereka yang sudah meninggal dunia.
Keenam belas remaja putri tersebut mengenakan rok skirt di atas lutut dan kaos yang bertuliskan Senior High School Valey. Mereka semua remaja yang cantik dengan warna bola mata dan rambut yang berbeda.
Sementara itu, Miller dan Monza yang sedang berada di ruang kepala Sekolah Senior High School Valey. Keduanya memperkenalkan diri mereka sebagai detektif di menjelaskan kedatangan mereka. Monza menyodorkan foto Karen ke hadapan Mrs. Dorothy Moris dan menanyakan kepadanya apakah Ia mengenali gadis yang ada dalam foto tersebut.
Mrs. Dorothy mengatakan, tentu saja Ia mengenalnya. Itu adalah salah seorang siswinya. Mrs. Dorothy menatap heran ke arah Monza dan Miller, “Tolong katakan kepada Saya, apa maksud kedatangan kalian berdua dan mengapa kalian bertanya tentang siswi Saya. Apakah Siswi Saya telah melakukan kesalahan yang membuatnya harus berurusan dengan pihak kepolisian?” tanya Mrs. Dorothy.
Miller pun menjelaskan maksud kedatangan mereka untuk mengabarkan siswi Senior High School Valey yang bernama Karen telah meninggal dunia dengan cara di bunuh.
Mendengar berita tersebut Mrs. Dorothy menatap tidak percaya ke arah Miller dan Monza. “Anda hanya berbohong bukan?, tidak mungkin siswi Saya meninggal terbunuh.”
“Maafkan Kami, Mam. Namun, itulah kenyataannya. Siswi Anda meninggal karena terbunuh tadi malam dan kedatangan kami ke sini untuk meminta nama-nama siswi yang menjadi anggota vokal grup,” ucap Monza.
Miller menyodorkan foto siswi-siswi yang tergabung dalam vocal grup, Miler meminta kepada Mrs. Dorothy untuk menuliskan nama-nama mereka di bawah foto wajah mereka.
Mrs. Dorothy pun menuliskan ke 17 nama siswinya yang tergabung dalam vokal grup, termasuk Karen. Dengan cepat Mrs. Dorothy menuliskan nama mereka semua dan menyerahkannya kembali kembali detektif Miller. Miller menyambutnya dan berkata, “Bolehkah kami bertemu dengan mereka semua?, ada hal yang harus kami tanyakan.” Tambah Miller.
Mrs. Dorothy mengatakan kepada Miller dan Monza kalau mereka semua sedang berpesta untuk merayakan kemenangan mereka di kedai “The Stone” Saya yang mengijinkan mereka semua untuk ke sana,” ucap Mrs. Dorothy.
Miller dan Monza bertanya mengenai keseharian Karen di sekolah, siswi yang bagaimana dirinya dan apakah Ia mempunyai musuh atau pernah terlibat pertengkaran dengan seseorang di sekolah.
Mrs. Dorothy menjelaskan kalau Karena siswi yang ramah dan ceria. Ia disukai oleh teman-temannya dan tidak pernah terlibat pertengkaran selama di sekolah dan ia tidak mempunyai musuh selama berada di sekolah.
Puas dengan keterangan yang mereka dapatkan dari Mrs. Dorothy, keduanya kemudian melanjutkan investigasi mereka menuju kedai The Stone dan bertemu dengan keenam belas gadis remaja yang sedang merayakan keberhasilan mereka.
Tidak lama kemudian keduanya pun sudah memasuki kedai dan dengan mudahnya mereka menemukan keenam belas remaja itu duduk. Mereka semua sedang duduk sambil bercanda dengan mengenakan seragam yang sama bertuliskan nama sekolah mereka.
Monza dan Miller mendatangi mereka semua dan mengeluarkan lencana kepolisian dari saku baju. “Maaf, mengganggu kalian semua Young Ladies, Saya detektif Miller dan ini partner Saya, detektif Monza. Miller dan Monza memperhatikan reaksi keenam belas remaja yang duduk di depan mereka. Keduanya mencoba untuk menganalisa reaksi dari para gadis remaja tersebut.
Monza kemudian menyampaikan berita duka mengenai meninggalnya teman mereka, Karen karena terbunuh. Monza memperhatikan reaksi terkejut mereka semua terlihat wajar. Mereka semua berseru kaget dengan nyaring, hingga memancing pengunjung kedai lainnya menatap ke arah mereka semua.
Termasuk seorang pria yang memakai topi koboi dan kacamata hitam. Pria itu terlihat aneh, karena di dalam ruangan dan suasana sedang hujan lebat. Ia memakai kacamata hitam. Pria itu dari tadi tampak mengamati keenam belas gadis remaja yang sedang menikmati hidangan yang mereka pesan sambil bercanda.
Diseruputnya gelas yang berisikan coklat menggunakan tangan kirinya dengan tatapan mata yang tidak pernah lepas dari memandang keenam belas gadis remaja tersebut dan kedua pria yang baru saja datang dan memperkenalkan dirinya sebagai detektif.
Pria itu menajamkan pendengarannya untuk mendengar apa yang menjadi tujuan dari kedua detektif tersebut mendatangi sekelompok gadis remaja yang sedang bersenang-senang.
Monza dan Miller berbisik, sebagai seorang detektif yang terlatih dan memiliki kepekaan yang tinggi mereka berdua menyadari kalau sejak mereka memasuki kedai mereka terus diperhatikan.
Diam-diam, Miller mengambil handphone dari saku celananya dan membuat video ke sekeliling kedai. Setelah merasa kekagetan dari keenam belas remaja yang ada di depannya reda, Miller kembali melanjutkan ucapannya. “Apakah kalian mengetahui Karen memiliki musuh atau tidak. Mungkin saja kalian mengetahui Ia bertengkar dengan seseorang selama berada di sekolah maupun di luar sekolah?”
Mereka semua menjawab dengan kompak, tidak. Karena teman yang ramah dan mudah bergaul dengan siapa saja. Bahkan saat mereka mengikuti lomba vokal grup tingkat nasional, Karen disukai oleh peserta lainnya.
Mendengar itu semua, Miller dan Monza dalama hatinya membenarkan ucapan Mrs. Dorothy. Monza kemudian bertanya lagi, “Apakah Karen memiliki seorang kekasih?”
“Karen tidak memiliki seorang kekasih,” jawab salah seorang temannya dengan cepat. “Tapi, Saya baru ingat, beberapa hari yang lalu, daddy Karen datang ke sekolah kami dan mereka berdua terlihat berdebat. Karen tampak tidak suka dengan kedatangan daddy nya itu.” Tambahnya lagi.
“Apakah kalian semua tahu siapa nama daddy Karen dan di mana alamatnya atau pekerjaannya?” tanya Miller.
“Nama daddy dari gadis itu adalah Jack. Sepertinya dia orang yang sukses saat datang ke sekolah kami menggunakan mobil mewah dan pakaian yang bagus serta mahal,” jawab seorang gadis remaja yang memperkenalkan dirinya bernama Megan.
Sementara itu, di Senior High School Valey, Mrs. Dorothy mengumumkan berita mengenai kematian Karen dan akan di makamkan seminggu kemudian. Semua siswa siswi Senior High School Valey diminta datang saat acara pemakaman untuk memberikan penghormatan terakhir kepada Karen.
Seorang remaja laki-laki seusia Karen yang sedang memotong daging steak di hadapannya dengan pisau di tangan kirinya,, menghentikan kegiatannya. Dia adalah Rob, 16 tahun kekasih Karen. Mereka menjalin hubungan rahasia, tidak ada yang tahu mengenai hubungan mereka berdua.
Rob kemudian menghentikan makan siangnya di kantin sekolah, setelah mendengar pengumuman Mrs. Dorothy, Ia bangkit dari duduknya dan menuju ke taman sekolah. Sambil berjalan, Ia menelepon seseorang dan mengajaknya untuk bertemu di sana.
Rob berdiri di bawah patung taman yang berbentuk Cupid dengan air mancur kecil yang mengalir dari patung tersebut. Tak berselang lama kemudian, yang di tunggu oleh Rob datang juga.
Mereka langsung saling berpelukan begitu bertemu, “Apakah Kau mendengar apa yang dikatakan ibu kepala sekolah, Rob?. Mengapa Karen meninggal, padahal saat Ia memergoki kita berdua Karen masih hidup dan terlihat baik-baik saja. Apakah Ia meninggal karena bunuh diri, Rob?, Kita harus segera datang ke rumah mommy Karen,” ucap gadis remaja itu beruntun.
“Hei, tenanglah. Kita akan datang ke rumah mommy Karen, saat berada di sana kita akan memperkenalkan diri kita sebagai temannya saja,” ucap Rob kepada gadis yang berada dalam pelukannya yang ternyata adalah kekasihnya.
Keduanya tidak menyadari, kalau mereka berdua diperhatikan oleh seseorang dengan begitu tajam. Sosok itu bersembunyi bi balik pohon maple yang banyak terdapat di sekitar taman sekolah.
Sementara itu, di kedai The Stone, Monza dan Miller selesai bertanya kepada keenam gadis remaja yang ada di depannya dan mereka memutuskan untuk kembali menemui Joana.
Keduanya ke luar dari dalam kedai menuju mobil tua milik Monza. Sementara itu, pria dengan topi koboi dan kaca mata hitam pun bangkit dari duduknya dan langsung menuju kasir untuk membayar pesanannya dengan menggunakan tangan kiri.
Pria itu gegas ke luar dari dalam kedai tidak mau kehilangan jejak Monza dan Miller. Ia langsung menuju mobilnya dan mengikuti mobil milik detektif Monza.
Monza melihat ke arah kaca spion, lihat lah mobil hitam di belakang kita. Kuperhatikan sejak kita ke luar dari parkiran kedai hingga kita berbelok di tikungan selalu mengikuti kita.”
“Ya, Aku juga memperhatikan. Kau tepikanlah mobil, Aku akan menghentikan mobil yang mengikuti kita dan bertanya kepadanya.”
Monza menepikan mobilnya, Miller langsung saja ke luar dari mobil dan mengambil pistol miliknya dari sarung pistol yang terselip di pinggangnya. Ia menghentikan mobil hitam yang terus mengikuti mereka dan membuat keduanya menjadi curiga.
Mobil hitam tersebut berhenti di samping Miller, Miller mengetuk kaca jendela mobil dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya memegang pistolnya dengan erat. Sementara Monza dari jauh juga mengarahkan pistolnya ke arah Miller untuk berjaga kalau saja pengemudi mobil hitam berniat mencelakakan Miller.
Pria yang berada di balik kemudi menurunkan kaca mobilnya, Miller langsung menyapanya, “Selamat siang, Tuan. Maaf mengganggu perjalanan Anda. Saya detektif Miller, mengapa Anda mengikuti mobil kami?, tolong Anda lepaskan topi koboi milik Anda dan juga kaca mata hitam yang anda kenakan.”
Pria dengan mobil hitam itu, tetap memegang setir dengan tangan kirinya, dan tangan kanannya terangkat ke kepala. Miller pikir Ia akan melepaskan topinya, ternyata Ia salah dengan gerak cepat pria tersebut menjalankan kemudi mobil dengan tangan kirinya. Pengemudi tersebut tidak mematikan mesin mobilnya, saat dihentikan oleh detektif Miller.
Dengan cepat mobil hitam itu melaju dan kemudian berbelok, Miller hampir saja tertabrak, untungnya Ia cepat menghindar. Miler mengarahkan pistolnya ke arah mobil hitam yang mengemudi dengan cara zig zag, dan di esakkannya sebutir peluru dari pistol miliknya ke arah mobil hitam yang melaju dengan kencang.
Monza dengan cepat menyalakan mesin mobil dan menghampiri Miller, untuk mengejar mobil hitam yang melesat pergi.