MATA Grisham berbinar dan senyum tipis tersungging di bibirnya ketika melihat penampilan Esteva yang baru. Gadis itu sedikit lebih beradab, tetapi setelah dipikir lagi, penampilan rapi dan sopan memang tidak cocok untuknya. Mata itu, mata yang nyalang, tajam menyasar buruan dan tidak pernah lengah. Dia kucing hitam yang akan menunggu di sudut gelap, lalu menerkam buruannya.
"Silakan duduk," ucap Grisham pada Esteva. Alfred menarik kursi makan untuk gadis itu.
"Sí, Señor. Gracias." Ya, Tuan, Terima kasih, sahut Esteva. Dia duduk di sebelah Grisham, berhadapan dengan Britanny yang mengawasi setiap gerak- geriknya.
"Jika kau punya makanan kesukaan atau masakan di sini tidak sesuai seleramu, kau biasa mengatakannya langsung padaku atau pada Alfred," lanjut Grisham sambil meraih sendok garpunya, memulai acara makan siang mereka. "Aku akan mencari koki yang bisa memasak sesuai seleramu.
"Sí," sahut Esteva lagi lalu mulai makan mengikuti tuannya.
Britanny menunduk sedikit saat menyuap makanan, kemudian dia terperangah. "Kalungku!" serunya panik. Meletakkan sendok makannya, ia meraba- raba lehernya. "Kalungku tidak ada." Britanny bangkit dari kursinya, memeriksa pakaiannya sendiri kalau- kalau kalungnya jatuh ke dalam baju.
Esteva melirik sambil menyuap makanan. Grisham menghentikan makannya, bersandar ke kursi untuk memandangi sepupunya itu —yang dari sudut pandangnya— hanya membuat masalah karena tidak senang dengan kehadiran tamu baru mereka. "Kau yakin tidak melepasnya, Britanny?" tanya Grisham.
Britanny mendelik pria itu. "Grisham, kau tahu aku bukan orang yang serampangan. Aku tidak asal- asalan memakai dan melepas barang, apalagi perhiasan. Itu kalung hadiah dari ibuku. Aku mengenakannya sejak bayi."
"Mungkin jatuh di suatu tempat. Biar kusuruh pelayan mencarinya ke semua ruangan. Kau duduk dan makanlah dulu, baru kau cari di ruangan mana saja kau berada." Grisham lalu menoleh pada Alfred. "Alfred, perintahkan semua pelayan mencari kalung Britanny di setiap sudut rumah dan halaman."
"Baik, Tuan!" Alfred meninggalkan ruang makan untuk menyampaikan titah tuannya.
Britanny duduk lagi dan berusaha tenang, tetapi ia masih terlalu gusar untuk melanjutkan makan. "Bagaimana kalau tidak ditemukan lagi? Kalung itu sangat berharga buatku."
Esteva menatap Grisham dengan sorot bersungguh- sungguh. "Apakah saya perlu ikut mencari, Señor?" tanyanya. "Saya merasa tidak enak jika tidak membantu."
Grisham tersenyum hangat pada gadis itu. Meraih tangan Esteva dan mengusapnya sekilas bagai kesayangannya. "Tidak perlu, Eva. Ada ratusan pelayan di sini, aku yakin mereka bisa menanganinya."
Esteva pun menunduk kembali ke piringnya. "Sí," sahutnya singkat kemudian melanjutkan makan tanpa terganggu apa pun walau Britanny mendengkus dan menghunuskan tatapan tajam padanya.
"Kau pasti mengetahui sesuatu," tuding Britanny.
Esteva menelengkan kepala dan keningnya mengernyit bingung. "Maaf, apa maksud Anda, Nona?"
"Kau pasti tahu betul apa yang kumaksud!"
Nada suara Britanny yang meninggi membuat Grisham menegurnya. "Britanny, bisa kau kendalikan emosimu? Kita sedang makan dan tidak sopan menuduh tamu kita seperti itu. Eva baru saja tiba di sini, kau sudah membuatnya tidak nyaman."
Esteva mencoba menenangkan suasana. "Tidak apa- apa, Señor, saya sudah biasa diperlakukan demikian," katanya mengiba.
Grisham kembali menatap Britanny dengan tatapan geram. "Kau dengar itu, Britanny? Jangan memperburuk perasaan Eva. Aku harap kau lebih bijaksana dan jangan berasumsi buruk pada gadis yang baru kau kenal." Grisham kembali pada gadisnya, menatap lembut dan berkata penuh perhatian. "Makan yang banyak, Eva. Bournemouth tampaknya tidak mengurusmu dengan baik. Di sini kau akan mendapatkan semua kenyamanan dan ketenangan yang kau inginkan."
Britanny mengantup bibirnya rapat- rapat agar tidak memaki. Hanya sesama perempuan yang bisa merasakan kejahatan dalam diri gadis bernama Esteva itu, sementara para lelaki akan mudah dikibuli oleh penampilan cantik dan provokatifnya. Britanny meremas serbetnya berkali- kali, tetapi itu pun tidak sanggup meredam amarahnya. Ia mengempas serbet ke piringnya lalu berdiri gusar dan meninggalkan meja meski makanannya masih banyak sisa.
Esteva memandangi kepergian Britanny. "Ada apa dengan Nona Britanny?" gumam Esteva.
Grisham menyahut santai. "Britanny memang mudah emosional jika aku dekat dengan perempuan lain. Dia semacam brother complex padaku. Jangan dipikirkan. Lama- lama ia akan terbiasa." Esteva tersenyum saja menanggapinya. Mereka lalu makan dengan tenang sampai selesai.
Seharian itu, para pelayan disibukkan mencari kalung Britanny. Mereka tidak menemukannya juga dan itu membuat Britanny menangis putus asa di kamarnya. Ia tidak ingin berprasangka buruk, tetapi firasatnya sangat kuat, yakin bahwa Esteva berperan dalam kejadian itu. Namun, Grisham malah membela Esteva, dibutakan oleh sikap manis dan lugu gadis itu. "Dasar gadis bi.nal penggoda!" rutuk Britanny.
Sementara Esteva memulai malam pertamanya dengan rasa penuh kemenangan. Sendirian dalam kamar barunya, ia melenggang memandangi berkeliling kamar tidur berperabot mewah tersebut. Sepatunya ditinggalkan tergeletak dekat pintu. Ranjang besar dan sangat empuk, berhias kelambu akan membuatnya tidur nyenyak tanpa gangguan nyamuk. Nakas dan lemari set besar berisi gaun- gaun indah serta pakaian pelengkap lainnya, peninggalan mantan tunangan Grisham. Esteva mencibir pakaian tersebut, tetapi merasa cukup lumayan memenuhi selera dan kebutuhannya. Di meja rias berjejer mekap dan rak kecil berisi aksesoris cantik. Semua barang- barang itu cukup berharga jika dijualnya di luaran.
Ia lalu mendekati jendela dan memeriksa teralisnya. Satu- satunya bagian yang tidak disukainya dari kamar itu. Bahan besi itu sangat kuat terpaku ke kusen, tidak akan mudah melepas atau merusaknya. Bagi gadis petualang dan kerap terusir ke jalanan seperti dirinya, menemukan jalan keluar darurat adalah suatu keharusan.
Agaknya Grisham sengaja menempatkannya di kamar tersebut agar ia tidak mudah melarikan diri. Tidak mengherankan untuk seorang piaraan baru diperlakukan tuannya yang pernah punya pengalaman dikhianati orang yang disayanginya. Entah apa definisi menyayangi bagi Grisham. Sikap dermawan dan terhormat Grisham terasa berlawanan dengan reaksinya saat ia menawarkan diri. Pria itu pun butuh pelampiasan, menyalurkan sisi gelapnya yang tidak akan diungkapnya kepada siapa pun.
Tidak perlu waktu lama, Esteva menyaksikan sendiri apa yang baru terlintas di pikirannya. Grisham masuk tanpa mengetuk pintu, bersandar di pintu seraya menutup dan mengunci kamar dari dalam. Wajah pria itu menggelap dan mata memicing tajam, berlawanan dengan wajah ramahnya saat siang hari.
Esteva berdiri dekat jendela, menoleh pada pria itu dengan sorot menyelidik, merasakan dirinya juga diselidiki oleh tatapan dingin Grisham. Esteva berusaha setenang mungkin menyapanya. "Selamat malam, Señor. Ada yang bisa saya bantu?"
Rahang Grisham mengeras lalu perlahan melangkah ke tengah kamar. Ia menarik pecut kuda dari belakang pinggangnya. Kedua tangannya mengenakan sarung tangan kulit hitam pekat. Tangan itu mengusap sepanjang pecut, lalu melecutkan ringan ke tangannya sendiri. Mata cokelat gelapnya tidak lepas sekejap pun dari gadis latin itu.
Tidak ada sedikit pun terkilas rasa takut atau gugup di raut manis Esteva, membuat Grisham semakin tertantang. Ia memanggil gadis itu agar mendatanginya. "Mendekat padaku, manis. Ada sesuatu yang harus kusampaikan padamu."
Tanpa ragu Esteva melangkah padanya. Kaki halus tanpa alas berpijak penuh keyakinan di hadapannya. Grisham menelusuri lekuk tubuh Esteva dengan ujung pecut, mulai dari pinggulnya, gundukan da.danya, lalu leher, dan berhenti di dagunya. "Saat kita berdua saja, aku bisa melakukan apa pun keinginanku," desis Grisham. Ia menekan ujung pecutnya agar dagu Esteva terangkat dan ia bisa menatap ke dalam sorot tidak kenal takut gadis itu. "Kau paham?"
"Baik, Tuan," jawab Esteva singkat.
Grisham melangkah lagi hingga memepet tubuh Esteva di tengah- tengah kamar itu. Bicaranya lebih pelan, tetapi lebih menekan gadis itu dengan bunyi gemeletuk rahangnya. "Sekarang katakan sejujurnya padaku, apa yang kau lakukan pada kalung Britanny."
Esteva menelan ludah, yang tiba- tiba sangat sukar dilakukan. "Saya tidak melakukan apa pun," ujarnya.
Sedikit pun Grisham tidak percaya ucapan itu. "Sungguh, Eva, tidak ada gunanya kau berbohong. Aku sudah bertemu banyak orang dan aku bisa mengetahui jika mereka berbohong padaku. Jika kau tahu pada siapa kau mengabdi dan bisa menyenangkanku, aku mungkin menjagamu tetap aman di sini daripada mengirimmu ke penjara Scotland Yard."
Bola mata Esteva mendelik meremehkan dan nyaris menertawakan Grisham. Seolah menyampaikan, Silakan kirim aku ke penjara, toh selama ini aku memang sampah masyarakat. Sikap melawan yang membuat Grisham geregetan sendiri. Masalahnya, ia tidak tega mengirim gadis muda dan cantik jelita ke penjara. Lebih baik dikurung dalam kastelnya dan menjadi lawan mainnya bersenang- senang ... eeh hehehe. "Masih bersikeras tutup mulut?" kecam Grisham.
Grisham tidak punya bukti apa pun kecuali pengakuan yang akan keluar dari mulutnya. Rahang halus Esteva mengeras dan balas menatap tajam pada Grisham. "Saya tidak merasa melakukan kesalahan apa pun. Apa yang akan Anda lakukan?" tantang Esteva.
"Cih, dasar gadis bandel!" desis Grisham lalu mengayunkan pecutnya ke bawah hingga berbunyi letusan. Tidak sekejap pun gadis itu terjengkit. Grisham geram bukan main. Ia membentak Esteva. "Ke ranjang! Dan tunjukkan pipi pantatmu padaku. Biar aku pukul sampai kamu mengaku!"
***
GRISHAM pernah mencintai sampai mabuk kepayang saat bersama tunangannya. Dia memperlakukan gadis itu bagai tuan putri, tetapi balasan yang didapatnya adalah pengkhianatan dan dipermalukan di depan umum. Ia sangat membenci Andreas Bradford Bournemouth karena hal itu dan akan menghancurkan pria itu jika ia punya kesempatan. Sekarang gadis dari Bournemouth datang padanya, gadis liar yang merasa bisa memanfaatkan pria mana pun. Gadis itu harus ditunjukkan siapa tuannya. Grisham belajar untuk tidak akan lengah dan lemah lagi terhadap perempuan mana pun.
Di benak Esteva berpikir, katanya, rasa sakit akan membantu melupakan rasa sakit hati. Ia ingin mencobanya. Ia tersenyum kecut pada Grisham, lalu berbalik seraya mengangkat roknya, kemudian membungkuk ke ranjang memperlihatkan pantatnya pada pria itu.
Terpampang menghadap Grisham kedua tungkai kaki halus berbalut stoking putih, lalu bahan setali yang mencengkam belahan di antara cekungan pipi p****t Esteva.
Grisham mengernyitkan sebelah keningnya, melihat keindahan belahan kaki halus itu, gundukan di bagian depan celananya membesar, meronta dalam kurungan. Grisham mendekati belakang Esteva dan membelai kulit halusnya. Mencengkeram- cengkeram kekenyalannya. "Wah, gadis manis, kau memang menunggu aku melakukan ini rupanya."
Serak suara Grisham dan sentuhan tangan berlapis kulit itu membuat getaran berdesir di sepanjang tungkai kaki Esteva. Desahan halus lirih dari bibirnya.
Grisham memicingkan mata lalu menyentak ujung pecutnya ke salah satu pipi p****t Esteva.
Tarr!
"Ah! Sshh ...." Gadis itu terpekik kecil lalu mendesis keperihan.
Melihat kulit mulus itu memerah, Grisham mengurut- urutnya lembut. "Kau mencuri kalung Britanny atau tidak?" geram Grisham.
Pecutan Grisham tidaklah perih sangat. Pria itu tidak sungguh- sungguh melakukannya. Esteva mendelik ke belakangnya. "Anda cukup yakin akan mendapatkan pengakuan itu dari saya, kenapa tidak lanjutkan saja hukuman Anda, Tuan?" tantang Esteva lagi.
Grisham mendengkus ketus. "Kau menantangku, Eva?"
"Sí," jawabnya singkat, membuat Grisham mengayunkan pecutan yang sedikit lebih keras dari sebelumnya.
Tarr!
"Kyaah! Hmmpphh ...." Gadis itu kembali terpekik yang segera diredamnya dengan menggigit bajunya.
Pipi p****t Esteva yang sebelahnya menjadi merah panas. Gigi Grisham bergemeletuk. Ia menahan diri agar tidak merobek kulit halus gadis itu.
Tarr! Tarr! Tarr! Tarr!
Grisham mengayunkan pecutnya lagi, beberapa kali hingga aliran darahnya sangat laju dan debaran jantungnya menjadi tidak karuan. Kebuasan dalam dirinya siap mendobrak tameng- tameng tata krama yang selama ini diketahuinya. Gadis itu semakin kuat menggigit bajunya hingga matanya terpejam rapat. Bahkan Grisham melihat kilauan air matanya.
"Sialan!" desis Grisham. Ia melempar pecutnya ke sudut kamar dan bergegas mendekap Esteva dari belakang, menegapkan tubuh gadis itu ke dadanya, lalu menarik kain yang digigit Esteva agar ia membuka mulut.
"Hiks ...." Gadis itu terisak pelan.
Ia melihat jejak aliran air mata di kedua sisi wajah Esteva. Tangannya yang dilapisi sarung kulit hitam mencengkeram pipi Esteva. Ia mengguncang rahang gadis itu agar berkata sesuatu. "Kenapa kau melakukannya? Katakan kenapa kau mencuri kalung Britanny? Apa kau memang mencari hukuman seperti ini? Apa kau menikmati semua rasa sakit yang aku berikan? Apa yang sebenarnya kau cari dari rasa sakit itu, manis?" ujarnya mendesis di tepi telinga Esteva.
Gadis itu tersenyum getir dan menjawabnya dengan bibir gemetaran. "Mungkin setelahnya rasa sakit yang saya rasakan akan berkurang?" ucapnya ragu.
"Rasa sakit di mana yang kau maksudkan?"
"Sesuatu di dalam da.da, yang saya harap bisa saya tarik keluar dan membuangnya."
Gadis yang malang .... Grisham menyapukan dahinya ke rambut Esteva, lalu menciumi lembut rahang gadis itu. "Kau hanya akan menghancurkan dirimu sendiri, manis. Tidak ada gadis baik- baik akan melakukan itu."
Masalahnya, ia bukan gadis baik- baik. "Bukankah itu yang diharapkan semua orang?" tukas Esteva. "Saya gadis nakal yang harus dihukum."
Grisham melepaskan rahang Esteva. Sebelah lengannya melingkupi leher gadis itu, sebelahnya lagi meraba- raba, berpindah ke lekukan munjung buah dara Esteva. Mulai memanjakannya sebagai ganti rasa sakit akibat pecutannya. "Siapa yang berkata begitu? Apakah orang-orang di sana memperlakukanmu sangat buruk, sayang?"
Remasan Grisham membuat tubuhnya memanas dengan cepat. Esteva menjadi dalam kendali pria itu. Ia mendesah kehausan, butuh sentuhan penuh sayang itu lebih banyak. Ibu kandungnya, saudara- saudaranya, lalu Andreas, mereka semua membencinya. "Semua orang yang saya cintai," ucap Esteva terisak, "mereka menyakiti saya ...."
Tetes air mata memelas itu membuat Grisham iba. Bibirnya menyapu sepanjang jejak tetesan itu. "Ooh, sayang, jangan menangis lagi. Kau datang ke tuan yang tepat. Aku akan mengganti air matamu dengan emas berlian, asalkan kau patuhi aku." Bibir kasar Grisham menyambar bibir Esteva, melumatnya kuat hingga dengkusan keras dihembuskan Grisham. "Hummhh ...."
Ciuman itu membuat kaki Esteva lemah. Aroma napas dan tubuh pria sangat maskulin mendobrak pikirannya. Ia tidak bisa berpikir jernih. Ia berusaha memutar tubuh untuk mendorong Grisham, tetapi dekapan dan remasan tangan pria itu sangat kuat menahan tubuhnya. Ia gelagapan mencari udara. Setelah kesakitan, ditambah gempuran berahi membuat tubuhnya bereaksi aneh. Baru pertama kali ia rasakan. Kakinya merapat seolah akan ada pipis yang keluar. Seperti inikah rasanya dicum.bu pria dewasa dan berpengalaman? Esteva kebingungan, sesuatu di bawah sama berdenyut- denyut dan melelehkan kehangatan.
Grisham melepas sebelah sarung tangannya dan jemari telanjangnya bergerilya ke sela renda feminim Esteva, mencari lekukan lembap di sela kaki gadis itu. Ia menyentuh lembut titik- titik sensitif di sana. Dan rasanya luar biasa mendengar engahan merdu gadis itu. "Uhhmmmh ...."
Ketika sela mulutnya lepas sedikit dari bibir Grisham, Esteva menyempatkan bersuara lirih. "Ohmmh, Tuan ... apa yang Tuan lakukan pada saya ...?"
"Membuatmu lupa kesedihanmu, sayang ...."
"Kyahh ...," pekik halus Esteva. Sesuatu terbenam di dalam rongga mungil gadisnya. Grisham mengangkat rok gadis itu dan memandangi tangannya sendiri mengaduk- aduk area rahasia Esteva. Gemeletukan giginya kala berucap menyuruh gadis itu. "Buka gaunmu, sayang. Aku ingin melihat seluruh tubuhmu!"
Apakah ini semacam hukuman jenis baru? Esteva patuh seperti dikendalikan. Desir- desir yang ditimbulkan Grisham membuatnya melakukan persis apa yang disuruh. Ia mulai membuka tali- tali pengekang gaun yang membungkus tubuhnya. Sangat susah melakukannya karena gelitikan jari Grisham di lekukan sana membuat tubuhnya gemetaran tak terkendali. Terbayang pesta- pesta nakal yang biasa digelar Andreas di rumahnya, membuatnya paham apa yang menjadikan orang- orang itu seperti orang gila.
Ketika di tubuh Esteva tersisa kekangan korsetnya, Grisham sudah sangat tidak sabaran. Ia menarik membuka bagian penahan gundukan buah dara gadis itu. Melihat tonjolan mungil cokelat muda Esteva, bagai anggur muda setengah kering. Mata Grisham menggelap dan segera melalap kismis gadisnya.
"Ah!" Esteva terpekik kecil, sempat mendorong wajah Grisham, akan tetapi mulut pria itu sangat kuat menempel padanya, bahkan sampai terpejam keenakan.
"Ungghhh ...." Esteva hanya bisa mendesah keras sambil melanjutkan membuka ikatan- ikatan korsetnya. Heran Grisham tidak membantunya sama sekali, malah mempersulitnya.
Dari kismis manis yang sebelah kanan, Grisham seolah disodori yang sebelah kiri. Ia akan memperlakukan keduanya dengan adil. Mulutnya mengulum si manis mungil yang sebelah kiri, melahap nyaris seluruh gundukan kenyal gadis itu dalam mulutnya.
"Aaahh, Tuan ...," sebut Esteva. Sekujur tubuhnya memanas bagai dimasak. Buah daranya turut mengencang. Esteva mendesah lepas. Kedua tangannya menangkup rahang Grisham dan mengusapnya, merasakan kasar bakal janggut pria itu. Esteva meresah, "Hmmhhh, Tuan ... semua baju sudah saya lepas ...." Kecuali bagian bawah yang terhalang tangan Grisham. Gadis itu berdiri pasrah, tertunduk mendesah. Emutan mulut Tuan-nya mulai terasa nyaman.
Grisham berhenti mengemut kismis gadisnya. Esteva mendesah tak rela. Grisham membuka mulut, menjilati tepian bibir seakan tidak ingin menyisakan sesuatu yang lezat setelah menguncup sari gadisnya. Ia memandangi tubuh Esteva. Gadis Spanyol yang belia, tetapi lekukan tubuh bagai mahir bercin.ta. Alis Grisham terangkat, menyenangi apa yang dilihatnya. "Apakah Andreas pernah menyentuhmu, manis?"
Gadis itu tersenyum getir. "Tidak, Tuan. Andreas ..., ia menyia-nyiakanku demi orang lain ...."
Ah? Seorang gadis yang tidak pernah disentuh Andreas? Apalagi semanis Esteva? Rasanya sangat tidak mungkin, tetapi bukankah ia bisa membuktikannya sendiri? Ia mencabut jarinya dari sela ruang sakral gadis itu. Lepas dari tangannya, gaun Esteva seutuhnya teronggok di kaki. Tersisa stoking sampai pangkal paha yang melapisi kedua kaki Esteva. Nyaris menggeram, Grisham berujar tegas pada gadis itu. "Duduk dan buka kakimu! Biar aku bisa melihat jelas kebenaran ucapanmu."
***
Bersambung ....