Tubuh Rosemary bergetar hebat. Dia menggigil bukan karena kedinginan tetapi karena semua mata menatap kearahnya dengan tatapan menuduh.
"Gak tahu malu. Apa orang tua-nya gak bisa ngajarin bagaimana jadi gadis baik-baik? Kasihan sekali lelaki yang bakal jadi calon suaminya, cuma dapet bekas lelaki lain."
Apa yang salah, Rosemary berteriak marah, "Aku bukan perempuan nakal seperti yang kalian pikirkan. Aku adalah korban perkosean yang dilakukan oleh lelaki yang ada di dalam sana!"
"Dek, yang menginap di sini adalah orang berkelas, jadi mana mungkin bisa nerima perempuan sepertimu."
"Aku rasa dia punya penyakit makanya ditendang keluar," ejek tamu hotel yang lainnya.
Marah dan terhina, Rosemary menggedor pintu kamar yang ditempati oleh Lev, tetapi pria itu tidak keluar sementara ada beberapa tamu yang lebih memilih memberikan perhatian.
"Kalau kamu memang korban sebaiknya segera lakukan visum. Jadikan sebagai barang bukti. Tentu saja kalau kau memang korban bukan karena menuntut bayaran yang cukup tinggi," saran salah satu tamu.
“Mana mau dia visum, yang ada malah gak punya duit dan kehilangan kerja,” timpal yang lain.
"Aku akan melakukannya dan membuatnya membayar semua yang sudah dia lakukan," kata Rosemary.
Rosemary menatap dirinya yang masih memeluk selimut sementara pakaiannya berceceran di dekat kakinya karena dilemparkan keluar oleh Lev setelah dia mendorong tubuh Rosemary.
"Kamu bisa ganti pakaian di kamarku," kata salah satu wanita yang ada berdiri menonton.
"Terima kasih," jawab Rosemary lemah.
“Eh, kok bisa perhatian seperti itu, mau jadi pahlawan atau mau jadi….” Wanita itu tidak meneruskan ucapannya karena melihat tatapan dingin wanita yang memberi ruang pada Rosemary.
Wanita yang namanya tidak dikenal oleh Rosemary menatapnya penuh perhatian ketika melihat beberapa bukti kekerasan terdapat di tubuh Rosemary.
"Apa yang akan kau lakukan? Menurutku kau langsung melakukan visum setelah itu bawa hasilnya ke kantor polisi," sarannya.
"Terima kasih. Boleh aku tahu nama Kakak?" tanya Rosemary setelah selesai berpakaian.
"Astri, kau bisa memanggilku dengan nama itu. Kau bisa pergi sendiri atau perlu aku antar?"
"Apakah kakak tidak keberatan kalau aku minta bantuan?" tanya Rosemary lemah.
"Baiklah, aku akan mengantarmu, ayo berangkat!"
Lega karena ada orang yang membantunya membuat Rosemary yakin bahwa dia bisa melewati semuanya, sayang yang terjadi tidak semudah itu.
Seperti masuk dalam perangkap secara suka rela, seperti itulah yang terjadi pada Rosemary.
Di kantor polisi sudah duduk manis dengan wajah penuh kemenangan Anggoro dan Danur.
"Dia...dia adalah wanita yang memaksaku memberikan alamat Tuan Grigory. Dia berharap bisa menggoda dan merayunya karena terobsesi dengan lelaki asing," tuduh Anggoro.
"Apa? Apa maksud semua ini? Bukankah bapak yang sudah menyuruh saya menemuinya karena alasan kerja sama? Kenapa bapak sekarang bicara seperti itu?" tanya Rosemary gemetar.
Rosemary berusaha mencari ponselnya, sayang, ponselnya masih tertinggal di kamar Lev dan dia tidak yakin akan mendapatkannya kembali.
"Kenapa harus bohong? Bapak tahu apa yang sudah terjadi dengan saya?"
"Pak Polisi, ini adalah hasil Visum yang baru saja saya lakukan. Bapak bisa melihat bahwa saya mendapat kekerasan secara...."
Rosemary tidak dapat meneruskan kalimatnya. Dirinya sangat terluka. Seharusnya dia mendengarkan peringatan yang diberikan oleh Alfaroz tentang Anggoro, tapi kenapa? Kenapa dirinya yang belum berpengalaman yang harus dijadikan korban sementara banyak wanita yang mungkin bisa secara suka rela mau melakukannya?
Tangis Rosemary pecah. Dia tidak tahu harus berkata apa. Media pasti sudah meliput berita tentang dirinya.
Bukan.
Rosemary yakin yang diliput bukan dirinya sebagai korban melainkan soal pengusaha asing yang dituduh melakukan kejahatan pada wanita.
"Rose, sebaiknya kau buat laporan dulu. Tidak perlu kau dengarkan omongan lelaki yang kau panggil bapak itu. Setiap kalimat yang keluar dari mulutnya sangat lemah. Walaupun kau tidak memiliki buktinya, hasil visum sudah jelas membuktikannya," kata Astri tegas.
"Terima kasih, Kak."
Setelah membuat laporan dan Astri merekam semua barang bukti yang diberikan oleh Rosemary, mereka keluar meninggalkan Anggoro yang menatapnya penuh kemarahan.
“Dasar perempuan sundael. Seharusnya aku bisa mendapatkan lebih kalau dia cukup penurut,” katanya dalam hati.
Di luar, Rosemary terpaksa menutup wajahnya dengan tangan saat puluhan lampu blitz yang berasal dari berbagai macam merk camera menerpa wajahnya. Matanya sesaat seperti buta.
“Rosemary, kau adalah cameo di salah satu film, apakah kau sengaja membuat namamu terkenal dengan cara rendahan seperti ini? Apakah yang kau lakukan lebih mirip dengan wanita penghibur?” tanya salah seorang wartawan.
“Rosemary, kami bahkan tidak mengenal namamu tetapi dengan berita kau di tendang keluar dari salah satu kamar hotel telah menarik perhatian. Apakah sudah ada produser yang akan menjadikan dirimu seorang bintang baru?”
“Rosemary, apakah kau sengaja menjebak dan membuat berita rendahan karena kau menginginkan popularitas secara instan?”
Banyak lagi pertanyaan yang ditujukan pada Rosemary dan semuanya menghakimi seolah-olah Rosemary yang bersalah bukan sebaliknya.
Sementara Rosemary hanya menatap bingung semua wartawan yang mengajukan pertanyaan.
“Jangan jawab. Semua pertanyaan tersebut akan menjadi barang bukti bahwa kau sudah dijebak. Siapa yang tahu dirimu? Kecuali ada orang yang sengaja memanfaatkan dirimu,” ujar Astri pelan.
Benar. Tamu hotel tahu dirinya hanya seorang wanita yang didorong keluar dan bukan dirinya sebagai seorang cameo di salah satu film. Lagi pula tidak mungkin seorang cameo bisa menarik perhatian wartawan.
“Maksud kakak ini semua adalah perangkap yang sengaja dibuat oleh Pak Anggoro?” bisik Rosemary pelan.
“Mengapa tidak. Aku yakin dia mampu melakukannya. Kau harus kuat karena semuanya pasti tidak akan berhenti sampai di sini,” jawab Astri.
“Aku tidak percaya. Selama ini aku berusaha menyenangkan semua orang. Aku yakin diriku tidak pernah menyakiti seseorang tapi kenapa dia sangat kejam padaku,” ucap Rosemary lirih sambil menutup wajah dengan kedua telapan tangannya.
“Sekarang bagian terpenting adalah pulang. Kau tidak perlu menimpali mereka. Ayo!”
Kembali Astri memegang tangan Rosemary membawanya pergi, tetapi semua ternyata tidak semudah itu. Yang dikatakan oleh Astri bahwa semua tidak berhenti terbukti.
Di depan rumah mereka, bukan hanya wartawan yang menunggu tetapi juga penolakan para tetangga terhadap keluarga mereka.
Para tetangga yang selama ini sangat baik ternyata begitu kejam dengan mengusir Rosemary dari rumah keluarganya. Dia dan Husna dianggap sebagai wanita pembawa pengaruh buruk pada lingkungan.
“Ayah, Ibu, aku tidak melakukan apa pun, aku adalah korban. Aku mohon kalian percaya padaku,” ucap Rosemary pada Sion yang berdiri memeluknya.
Sion, sebagai ayah yang sudah mendidik dan menjaga Rosemary sejak Tiara pergi tidak percaya bahwa putri yang sudah dia besarkan akan berbuat seperti yang dituduhkan oleh wartawan.
“Ayah percaya kalau kau tidak akan melakukan seperti yang dituduhkan media padamu. Kita akan lawan sekaligus agar kau mendapat keadilan,” bisik Sion.
Astri yang melihat ayah dan anak saling mendukung bertekad bahwa dia akan membantu Rosemary walaupun dia sendiri belum mengenal Rosemary sebelumnya.
“Aku yakin Rosemary akan mendapatkan keadilan dan akan membuat siapa pun yang sudah menyebabkan Rosemary berada di kondisi seperti ini akan mendapatkan balasannya,” kata Astri memberikan dukungan.
“Maaf, siapa Nona ini,” kata Sion yang baru menyadari kalau Rosemary tidak datang sendiri.
“Dia adalah Kak Astri. Dia yang membawaku keluar untuk melapor ke polisi dan melakukan visum sebagai bukti kekerasan dan pemaksaan. Kak Astri adalah seorang pengacara,” jawab Rosemary mengenalkan.
“Terima kasih sudah membantu Rosemary. Aku selalu percaya kalau Rosemary adalah anak yang baik dan tidak akan membuat malu keluarga,” kata Sion.