Duta tak tahu pasti sebesar apa kebencian Sadin padanya. Kalaupun ada alat pengukur untuk itu, Duta akan membelinya satu. Agar ia bisa tahu sebesar apa kebencian Sadin, dan sebesar apa usaha yang harus dilakukannya untuk menghapus kebencian itu.
Duta juga bertanya - tanya, apakah kesalahannya memang tak pantas dimaafkan? Apa tidak ada kesempatan kedua? Apa perasaan cinta yang dulu Sadin umbar murah itu kini tak tersisa? Duta tak mengerti, karena satu - satunya yang ia mengerti hanyalah kenyataan bahwa Sadin membencinya. Terlalu benci sampai - sampai tak sudi untuk bertemu kembali. Menurut celotehan Mika di rumah sakit, waktu itu Sadin megendarai motornya lebih cepat dari biasanya, Mika mengatakan bundanya ingin cepat pulang. Dugaan Duta benar, Sadin ingin menghindarinya.
Sadin ingin secepatnya tiba di rumah serta ketakutan terhadapnya, karena itulah Sadin tidak fokus menyetir hingga pada akhirnya menyenggol bagian belakang sebuah mobil. Sadin yang tak bisa menguasai motor pun oleng ke bahu jalan berpasir, beruntung karena Sadin tak jatuh di badan jalan lalu terlindas kendaraan lain.
Fakta itu membuat Duta semakin membenci dirinya sendiri. Bahkan ia belum memulai, tapi Sadin sudah kembali tersakiti.
Mulai saat itu Duta bersumpah tidak akan memaksa, tapi tetap berusaha mengambil hati mereka tanpa membuat luka.
"Tidak perlu, biar saya bawa sendiri. Dan saya titip mobil saya, nanti akan ada supir saya yang akan mengambilnya." sengaja Duta tak menyuruh orang mengantar motor Sadin dan mengantar dengan mengendarainya sendiri.
Usai mengucapkan terima kasih pada montir bengkel dan tukang ojek yang mengurus motor Sadin, Duta pamit pergi sambil mengendarai Motor Sadin yang telah diperbaiki.
Hati Duta terasa sakit sekali, bahkan pembantu rumahnya disediakan mobil untuk belanja dan satpam keluarga dihadiahi motor keluaran terbaru sebagai rasa terima kasih keluarganya. Tapi lihatlah motor yang dikendarainya ini. Menyedihkan sekali.
Duta mengantarnya langsung ke rumah Sadin. Lelaki itu sangat percaya diri Sadin sedang cuti akibat kecelakaannya kemarin. Tapi ternyata, niat Duta terhenti di depan gerbang rumah Sadin yang terkunci. Tetangganya mengatakan Sadin bekerja, dan Mika bersekolah.
Duta mengeram marah. Apa-apaan Sadin itu, diizinkan pulang dari rumah sakit bukan berarti seluruh lukanya sudah dinyatakan sembuh dan tidak membutuhkan istirahat. Baiklah jika Sadin merasa sehat, tapi bagaimana dengan Mika? Apa Sadin lupa bagaimana Mika menangis kesakitan dan bergetar ketakutan kemarin? Duta tidak bisa tinggal diam, rasanya ia ingin menyeret pulang Sadin dan menjemput Mika sekarang juga.
"Maaf... " Seseorang menghentikan gerak Duta yang akan menarik gasnya. Seorang lelaki berpakaian olahraga, berdiri di sampingnya. Lelaki yang masih Duta ingat, Martin. "Bukankah ini motornya Sadin?" Tunjuknya bingung.
Duta mematikan mesin motor, dan turun demi sopan santun. "Benar, saya ingin mengantarkannya." Jawab Duta sopan.
"Mengantar? Maksudnya?" Martin tidak tahu Sadin mengalami kecelakaan semalam mengingat baru tadi subuh dirinya baru pulang.
"Motor ini baru diperbaiki di bengkel, Saya membantu mengurusnya."
Martin mengangguk paham, tak ada pikiran apapun di kepalanya kecuali Sadin telah mengenal Duta yang tak lain adalah orang yang sempat bersama Mika waktu itu dan ternyata Duta benar - benar orang baik sehingga Sadin juga mempercayainya. "Baiklah, berhubung Sadin sedang bekerja dan tidak ada siapapun di rumah, kamu bisa menitipkannya pada saya."
"Maaf... Tapi - "
"Saya tunangannya, anda tenang saja."
***
Sadin mengerejap cepat saat melihat Duta masuk ke dalam toko dan berbicara dengan temannya padahal Duta sudah melihatnya, lalu temannya itu mengantarnya ke ruang kerja Angela tanpa melirik sedikitpun ke arahnya. Sadin ingin menghampiri temannya itu dan bertanya apa yang dia bicarakan dengan Duta, tapi sayang ia tak bisa meninggalkan pelanggan yang sedang dilayaninya.
Beberapa menit kemudian, tampak Duta dan Angel keluar bersama. Angel memanggilnya, dan tugas Sadin pun digantikan dengan pegawai lain yang sedang kosong.
"Iya, Mbak. Ada apa ya?" Tanya Sadin ragu, sekilas melirik pada Duta yang menatapnya tenang.
Angel melirik ke bawah, ke arah kedua kaki jenjang Sadin yang tumben-tumbennya memakai stoking. "Kamu kenapa nggak bilang kalau habis kecelakaan?"
Sadin menarik nafas panjang, ia mengerti sekarang. "Oh, itu. Saya tidak apa-apa kok, Mbak."
"Sudah jam 2 siang, sebaiknya kamu pulang saja. Pantesan kamu kelihatan pucet dan nggak segesit biasanya."
"Tapi, saya beneran nggak papa. Saya masih bisa kerja sampai jam kerja saya habis."
"Kamu tidak dengar perintah atasan kamu?" Sela Duta muak melihat drama, dimana Sadin berperan sebagai protagonis yang sok kuat. "Siap-siap, kita pulang sekarang."
Sadin menatap Duta sebal, memangnya siapa Duta yang berani mengatur-atur hidupnya? Punya hak apa dia?
Mengingat bahwa melawan Duta di dalam toko, di depan Angela akan berakhir sangat buruk. Sadin segera melangkah ke ruang ganti dan kembali dengan jaket hoodie berwarna abu - abu dan tas selempang tanpa merek.
Sadin menghampiri Duta yang kala itu menatap kosong ke lantai dasar, kedua tangannya bertumpu pada pembatas lantai yang terbuat dari beri mengkilat. Sadin memandaginya dari belakang cukup lama, mencoba menebak - nebak kira - kira apa yang dipikirkan Duta sampai tidak menyadari keberadaannya.
Selama enam tahun ini, Sadin sering berandai - andai sedandainya Duta muncul, meminta maaf, dan Sadin menerimanya, lalu mereka hidup bahagia bertiga. Ya, jika ada perandaian lain tak muncul menantang. Seandainya Duta tak meninggalkannya, mereka menikah dan menghadapi semua hasil perbuatan mereka bersama - sama. Atau, seandainya mereka tak pernah melakukan kebodohan itu, pasti Sadin saat ini sedang menikmati masa - masa jatuh bangun merintis karir dan berada di dalam kehangatan keluarga dan sahabat tercinta.
Jika saja waktu bisa diputar kembali.
"Sudah selesai?"
Sadin mengerejap cepat, justru dirinya yang ketahuan melamun. "Hmm..."
"Sebaiknya kita jemput Mika sekarang, aku khawatir lengannya masih sakit." Ucap Duta sedang nada suara pelan, tak semenyeramkan sebelumnya.
"Dia bilang sudah tidak sakit, dan.. tidak seharusnya kamu melakukan ini."
"Aku tidak mengerti kenapa kamu suka sekali mempermasalahkan hal - hal yang tidak penting. Kalau kamu tidak suka aku menjemputmu, anggap saja aku melakukannya untuk Mika."
Sebelah sudut bibir Sadin terangkat membentuk senyuman sinis, "Mika? Memangnya dia siapa?"
"Dia... " Duta menjeda, Tiba - tiba jantungnya berdetak begitu kencang hingga membuat tubuhnya bergetar. "Dia anakku." jawabnya lugas.
"Oh.. saat itu aku bohong. Itu cuma alibiku supaya kamu tidak pergi. Saat itu aku masih ingin jadi pacar Duta si cowok populer, tapi aku tidak mau LDR."
Duta memejamkan mata sesaat, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Ini usahaya untuk menahan emosi. "Aku salah, aku tahu. Dan kalau kamu pikir kata - kata itu cukup untuk menamparku, ya itu sangat cukup sekali. Tapi, kalau kamu pikir aku akan menyerah, kamu salah."
"Menyerah? Memangnya apa yang kamu usahakan?"
"Mika." Sadin menaikkan sebelah alis. "Berusaha agar aku bisa hidup lagi dan layak menjadi ayahnya." Hati Duta hancur sekali saat mengingat penggalan obrolannya dengan Mika sewaktu di taman, bahwa Mika mengatakan ayahnya telah meninggal dunia.
Sadin tertawa hambar, seolah tak percaya dengan apa yang keluar dari mulut lelaki paling b******k di hadapannya itu. "Untuk apa?" Sadin setengah mengerang.
"Sekarang kamu sudah sukses, Sudah menjadi arsitek hebat di usia kamu sekarang. Kehadiran Mika akan menghancurkan semuanya. Kamu masih muda, kamu tampan dan keluarga kamu terpandang. Kamu punya karir menjanjikan, Masa depan kamu masih panjang."
"Dan kamu pikir sepanjang masa depan itu aku bisa hidup tenang?" Teriak Duta tanpa sadar, beruntung lorong sekitar mereka cukup sepi.
Duta mengusap wajahnya kasar, "Aku seperti sudah membunuhmu, membunuh masa depanmu. Harusnya kamu juga sama seperti aku, memiliki masa depan cerah."
"Sekarang bukan lagi karir yang ku inginkan." Sadin memalingkan wajah, "Tapi hidup tenang bersama anakku."
"Dan lelaki itu?" Lirih Duta menyedihkan.
Sadin menatapnya menuntut penjelasan.
"Martin atau siapapun namanya, anak Nenek yang menemani Mika bermain di taman itu. Bersama tunanganmu itu kan?"
Martin? Tunangan? Dalam hati Sadin mengucap istighfar dan nama Tuhannya berkali - kali. Ternyata banyak sekali hal disekitarnya yang tidak ia ketahui. Setelah dibuat bingung oleh perkenalan Mika dan Duta yang jawabannya baru diketahui semalam setelah mengorek informasi dari Mika, Sadin dibuat bingung lagi oleh Duta dan Martin. Dan satu lagi, tunangan? Sadin merasa sampai saat ini ia belum membuat keputusan apapun.
"Awalnya aku ingin berusaha minta kesempatan ke dua, untuk kita, aku dan kamu. Tapi setelah tahu ternyata kesempatan itu tidak ada, sekarang aku hanya ingin berusaha menjadi Ayah anakku."
***
Dalam satu kelas belajar Mika, terdapat hanya 10 - 15 siswa saja. Setiap harinya pelajaran akan diselang - seling, mulai dari bernyanyi, membaca, menulis, berhitung, sampai permainan - permainan edukatif lainnya. Mika menyukai semua kegiatan sekolahnya, kecuali pelajaran membaca dan menulis.
Tadi Bu Alya, gurunya, membacakan sebuah dongeng fabel yang bagus sekali. Mika sangat menikmatinya hingga tahu - tahu dongeng itu sudah habis saja. Mika berharap bu Alya akan membacakan beberapa dongeng lagi, karena Mika jarang sekali mendengarkan dongeng jika bukan di sekolah.
Di rumah, bundanya akan sibuk dengan pekerjaan rumah. Mencuci baju, membersihkan rumah, dan kadang memasak. Seusai itu, bundanya tidur. Padahal Mika sering sekali mendengar cerita teman - temannya yang selalu dibacakan dongeng sebelum tidur.
Harapan Mika untuk didongengi bu Alya lagi tak terwujud, bu Alya malah menyuruhnya dan teman - temannya membacakan dongeng dari buku dongeng yang akan diberikan. Praktek mendongeng, kata bu Alya tadi.
Mika melihat satu per satu teman - temannya yang mulai membuka buku dan membolak - baliknya antusias. Berbeda dengan dirinya yang masih diam tak bergerak. Mika tak tahu mengapa teman - temannya suka sekali membaca, sedangkan dirinya tidak. Bagi Mika membaca itu sulit sekali, tidak semudah seperti yang diejakan bu Alya. Di mata Mika huruf - huruf yang tertulis seperti bisa berjalan sendiri, selalu berpindah - pindah dan tak sesuai dengan ejaan yang diajarkan bu Alya.
"Mika, kenapa bukunya tidak dibuka?" Bu Alya menghampiri bangku bocah yang bahkan kedua tangannya masih terlipat rapi di atas meja.
Tanpa menjawab, dengan lemas Mika membuka sampul bukunya. Yang dilihat Mika hanyalah gambar sapi di tengah padang rumput, tapi tulisannya tidak jelas.
"Mika.." Elsa, teman sebangku Mika menyenggol lengan Mika. "Aku dapat dongeng judulnya Ayam di kandang bebek. Kalau kamu?"
"Aku… " Mika melihat sampul bukunya. Keningnya berkerut dalam, dan bibirnya bergumam mengeja tulisan berukuran lebih besar dari tulisan di dalam buku itu. "Sapi dan... kedelai." bacanya susah payah.
"Kok kedelai, sih. Kedelai kan tumbuhan." protes Elsa merebut buku Mika dan membacanya sendiri, " Ini keledai, Mika. Mika gimana, sih. Keledai kok dibaca kedelai. Haha.." Elsa mengakhirinya dengan menertawai Mika geli.
Sementara itu, di depan kelas bu Alya yang memperhatikan interaksi kedua muridnya itu hanya menghela nafas dalam.
"Semuanya sudah baca dongeng masing - masing, kan?" Ucap Bu Alya di sahuti jawaba sama, dan serentak. "Kalau begitu nanti kalian satu per satu maju dan mendongengi temen - temen ya. Sekarang yang pertama mendongeng adalah Mikayla."
Mika membulatkan mata, wajah putihnya langsung pucat pasi begitu mendengar namanya dipanggil. Mika menatap lama sampul bukunya, lalu pada guru dan teman - teman yang menyuruhnya buru - buru maju ke depan kelas. Perlahan, Mika maju ke depan sambil memeluk buku dongengnya. Kelas langsung jadi hening karena teman - temannya langsung diam.
"Nah, Mika. Sekarang bacakan judul dongengnya lalu kamu mulai membaca ya?"
Mika menjawabnya dengan membuka lembar pertama.
"Judulnya, sapi dan keledai." jeda cukup lama dari Mika membacakan judulnya. Bukannya diam tanpa melakukan apapun, Mika sedang berusaha mengeja.
"Di su - at - suatu - pa - pa - pa..."
"Disuatu pagi?" celetuk Icha dari bangkunya, disambut tawa seisi kelas.
"Icha." peringat bu alya.
Mika memejamkan mata sesaat, berharap saat ia membuka mata nanti tulisan di bukunya tidak akan lari - larian. Tapi ternyata sama saja.
Mika mendongak menatap bu Alya yang berdiri disampingnya, dan menggeleng pelan.
"Tidak apa - apa, sayang. Coba saja, nanti ibu bantu." Bu Alya berjongkok di samping Mika, ia mengerti betul kesulitan yang Mika alami. Hanya saja jika bukan dengan cara seperti ini, Mika tidak akan mau membaca.
Mika akhirnya mau mencobanya lagi, namun yang keluar dari mulutnya hanya ejaan - ejaan tak jelas maksud dan artinya. Mending Aziz Gagap, celetuk salah satu teman yang menertawakan Mika.
Bu Alya pun tak tega dan akhirnya menyuruh Mika kembali duduk di bangkunya.
Dibangku Mika hanya bisa menundukkan wajah saat teman - teman masih mengejeknya. Mika sungguh ingin menangis saat melihat Icha mendongeng dengan lancar dan ceria, teman - teman juga tampak menikmati dan bu Alya memujinya pintar. Satu pujian yang belum pernah didapat Mika dari siapapun kecuali dari Sadin.
***
Jam istirahat berbunyi, Mika mengeluarkan kotak bekalnya dan mencari teman untuk makan bersama. Tapi sayang tak ada yang mau duduk berasama Mika, satu orang pun tak ada yang mau.
Dulu Mika dijauhi karena tidak punya boneka Barbie, sekarang giliran ia sudah punya boneka Barbie, teman - teman menjauinya karena tidak bisa membaca dengan lancar.
Mika sedih, duduk seorang diri di pojokan ruang makan yang ramai. Dua buah mie gulung sosis yang dibawakan bundanya tak tersentuh sama sekali.
Tak jauh dari tempat duduknya, Mika melihat Leo juga makan seorang diri. Tapi Mika tak berani mendekatinya, Leo juga membencinya. Saat Leo tak sengaja menoleh ke arahnya, buru - buru Mika menoleh ke arah lain.
Bahkan sampai Sadin menjemput pun, Mika masih sendirian. Saat berjalan keluar melewati Icha dan teman - teman lain yang belum dijemput, Mika masih saja diejek. Mika senang karena hari ini Bundanya menjemput lebih awal dari biasanya.
"Mika nggak bisa baca."
"Udah TK B kok nggak bisa baca, nanti nggak bisa masuk SD dong."
"Mika belum bisa baca.. Mika belum bisa baca.. Mika belum bisa baca"
Tak tahan mendengarnya, Mika memilih berlari kencang. Ia akan mengadu pada bundanya setelah ini.