Pada akhirnya Duta, Vella, Bagas, dan Renata tetap berkumpul di foodcourt mall. Bagas dan Renata yang tak mengetahui apapun, menyimak setiap detail cerita Vella. Sementara Duta memijat pelipisnya pening sambil berkali - kali meneguk bir kalengan yang dibelinya.
"Sadin kerja jadi SPG dan dia nangis cuma karena boneka Barbie, menurut kalian seperti apa kehidupannya sekarang?" Rena mencoba menganalisa sederhana. "Papanya adalah mantan perwira TNI dan mamanya setahu gue masih menjadi dosen dan keluarga mereka punya usaha rumah makan dan udah punya beberapa cabang. Sejak dulu, keluarga Sadin keluarga kaya. Dan nggak masuk akal kalau sampai Sadin jadi SPG dan meratapi boneka yang harganya nggak seberapa."
Vella mengangkat bahu tak tahu, "Itu yang gue lihat, nggak tahu deh kejadiannya sebelum gue datang." Vella malirik Duta yang sibuk sendiri dengan pikirannya.
"Ta, Duta.. " Panggil Bagas, Duta menoleh malas. "Apa kalian tadi sempat ngomongin sesuatu, atau kalian malah sempat berantem?"
Duta menggeleng pelan, "Nggak ada. Hmm.. kami cuma.." Duta menghela nafas, tak melanjutkan perkataannya. "Gue duluan." Duta bangkit dari duduknya, dan pergi tanpa memunggu jawaban.
"Mereka itu aneh, apa masih belum ada yang tahu kenapa mereka putus?" Pancing Renata lagi.
"Bukannya karena Sadin nggak mau LDR?"
"Yakin sesepele itu?" Rena memancing penasaran. "ini semua aneh, tahu nggak. Sadin menghilang sesaat setelah Duta pergi. Sadin menghilang, benar - benar hilang."
"Pasti ada yang mereka sembunyikan."
Sepanjang perjalanan tak henti - hentinya Duta memikirkan apa yang baru saja terjadi. Sadin dan segala perubahannya.
Fisik Sadin tak sesegar dulu, kulitnya pucat dan badannya kurus. Sadin lebih emosional dan sorot matanya tak terbaca. Meskipun Duta sudah mengaku telah mempersiapkan segala kemungkinan terburuk, tetap saja saat menghadapinya tak semudah saat merencanakannya. Jujur, Duta tak siap dengan segala perubahan Sadin. Duta ingin Sadin yang dulu, Sadin yang ceria dan tak mau lepas darinya.
***
Tidak seperti pegawai kantor yang mendapat jatah 2 hari dalam seminggu untuk libur. Sadin hanya mendapatkannya sekali saja, dan itupun harinya digilir. Tidak tentu selalu hari sabtu atau minggu. Itulah yang menjadi dilema, karena sekolah pastinya juga libur dan bagaimana dengan Mika? Sadin tentu tak mungkin membawanya bekerja.
Sadin bersyukur karena ada tante Diana, wanita tua baik hati itu bersedia menjaga Mika sampai Sadin pulang kerja. Wanita yang tinggal tepat didepan gang itu mungkin merasa kesepian setelah ditinggal suami meninggal dunia dan anak-anak tinggal di luar kota. Sadin tidak khawatir karena tante Diana sangat menyayangi Mika.
Sebelum berangkat kerja, Sadin mampir ke rumah tante Diana untuk menitipkan Mika. "Dia kenapa? Lemes sekali." Meskipun tak protes ataupun menangis, Sadin tahu bahwa diamnya Mika adalah bentuk kekecewaan bocah itu.
Sadin mengelus rambut Mika sayang yang masih dipeluk tante Diana. "Mainan barunya rusak, dia masih sedih."
"Ohh... cuma mainan, sayang. Nanti pasti dibeliin Bunda lagi." Tante Diana mencoba memberi pengertian. "Nanti nenek ajak jalan-jalan ke taman, mau?" Mika hanya mengangguk. Lalu tante beralih lagi pada Sadin yang ikut-ikutan sedih. "Ya sudah, kamu berangkat sana. Mika aman sama Tante."
"Aku tahu, Tan" Sadin mengangguk, "maaf selalu ngerepotin."
"Kamu ini ngomongnya gitu terus, sudah sana pergi. Habis ini Tante mau ajak Mika jalan-jalan ke taman, siapa tahu lihat bunga - bunga dan main disana dia bisa kembali ceria."
Sadin menyerahkan sebuah tas bekal. "Itu bekal Mika, dan di dalam tas ranselnya ada uang. Siapa tahu Mika mau jajan." Tante Diana mengangguk mengerti, dan Sadin pun pamit kemudian. Mengendarai motor matic yang dibelinya di sebuah showroom motor bekas.
Tante Diana memaksa Mika mendongak menatapnya. "Nenek mau ambil dompet dulu, setelah ini kita ke taman ya."
Sembari menunggu Tante Diana masuk ke dalam rumah, Muka duduk-duduk di atas kursi. Tak lama Tante Diana datang dengan jilbab yang baru ganti dan dompet ditangannya. "Kita pergi sekarang, taruh tasnya dulu di dalam."
"Mika bawa tas aja deh, Nek." Mika memegangi kedua tali tas ransel lucu yang ada di punggungnya.
"Ya sudah, terserah Mika." Tante Diana mengulurkan tangan, menggandeng mika. Mereka pun berjalan beriringan menuju taman kota terdekat yang baru beberapa bulan lalu selesai dipugar pemerintah setempat.
***
Seakan berbanding terbalik dengan rumah kontrakan sederhana Sadin, rumah milik keluarga Duta besar sekali, megah, dan mewah. Memiliki halaman luas yang ditanami pepohonan hias yang ditata sedemikian rupa. Lalu pelataran yang berjejer 3 buah mobil mewah, tidak ada yang menjamin berapa lagi mobil mewah di dalam garasinya.
Sepasang suami istri nampak sedang menikmati makan paginya, saat seorang lelaki berjalan menuruni tangga. Dari baju yang dipakainya, lelaki itu terlihat akan berolahraga.
"Mau joging, sayang? Sini, sarapan dulu." Sapaan mama menghentikan langkah Duta.
"Enggak usah, Ma. Nanti saja," jawab Duta. Mengambil sebotol air mineral ukuran sedang dari dalam kulkas lalu membawanya pergi setelah meninggalkan kecupan di pipi mama dan menyapa papanya.
Sudah menjadi kebiasaan Duta untuk berolahraga, apapun olahraganya. Kali ini Duta memilih jogging ke luar komplek untuk melihat-lihat suasana kota setelah sekilan lama ditinggalkannya. Selama studi di Amerika, Duta jarang sekali pulang ke Indonesia, Duta memanfaatkan liburannya untuk fokus belajar dan bekerja.
Sewaktu di jalan kemarin, Duta dikejutkan dengan kemunculan sebuah taman kota di dekat rumahnya yang setahunya dulu adalah kawasan kumuh. Saat bertanya, Pak sopir bilang bahwa taman itu telah dipugar dan kini menjadi fasilitas publik yang ramai dikunjungi warga sekitar. Disana juga disediakan jogging track yang ramai saat weekend seperti saat ini. Duta tergerak kesana.
Benar, taman ini ramai sekali. Asri dan semua tanaman hiasnya tertata rapi. Terdapat sebuah danau buatan dengan air mancur besar sebagai pusatnya. Diseluruh area taman juga disediakan bangku-bangku sebagai tempat bersantai. Selain itu juga disediakan arena bermain anak, macam ayunan, jungkat-jungkit, kolam pasir, dan lain sebagainya. Duta telah mengelilingi beberapa putaran jogging tracknya, lumayan nyaman dengan tertib.
Diantara semua orang yang ada di taman, Duta merasa tertarik pada seorang bocah yang duduk seorang diri di salah satu bangku, tak jauh darinya ada segerombolan ibu-ibu yang asyik mengobrolkan entah apa.
Gadis cilik itu sendirian, wajahnya tertekuk dalam sementara kakinya berayun bergantian. Apa mungkin dia kehilangan orang tuanya? Duta mendekatinya, "Hai... " sapanya ramah.
Gadis itu mendongak, wajahnya cantik sekali. Duta bisa membayangkan secantik apa dia saat dewasa nanti. "Kamu sendirian?" Gadis cilik itu tak menjawab, hanya menatapnya lama lalu menunjuk gerombolan ibu-ibu itu. "Sama nenek kamu?" Gadis cilik itu hanya mengangguk.
Kedua alis Duta saling bertaut bingung, apa anak ini bisu? Duta beranjak duduk disampingnya, bersamaan anak itu bergeser menjauh. Sesaat Duta bingung, namun ia segera teringat pesan umum para orang tua. Jangan bicara dengan orang asing! Senyuman Duta mengembang begitu saja. "Kamu takut Kakak ini orang jahat ya?" Oh ayolah, umur Duta masih 23 tahun, bukankah masih terlalu muda untuk dipanggil Om?
Dan dengan polosnya gadis itu mengangguk. Duta tertawa kecil, "Dulu Mama Kakak juga selalu bilang supaya jangan mau bicara sama orang asing, apa Mama kamu juga seperti itu?"
Gadis itu kembali mengangguk, "kalau begitu ayo kenalan, supaya kita tidak jadi asing lagi." Duta mengulurkan tangannya. "Nama Kakak, Duta. Nama kamu siapa?"
Mika memandangi tangan Duta lama, hingga pada akhirnya tangan mungilnya menyambut tangan besar Duta. "Mikayla."
"Mikayla, hmm.. nama yang bagus. Senang bertemu dengan kamu." Gimik Duta bak sedang berkenalan dengan orang dewasa. Dengan menggoyangkan tautan tangan mereka.
"Jadi, mikayla, kenapa kamu kelihatan sedih?" Tanya Duta sesaat setelah Mika melepaskan jabatan tangan mereka.
"Karena Mika sayang sama Bunda."
Alis Duta kembali bertaut, "lalu? Kenapa itu membuat kamu sedih? Semua anak memang harus menyayangi Bundanya."
"Tapi bunda Mika sudah merusak boneka baru Mika, Bunda bilang, Bunda jatuh dan boneka Mika terlindas mobil. Bunda yang udah ngerusakin boneka Mika."
"Terus Bunda tidak membelikan yang baru?"
Mika menggeleng lemah, "Bunda tidak punya uang."
Duta menghela napas, ia mengerti. Itulah ironi yang sering dialaminya saat kecil, disaat dirinya mampu membeli semua mainan yang bahkan tidak diinginkannya, saat itu juga banyak teman sebaya yang sampai menangis ingin dibelikan mainan namun orangtua mereka tak memiliki cukup uang untuk membelinya.
Tiba - tiba Mika membuka tas ranselnya, lalu mengeluarkan dua buah boneka Barbie yang keadaanya tak bisa dikatakan bagus. Yang satu kucel dan yang satunya penyok. Tadi Mika mengatakan boneka Barbienya terlindas mobil, itu mengingatkannya pada Sadin. Bedanya Sadin tak terjatuh, boneka Sadin jatuh karena Duta.
"Itu boneka kamu?"
"Iya, jelek banget kan, Kak?."
"Enggak juga, coba kakak lihat." Duta memegangnya, membolak - balik kedua boneka itu dan ide cemerlang pun melints, lalu dengan cepat Duta menangkapnya. "Mika, gimana kalau kita rekondisi boneka ini?"
"Rekondisi itu apa, kak?"
"Kedua boneka ini kan udah rusak, gimana kalau kita perbaikin lagi?"
"Memangnya bisa?”
***
Pada awalnya Mika ingin menangis karena marah, boneka jelek miliknya semakin dibuat jelek oleh Duta dengan memprotoli satu persatu bagiannya. Sampai perasaan itu berubah menjadi bahagia saat Duta selesai menyatukannya kembali. Sekarang Mika tak lagi memiliki dua boneka jelek, tapi satu boneka jelek sekali, dan satu boneka bagus sekali.
"Yeee... bagus, seperti baru. terima kasih Kak Duta." pekik Mika memeluk bonekanya sendiri. "Mika sekarang punya boneka bagus, Makasih kak Duta." ucap Mika sekali lagi kali ini dengan memeluk Duta dan mencium pipinya kilat.
Duta memegangi bagian yang dicium oleh Mika, tiba-tiba lelaki itu merasakan aura berbeda setelah Mika memeluk dan kini melihat Mika tertawa bahagia. Seperti ada desiran aneh di dalam hatinya, tidak mungkin kan Duta jatuh cinta pada anak kecil ini? Duta menggeleng, tentu saja itu tidak mungkin! Yang benar, Duta hanya takjub melihat perubahan wajah Mika, dari sedih menjadi bahagia.
Padahal sederhana sekali apa yang dilakulannya. Yakni menyatukan bagian-bagian tubuh Barbie yang masih bagus. Bagian badan yang penyok diganti dengan badan barbie lama yang kebetulan masih bagus. Untunglah kepala barbie tak ikut penyok, jadi masih bisa dipakai.
Duta menyentuh puncak kepala Mika sambil berkata. "Kalau gitu Mika jangan sedih lagi."
"Mika... " Tante Diana yang dari jauh sesekali memperhatikan interaksi Mika dengan lelaki asing itu akhirnya mendekat. "Mas siapa, ya?"
Duta menangguk sopan. "Nama saya Duta. Tadi saya lihat Mika sendirian dan kelihatan sedih, jadi saya ajak ngobrol dia."
"Iya, dia memang sedang sedikit sedih."
"Sekarang sudah tidak lagi kok, Nek. Lihat." Mika menunjukkan Barbie rekondisinya, "Kak Duta bikin boneka Mika bagus. Boneka Barbie apa Kak namanya?"
"Barbie rekondisi."
"Ya, itu."
Tante Diana ikut senang melihatnya. "Bagus dong, kamu udah bilang terima kasih?"
"Udah, dong. Iya kan, Kak?" Duta hanya mengangguk.
"Ya udah, sekarang ayo pulang. Waktunya kamu makan, terus tidur siang."
"Yyah.. nek, Mika kan masih pengen main sama Kak Duta."
Di luar sekolah dan rumah Tante Diana, Mika jarang sekali berinteraksi dengan orang lain. Mungkin itu yang membuat Mika senang berada dekat Duta. "Kapan-kapan kan bisa main lagi."
"Kapan?"
"Kapan-kapan, iya kan, Kak?" Tante Diana meminta dukungan pada duta sambil mengedip-kedipkan mata.
"Besok minta neneknya anterin ke sini, kita main disini lagi. Gimana?"
Mika berlonjak senang, "Beneran? Nenek mau nemenin Mika ke sini, kan?" Tante Diana mengangguk dan Mika lompat - lompat girang memutari tubuh nenek.
Nenek tertawa, lalu terdiam memperhatikan wajah Duta. Duta yang menyadarinya, merasa risih. "Ehmm.. ada apa, Nek?"
Nenek meragu. "Tidak ada, cuma saya perhatikan sepertinya wajah kalian mirip."
"Kami?"
"Ya, kamu dan Mika."
***
Doa Sadin terkabul. Sepanjang ia kerja tadi, tak henti - hentinya ia berdoa agar Mika tak lagi bersedih. Dan saat pulang kerja tadi, alangkah bahagianya Sadin saat melihat Mika sudah bisa tertawa dan berceloteh tentang banyak hal. Termasuk Kakak-kakak ganteng yang merekondisi bonekanya. Sepertinya Sadin harus berterima kasih dengan Kakak ganteng itu. Ya, seandainya saja besok Sadin tak bekerja dan bisa menemani Mika bertemu dengan Kakak gantengnya.
"Mika, sudah. Taruh dulu bonekanya, ayo kita tidur." Meskipun dengan sedikit enggan, Mika tetap meletakkan barbienya lalu ikut bergulung di bawah selimut bersama Sadin.
Mika mencium pipi Sadin. "Mimpi indah, Bunda. Mika sayang Bunda."
Sadin balas mencium puncak kepala Mika lama. "Bunda juga sayang kamu, Malaikat Bunda."
Berada di pelukan Sadin, tak butuh waktu lama bagi Mika untuk terlelap. Disaat Mika diam, disaat itulah keheningan datang. Keheningan yang mengantarnya pada rindu terhadap orang-orang yang dulu disayanginya. Pada ketujuh sahabatnya, orangtua, Kakak, Adik, dan... Duta. Juga kenangan tentang masa kelam dan saat-saat terberat dalam hidupnya.
Ingatan tentang seorang gadis berusia 17 tahun yang sedang mengandung tua, berjalan seorang diri tak punya tujuan. Ingatan tentang seorang gadis 17 tahun yang melahirkan di puskesmas kampung tanpa ada yang menemani. Dan ingatan tentang tangis seorang bayi di atas dadanya.
Semua itu, selalu bisa membuatnya menitikkan air mata. Selalu membuatnya menangis antara menyesal dan bahagia. Sadin menyesal membiarkan dirinya mengalami semua itu, dan bahagia karena ia berhasil melewatinya. Bagian terbaiknya, ia kini memiliki Mika.