Chapter 5

965 Kata
Selamat membaca Setelah dari pemakaman, Sena tidak langsung pulang ke rumah. Ia lebih memilih duduk di taman menikmati semilir angin yang menerpa wajahnya. Sudah satu jam Sena tidak beranjak dari tempat duduknya. Langkahnya terasa berat untuk melangkah menuju rumah yang seperti neraka baginya. Karena hari sudah mulai sore, akhirnya Sena harus pulang. Walaupun sebenarnya ia masih betah duduk sendiri di taman itu. ***** Saat Sena tiba di rumah, ia berpapasan dengan dokter Zulfa. Dokter yang biasanya memeriksa keluarganya jika ada yang sakit, kecuali dirinya. Karena itu, Sena selalu menahan rasa sakit itu sendiri. "Loh? Tante Zulfa kok di sini? Siapa yang sakit?" Tanya Sena penasaran kepada wanita paruh baya yang seumuran dengan ayahnya itu. Zulfa tersenyum lembut. Ia sudah menganggap Sena seperti anaknya sendiri. Ia juga turut prihatin dengan sikap Surya kepada Sena yang tidak pernah peduli dengan putri kandungnya itu. "Risa yang sakit sayang, kamu dari mana aja? Kok jam segini baru pulang?" "Tadi ke makam Mama, terus duduk di taman. Nggak sadar kalau udah sore." "Emang Risa sakit apa, Tante?" Zulfa menghembuskan napas dalam-dalam. "Risa hamil!" "Hahh?! Tante serius?!" Tanya Sena terkejut. Zulfa hanya mengangguk lemas. Ia tidak ingin mencampuri urusan orang lain. Walaupun sebenarnya ia sendiri juga penasaran bagaimana bisa Risa hamil. Sedangkan dia belum menikah. Setelah berbincang sebentar dengan Sena, Zulfa pamit pergi karena masih banyak pasien yang harus ia periksa. Setelah Zulfa pergi, Sena mendengar teriakan dari kamar Risa. Karena penasaran akhirnya ia naik ke lantai dua menuju kamar Risa. Ternyata semua orang sudah berada di dalam kamar Risa dan mereka terlihat sedang berusaha keras mencoba menenangkan Risa yang terus berteriak. Risa terus menangis histeris dan memukul-mukul perutnya yang masih rata. "Risa!!! Berhenti!!" Bentak Meriam. "Aku nggak mau hamil, Ma! aku nggak sudi mengandung anak haram ini!!" Teriak Risa pilu, disertai tangisan yang semakin deras. Febri memegang tangan Risa dan memeluknya erat. Risa sempat meronta-ronta dan memukul Febri, tapi akhirnya ia berhenti karena kelelahan. Febri melepas pelukannya dan memegang kedua pipi Risa lembut. "Aku akan menikahi kamu," ucap Febri lantang. Semua orang yang berada di kamar Risa terkejut mendengar ucapan Febri, termasuk Sena kekasih Febri. "Febri!! Apa yang kamu lakukan?!" Teriak Sena dengan nada tinggi. "Maaf Sena, sebenarnya aku mencintai Risa," ucap Febri pelan. Deg Tubuh Sena mendadak lemas. Untuk kesekian kalinya hatinya hancur. Berkali-kali ia disakiti oleh orang-orang yang ia sayangi, hanya karena mereka lebih memilih saudara tirinya di banding dirinya sendiri. Ia mengepalkan tangannya erat sampai buku-buku jarinya memutih. Ia benar-benar muak! Sudah cukup sampai di sini! Ia sudah tidak tahan lagi! Harus berapa kali ia bersabar?! Rasanya seperti ingin mati ketika tidak ada satu orang pun yang berada di pihaknya untuk membela dirinya. Yang ada di pikiran mereka cuma Risa! Risa! Dan Risa!! Sena tertawa hambar. "Apa-apaan ini? Kenapa dunia sama sekali nggak pernah memihak aku?! Apa masih ada lagi yang mau kamu ambil dari aku, Risa?! Hah?!" Teriak Sena emosi sambil menatap Risa dengan tatapan tajam. "Sena!!!!" Bentak Surya. Sena tersenyum miring. "Lihat? Bahkan Ayah aku sendiri juga membela kamu ketimbang aku putri kandungnya!" "Sena!! Masuk ke kamar kamu sekarang!!" Titah Surya tegas dengan nada tinggi. "Anda tidak perlu khawatir. Karena saya akan pergi saja dari neraka ini!" "Terima kasih karena selama ini telah memberi luka yang sangat dalam di hati saya. Dan saya rasa luka ini tidak akan pernah hilang dan akan selalu membekas!" "Dan terima kasih banyak karena sudah membuat hari-hari saya selalu di hiasi dengan air mata dan penderitaan, sampai saya lupa rasanya bahagia." "Kalau bisa memilih, saya lebih baik tidak memiliki ayah daripada harus memiliki ayah yang sangat buruk seperti Anda! Dan mungkin rasa benci ini tidak akan pernah hilang seumur hidup saya!" Setelah mengatakan itu, Sena langsung pergi tanpa membawa apapun kecuali tas kecil yang berisi ponsel dan dompet, serta pakaian yang saat ini ia pakai. Sena pergi dengan hati yang sudah dipenuhi dengan kebencian yang mendarah daging, bahkan air matanya tidak menetes sama sekali saat mengetahui kekasihnya ternyata mencintai saudara tirinya. Deg Napas Surya tertahan. Jantungnya seperti dicabut paksa dari rongga dadanya. Hatinya perih seakan tertusuk ribuan jarum. Tiba-tiba ingatan-ingatan atas perlakuan buruknya dulu kepada Sena muncul kembali dalam pikirannya. "Sena," Lirihnya penuh penyesalan. ***** Jangan mereka pikir Sena akan menjadi gelandangan setelah keluar dari rumah itu. Sena tersenyum sinis. Akhirnya gue bebas! Ia tersenyum puas saat melihat rumah yang berhasil ia bangun dari hasil kerja kerasnya selama ini. Memang tidak terlalu besar seperti rumah ayahnya, tapi terlihat elegan dan indah. Toh dirinya juga hanya tinggal sendiri di sini, jadi tidak perlu membangun rumah yang terlalu besar. Karena itu, sisa tabungannya ia gunakan untuk membeli mobil putih yang terparkir dengan rapi di garasi depan rumahnya itu.  Beruntungnya rumah yang ia bangun sudah selesai, jadi ia tidak perlu kebingungan untuk mencari tempat tinggal saat pergi dari neraka itu. Sena sudah berjanji kepada dirinya sendiri, ia tidak akan pernah kembali dan menginjak rumah itu lagi. Jangankan kembali, bahkan niat untuk ke sana sama sekali tidak ada. Sena benar-benar muak, sudah cukup kesabarannya selama ini. Ia tidak peduli jika dirinya di anggap anak durhaka karena meninggalkan ayah kandungnya sendiri. Biarkan saja anak emas yang selalu di bangga-banggakan itu yang mengurus ayahnya kelak. Jika ia yang hanya pergi dari rumah di anggap anak durhaka. Lalu apa kabar ayahnya yang sudah menyiksanya selama ini? Sena sudah berulang kali berusaha memaafkan sikap kejam ayahnya kepada dirinya. Ia selalu berfikir jika suatu saat nanti ayahnya akan berubah, tapi penantian dan kesabarannya selama ini hanyalah sia-sia saja. Ayahnya tidak berubah dan mungkin tidak akan pernah berubah. Dia akan tetap menjadi ayah terburuk bagi Sena. ***** Di satu sisi Surya sangat frustasi memikirkan putrinya. Ia tidak bisa tidur dengan tenang karena merasa resah dan gelisah. Bagaimana tidak? Jam sudah menunjukkan pukul 02.00 malam. Tapi Sena belum juga kembali ke rumah. "Apa Sena benar-benar pergi? Tidak mungkin! Dia pasti tidak serius dengan ucapannya itu. Aku yakin Sena pasti akan kembali," oceh Surya frustasi. Seumur hidup ia tidak pernah seperti ini kepada Sena. Tiba-tiba rasa takut itu muncul kembali setelah sekian lama. Takut kehilangan seseorang yang ia sayang. Seperti saat ia kehilangan istri tercintanya saat melahirkan Sena. Sungguh Surya merasa seperti separuh jiwanya menghilang saat Sena pergi. TBC.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN