Chapter 4

678 Kata
Selamat membaca 3 Minggu kemudian Setiap hari Risa selalu mengurung diri di kamar. Ia menjadi sosok yang pendiam. Dan keadaannya sekarang juga semakin buruk. Tubuh Risa menjadi lebih kurus, ia juga tidak merawat badannya seperti biasanya. Semua orang pada sibuk mengurus Risa, termasuk Febri. Setiap hari ia datang untuk menemani Risa dan menyuapinya. Karena Risa tidak mau makan jika bukan Febri yang menyuapinya. Sebenarnya Febri tidak enak dengan Sena jika ia terlalu memperhatikan Risa, tapi ia merasa bersalah kepada Risa. Jika saja saat itu Febri tidak menyusul Sena dan membiarkan Risa pulang sendiri, mungkin ini semua tidak akan terjadi. ***** Seorang wanita menatap pilu makam yang ada di depannya itu. Ia meletakkan bunga putih cantik di atas batu nisan itu perlahan.  Teriknya matahari tidak menyurutkan niatnya untuk mendoakan orang yang paling berharga dan berjasa dalam hidupnya. "Apa kabar, Ma?" Tanya Sena serak. Ia berusaha keras menahan sesuatu yang akan keluar dari mata indahnya itu. "Maaf, Sena jarang mengunjungi Mama, tapi sekarang Sena janji akan lebih sering lagi kesini dan mendoakan Mama. "Mama pasti bahagia kan di surga?" Tanya Sena tersenyum sendu. "Sena juga bahagia, Ma." Ia tersenyum, tapi ia tidak bisa membohongi perasaannya saat ini. Air matanya terus mengalir deras, walaupun senyumannya masih terbit di wajah cantiknya itu. "Sena bahagia," ucapnya parau dan terus memukul dadanya yang terasa sesak. Sena seperti kehilangan seluruh oksigen di dalam dadanya saat mengatakan jika ia bahagia. Sulit sekali mengatakan kata itu. "Mama tau? Sena berhasil menjadi Atlet, Ma. Cita-cita Sena dari dulu waktu masih kecil, akhirnya Sena bisa mewujudkannya. Andai mama ada, Sena ingin mama bisa menonton pertandingan Sena, menyemangati Sena, memberi pelukan____" Sena berhenti, ia menutup wajahnya dengan tangan. Ia tidak bisa terus menahan isak tangisnya. Sena berusaha agar ia tidak bersuara, tapi tetap saja tidak bisa. Terlalu pedih saat ia mengingat apa yang terjadi dalam hidupnya selama ini. Hidup tanpa kasih sayang kedua orang tua, selalu mendapatkan perlakuan buruk dari ayahnya sendiri, bahkan saat masih kecil ayahnya tidak segan-segan untuk menyiksanya jika ia menangis. Waktu kecil Sena pernah tidak sengaja memecahkan gelas dan saat itu juga ayahnya terlihat murka dan dia langsung menyayat tangan Sena dengan pecahan gelas itu. Dia sama sekali tidak peduli dengan jeritan Sena yang merasa sangat kesakitan. Padahal saat itu Sena sedang mengalami Maag akut karena selalu telat makan. Jika anak-anak seusianya masih asik bermain dan bahagia menikmati masa kecil mereka. Berbeda dengan Sena yang hanya menghabiskan masa kecilnya dengan air mata dan kenangan-kenangan buruk yang mungkin seumur hidup tidak akan pernah bisa ia lupakan. "Mama nggak usah khawatir mikirin aku, Sena disini baik-baik aja, Ma. Sena juga punya teman-teman yang baik dan peduli sama Sena." "Mereka sangat cerewet, Ma. Kadang Sena juga pusing dengar ocehan mereka. Kalo Mama ketemu sama teman-teman Sena, Mama pasti ingin menjewer mereka," ucap Sena tertawa dan mengusap air matanya. "Suatu saat nanti Sena pasti akan bawa mereka ke sini dan mengenalkannya kepada Mama." "Sena pulang dulu ya, Ma. Sena akan segera mengunjungi Mama lagi," pamit Sena pilu dan langsung meninggalkan makam itu. Sena tidak tau jika dari tadi ada seseorang yang memperhatikannya dari jauh. Sudah sejak lama Surya tidak pernah melihat Sena menangis karena setiap harinya Sena selalu menunjukkan wajah dinginnya yang menandakan kalau Sena tidak peduli dengan siapa pun. Dan hari ini ia melihat anak yang ia pikir tidak mempunyai hati itu terlihat sangat tersiksa dan menangis sampai terisak-isak. Orang itu adalah Surya. Hari ini adalah hari kematian istrinya. Ia berniat untuk mengunjungi makam istrinya. Tapi saat ia tiba di makam, ia melihat ternyata Sena juga ada di sana. Karena itu, ia bersembunyi dan menunggu Sena pergi. Tidak tau kenapa hatinya seperti di remas saat melihat putrinya menangis seperti itu. Ia seperti ingin memeluknya dan memberikan pelukan hangat seorang ayah kepada anaknya. Tapi lagi-lagi egonya sangat tinggi. Ia selalu saja mengingat saat dimana Rini meninggal setelah melahirkan Sena. Karena itu ia selalu membangun tembok yang sangat tinggi dengan Sena. Ia tidak pernah memikirkan bagaimana jika sekarang Sena sudah tidak lagi peduli dan tidak membutuhkan kasih sayangnya lagi. Bahkan ia juga tidak tau jika saat ini rasa benci itu sudah tumbuh didalam hati putrinya, bahkan semakin mendalam. Dan bagaimana jika suatu saat nanti Sena pergi meninggalkannya? karena sudah muak dengan sikapnya selama ini. Surya tidak pernah berfikir sejauh itu. TBC.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN