"Tenang saja, Bu. Semuanya akan baik-baik saja." Ari meremas tangan ibunya, menunggu dengan waswas di lorong luar dari kantor administrasi rumah sakit. Dia hanya bisa menebak penyebabnya. Ari hanya berharap Henley akan terus mendapatkan perawatan.
Celeste meremas lengan Ari dengan lembut. Dia memaksakan senyum demi menenangkan putrinya tanpa berkata apa-apa.
"Nyonya Douglas?" Seorang wanita menyapa mereka, wanita itu berpenampilan apik dengan balutan jas serta rambut bob berwarna coklat yang tertata sempurna.
"Benar," jawab Celeste saat ia beranjak dari duduknya. "Saya Nyonya Douglas ...." Kemudian dia menggerakkan tangan ke arah putrinya. "Dan ini anak saya, Ari Douglas, kakak Henley. Apakah Anda keberatan apabila dia ikut dengan saya di pertemuan ini?"
"Ah, tentu saja tidak." Sang wanita tersenyum sembari mengulurkan tangannya. "Nama saya Dr. Alice Sanders, direktur rumah sakit ini." Ia memberi isyarat ke arah pintu. "Silakan masuk."
Ari berjalan mengikuti ibunya memasuki kantor. Semua benda di dalam terlihat tertata dengan sangat rapi dan teliti seperti pemiliknya. Setiap benda yang terdapat di sana memiliki fungsi dan kedudukan.
"Silakan duduk." Dr. Sanders menunjuk dua kursi yang berada di depan mejanya. Ari dan ibunya sama-sama duduk di pinggir kursi itu dengan gugup, sementara sang direktur duduk dengan nyaman di kursinya. Jelas sekali dia sudah terbiasa menghadapi masalah-masalah seperti ini. Kedua tangannya bertautan di atas meja dan dia menatap mereka dengan iba. "Saya yakin Anda tahu mengapa saya memanggil Anda untuk datang hari ini."
Celeste mengangguk. "Ya. Apakah Anda akan tetap merawat putri saya?"
Dr. Sanders tersenyum sopan. "Tentu saja. Kami tidak akan pernah menolak pasien." Ekspresi sang direktur menjadi serius. "Maaf, tapi saya harus bertanya, apakah Anda punya asuransi atau tabungan yang dapat meringankan biaya perawatannya?"
"Tidak, saya hanyalah seorang pelayan tanpa asuransi." Celeste beranjak dari kursinya dengan frustrasi. "Namun, saya akan berusaha untuk membayar kalian jika kalian terus merawatnya. Jika tidak, saya akan membawanya ke rumah sakit anak."
Dr. Sanders kembali menatapnya dengan iba. "Sayangnya rumah sakit anak hanya menerima anak-anak berusia maksimal delapan belas tahun. Henley berumur sembilan belas tahun."
"Saya sangat tahu usia anak saya sendiri." Celeste mengeluarkan sebundel uang 1 dolar dan beberapa uang receh dari sakunya lalu menaruhnya di atas meja. Jelas sekali uang itu adalah uang tip yang ia tabung selama ini. "Anggap ini sebagai uang muka. Hanya ini yang saya miliki sekarang, tapi percayalah saya akan membayar sisanya secepat mungkin." Ia melihat ke arah Ari dan berbisik, "Ayo, kita pergi." Celeste kembali menatap sang direktur. "Jika Anda berkenan, saya harus menemui putri saya."
"Maaf, Nyonya Douglas, kami tidak bisa menerima ini ...." Dr. Sanders memanggilnya kembali sambil menunjuk uang yang terkumpul di atas mejanya, tetapi Celeste tak menggubrisnya. Ibunya sudah pergi ketika Ari melihat sang direktur rumah sakit menggeleng sementara bibirnya mengatup rapat.
Ari kembali masuk ke kantornya dan berbicara dengan pelan dan tegas. "Seperti yang ibu saya bilang, kalian akan mendapatkan uang yang kalian inginkan. Terima kasih sudah merawat adik saya." Ia mempercepat langkahnya untuk menyusul ibunya setelah meninggalkan kantor sang direktur. Saat dia berhasil menyusulnya, ia memegang lengan ibunya untuk menghentikan langkahnya. "Jangan khawatir, Bu. Semuanya akan baik-baik saja."
Ibunya mendongak dan menangis saat mengusap pipi Ari. "Aku tahu, Ari sayang."
Sudah bertahun-tahun dia tidak dipanggil dengan panggilan itu oleh ibunya. Ari berfirasat bahwa sudah tidak ada harapan lagi bagi mereka.
Namun, ia membulatkan tekad setelah melihat sorot mata ibunya. "Ibu, bagaimana kalau kita pergi mencari makan sekarang? Ibu terlihat kelelahan sekali."
Ibunya menggeleng. "Tidak, terima kasih. Kau saja yang makan duluan."
Ari merangkul ibunya mendekat. "Ibu, aku berjanji semuanya akan baik-baik saja."
Celeste mengangguk. "Ibu tahu."
Mereka berjalan menuju kamar Henley saat ia masih terlelap. Rambut merahnya yang dulu menyala sekarang kusam akibat perawatannya. Wajahnya pun memucat. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Ari bertanya-tanya apakah ia akan kehilangan adiknya.
"Bu, aku harus pergi. Ada sesuatu yang harus aku lakukan." Ari pamit dengan mengecup kening ibunya. "Aku akan kembali sebentar lagi. Apa Ibu akan baik-baik saja?"
Ibunya memaksakan senyuman di wajahnya. "Pergilah. Aku akan baik-baik saja."
Ari mengambil ponselnya dan menyusuri lorong menuju lift sambil mencari nomor telepon AmericanMate. Saat ia di luar, ia menelepon nomor itu.
"Selamat siang!" jawab seorang wanita dengan ceria. "Anda telah menghubungi kantor administrasi AmericanMate. Ada yang bisa saya bantu?"
"Saya tertarik untuk menjadi pengantin pesanan," Ari menjawab dengan gamblang.
Ari bisa mendengar senyuman yang terlukis di bibir staf itu. "Yah, kami menyebutnya perjodohan internasional. Tentu saja, saya akan membantu Anda dengan senang hati."
Ari menghabiskan setengah jam setelahnya berbicara dengan wanita itu. Setelah ia yakin bahwa Ari sudah memenuhi kriteria program itu, wanita itu memberinya daftar hal-hal yang dia perlukan untuk mendaftar.
"Satu hal lagi," tambah Ari, "Saya masih perawan."
Sang wanita terdiam sejenak saat mendengarnya. "Ah, begitu. Kalau begitu, saya butuh pernyataan dari dokter yang tersertifikasi untuk membuktikannya."
"Oke. Ada lagi?" Ari bertanya, suaranya penuh dengan keyakinan.
"Anda hanya perlu mengisi lembar pendaftaran dan mengirimkan dokumen penting lainnya beserta pas foto secepat mungkin," jawab wanita itu. "Saya perlu alamat e-mail Anda untuk mengirim lembar pendaftarannya."
Ari memberitahukan alamat e-mailnya dan berterima kasih sebelum menutup teleponnya. Ia kembali ke rumah sakit dengan tujuan baru, merasa penuh harap untuk pertama kalinya setelah sekian lama.
***
Ari berjalan menuju meja perawat di lantai yang berbeda dari kamar adiknya agar tidak ada yang langsung mengenalinya. Dia juga tidak ingin ibunya tahu. Seorang perawat yang tengah mengetik melirik ke atas dan mengangkat alisnya ketika melihat Ari. "Ada yang bisa saya bantu, Nona?"
Ari menghela napas dalam-dalam, mengumpulkan keberanian. Tidak ada cara lain untuk menanyakan hal absurd ini. "Apakah ada dokter yang bisa memastikan keperawanan saya?"
Sang perawat menatapnya dengan heran, mulut terbuka karena tak percaya dengan pertanyaan yang dia dengar. Namun, ia kembali memperlihatkan sikap profesionalnya dengan cepat. "Dokter keluarga Anda dapat melakukannya untuk Anda."
"Masalahnya, saya tidak punya dan saya perlu sertifikatnya secepat mungkin." Suara Ari terdengar putus asa, bahkan di telinganya sendiri.
Tepat saat itu, seorang dokter datang dan berbicara pada perawat itu. "Biar saya yang urus."
Sang perawat mengangguk, sebuah kerutan terlihat di dahinya.
Sang dokter tersenyum kepadanya dan menariknya ke samping. "Saya Dr. Carmichael. Apa saya boleh tahu mengapa Anda memerlukan sertifikat ini?"
Ari menghela napas. "Karena saya baru saja mendaftar ke AmericanMate. Adikku sedang sakit--"
"AmericanMate?" potong Dr. Carmichael.
Ari mengangguk.
Dr. Carmichael tersenyum. "Dengan senang hati saya akan membantu Anda." Dia kemudian berbalik ke arah perawat tadi. "Samantha? Bisa bantu saya?"
"Tentu saja, Dok." Perempuan itu berjalan memutari mejanya dan mengikuti mereka melewati lorong.
Ari merasa lega bahwa mereka mau menerima permintaannya dengan cepat. Dia juga lega ada seorang perawat yang akan mendampinginya selama pemeriksaan. Ia hanya berharap orang-orang di AmericanMate bisa mendapatkan pasangannya dengan cepat ... sebelum sesuatu terjadi pada Henley.