Queens, New York
Ari meninggalkan rumah sakit untuk bebersih diri dan beristirahat sejenak selagi mereka menanti langkah selanjutnya untuk masalah Henley. Sejak insiden tersebut, sudah sekian lama dia tidak pulang ke kamar asrama. Dia berjanji akan kembali untuk mengambil sisa barangnya nanti.
"Hei, siapa ini!" celetuk Vickie saat Ari berjalan masuk dan menariknya ke dalam pelukan. Dia melepaskannya sesaat kemudian dan menatap matanya. "Jadi, bagaimana kondisi Henley?"
Ari menghela napas, masih merasakan dampak dari beberapa hari belakangan selagi dia menghempaskan diri ke sofa. "Dia sakit Leukemia. Hasil tesnya positif."
Mata Vickie melebar. "Oh, Ari! Aku turut berduka ...."
Ari berpikir sesaat sebelum mencondongkan tubuh dan memangku siku di atas lututnya. "Apa boleh aku meminta tolong?"
Vickie duduk di sofa pasangan di seberangnya dan mencondongkan tubuh. "Tentu saja! Kau boleh meminta tolong apa pun padaku! Kau 'kan sudah tahu itu! Apa yang kau butuhkan?"
"Aku punya ide dan aku perlu mendiskusikan ini denganmu. Tapi, kau harus janji tidak akan membocorkan ini pada siapa pun."
Vickie mendengus. "Sayang! Kalau aku buka mulut, sudah sejak lama kau dalam masalah besar!" Tentu saja, Vickie hanya bercanda, Ari tidak pernah bertingkah liar sebelumnya.
Ari menggigit bibir bawahnya dan melepaskannya. "Aku sedang mempertimbangkan untuk menjadi pengantin pesanan modern."
"Kau apa?" suara Vickie naik beberapa oktaf. "Apa-apaan yang kau pikirkan ini?"
Ari mengangkat bahu. "Ya, antara pilihan ini atau merampok bank."
"Tolong ...." Vickie meraup tangan Ari. "Katakan kau sedang bercanda."
"Tidak." Ari melepaskan tangannya, tidak ingin memberitahu Vickie kalau dia bahkan sudah menyusun rencana itu saat Melissa mendekati mejanya. "Aku masih perawan, jadi kurasa itu mungkin akan bernilai tinggi."
"Tentu saja itu bernilai segalanya!" Vickie menjerit. "Ari ... apa yang kau pikirkan? Kau sungguh ingin melepaskan keperawananmu ... dengan cara seperti ini?"
"Ya."
Vickie tidak terlihat yakin.
Ari mengulurkan tangan dan meraih tangan Vickie. "Aku serius."
"Aku pun begitu!" Vickie duduk di sampingnya. "Kau sebentar membahas soal Henley, lalu detik berikutnya membahas soal menikah!" Dia menatap mata Ari. "Kau meracau! Tapi, tidak usah khawatir. Aku tidak akan memberitahu siapa pun dan kita bisa melupakan percakapan ini."
Ari tersenyum. "Ibuku tidak punya asuransi kesehatan dan, sepertinya, kurasa klinik sekolah pun tidak akan membayar biaya perawatan kemoterapi." Dia mengedikkan bahu. "Aku harus mengumpulkan uang dengan cara apa pun."
Vickie mendengus. "Kalau begitu, mengapa tidak hanya jual keperawananmu tanpa hal lainnya saja?"
"Aku bukan p*****r," sahut Ari dengan datar.
"Tetapi, setidaknya kau tidak akan perlu mengurusi seorang suami seumur hidupmu!" Vickie berseru, tetapi segera menurunkan nada suaranya setelah menarik napas dalam dengan tenang. "Kau sungguh yakin akan dapat cukup uang yang kau butuhkan dari melakukan ini?"
"Aku bisa mencantumkan persyaratan itu." Ari menghela napas selagi menyandarkan punggung ke sofa. "Aku tidak tahu, tetapi seorang perawat di rumah sakit memberitahuku soal situs AmericanMate—"
Mata Vickie melebar lagi. "Seorang perawat yang memberitahumu ini?" sahutnya tidak percaya.
Ari mengangguk. "Ya, dan aku sudah melakukan riset. Memang ada beberapa situs, di luar negeri tentu saja, tempat kau bisa menjual keperawananmu. Tetapi, ada juga broker pernikahan internasional yang mengaturkan kencan." Ari mengangkat bahu. "Akhirnya, terserah pasangan tersebut apakah mereka ingin menikah."
"Semacam situs kencan daring?"
Ari mengangkat bahu. "Hampir seperti itu. Tetapi, situs-situs ini hanya melayani pelanggan kelas atas."
"Kenapa juga kita membahas soal ini?" Vickie meraih bahu Ari, memaksanya menatap matanya. Sesekali Vickie ternyata bisa menjadi orang yang rasional. Padahal biasanya yang terjadi adalah sebaliknya.
"Demi Henley!" Ari berdiri untuk menengok ke luar jendela sambil melipat lengan di depan d**a dan menyaksikan salju turun. "Vickie, memangnya ada cara lain mengumpulkan uang untuk perawatannya?"
Ari merasakan sebuah tangan menyentuh bahunya. "Aku tidak ingin terdengar kejam ...." Vickie merendahkan nada suaranya. "Tapi, kau tidak bertanggung jawab atas adikmu."
Air mata memenuhi mata Ari dan nyaris tumpah. Kemudian, dia menatap mata Vickie. "Aku bertanggung jawab atasnya. Dia adikku. Aku bahkan rela menyerahkan hidupku deminya jika diperlukan."
"Ya, pada dasarnya sekarang pun kau sudah melakukannya." Vickie menatap Ari seolah dia pun nyaris menangis.
Ari tersenyum di antara kesedihannya. "Tidak seperti itu. Aku masih akan tetap bernyawa."
Vickie mendengus. "Ya, kedengarannya sangat terhormat, tapi bagaimana kalau kau mendapatkan pemerkosa ... atau ... atau ... bahkan lebih buruk dari itu? Bayangkan drama 'Game of Thrones'!"
Ari terkekeh selagi berjalan balik ke sofa. "Para lelakinya akan diseleksi dengan ketat."
Vickie duduk di sampingnya. "Jadi, kau sudah menghubungi mereka?"
Ari menggeleng. "Tidak, belum."
"Kalau begitu ...." Vickie meraih tangan Ari, suaranya mendadak dipenuhi semangat dan senyuman lebar menghiasi wajahnya yang berkulit cokelat muda. "Kalau kau ingin melakukan ini, kita akan melakukannya dengan benar. Aku membantumu menyeleksi para lelaki itu, kita akan mendandani rambut juga wajahmu, dan kita akan menemukan pria tampan yang seksi dan kaya raya untukmu!"
Ari tertawa. Vickie selalu bisa diandalkan untuk urusan menemukan hal positif di tengah kesedihan.
"Kalau kita lihat sisi baiknya," lanjut Vickie, mendadak terlalu bersemangat. "Kau akan menikah!" Vickie menjerit senang, kemudian terpaku dan mulutnya terbuka lebar. "Siapa tahu? Mungkin kita bahkan bisa menemukan pria tampan untukku juga!"
Ari tersenyum di sela kesedihannya, sudah merasa lebih baik daripada hari-hari sebelumnya setelah melihat berbagai kemungkinan. Ari hanya berharap Vickie benar dan mereka bisa menemukan pria impian untuknya ... bukannya serigala berwajah tampan.