12. Tuduhan

2205 Kata
Malam ketiga mereka bersama, Krisna tidak main menggebu-gebu seperti malam pertama. Ia harus melayani pasien keesokan harinya, tidak mungkin ia menyuruh seorang ajudan menyelesaikan pekerjaannya karena ia sedang kelelahan akibat forsir bersanggama. Ia bukan bukan seorang idaman sejenis CEO itu. Ia hanya pria biasa yang menikmati hal-hal sederhana. Karena ia dan Adiba menikah tanpa pacaran, maka malam-malam berduaan adalah momen mereka yang disebutnya 'pacaran'. "Kau punya bibir terlembut yang pernah Mas rasakan, Dek," rayu Krisna seraya mengemut bibir Adiba. Ia dudukkan Adiba di pangkuannya. Bercumbana di kasur kecil mereka, menghangatkan diri saat malam dingin di kawasan perkebunan kopi tersebut. Sungguh, rayuan itu tidak ada efeknya bagi Adiba. Tanpa perlu dirayu pun, jika Krisna bernafsu padanya, ia tidak bisa menolak. Ia menyahut singkat. "Iya." Krisna merasa rayuannya tidak dihargai. "Kok begitu saja? Kamu gak merasa kesengsem gitu sama Mas?" "Aku mesti ngomong apa, Mas?" "Ya balas memuji dong. Apa tanggapan balik kamu soal Mas." "Baik-baik saja, Mas." "Hhh, Diba ...." Krisna langsung kehilangan semangat merayu dan sepertinya, itu menjadi yang terakhir kali ia merayu Adiba. Sikap Adiba boleh sedingin es, tetapi itu tidak menutup kenyataan bahwa tubuhnya hangat dan rahimnya menghangatkan Little Krisna-nya. Krisna mencebik, "Ya sudah. Kalaupun kamu gak bisa memuji Mas, paling gak bibir kamu bisa nyenangin Mas. Kamu cium Mas, ya Dek." "Iya, Mas." Adiba memunjungkan bibirnya mengecup bibir Krisna, berupa ciuman ringan, hanya bibir bersentuhan. Krisna bersikap lebih agresif. Ia lahap bibir Adiba dan melumatnya untuk beberapa saat. "Hummh." Napas mulai berat dan duduk Adiba gelisah. Krisna dekap pinggang Adiba agar gadis itu tidak ke mana-mana. Ia kunci bibir Adiba agar tidak lepas, dan alhasil jemari Adiba merayap-rayap di dadanya yang masih berlapis T-shirt. Krisna buka mulut untuk meliukkan lidahnya, sempat Adiba mendesah, "Mas ...." "Beri Mas French Kiss, Diba," bisik serak Krisna sembari jemarinya menyusup di bawah rambut Adiba dan menangkup tengkuknya. "Apa itu, Mas?" Adiba bergumam kikuk. "Gunakan lidahmu, Diba. Nih, gerakin seperti Mas." Krisna lumat lagi mulut Adiba lalu mengajak lidah Adiba bertaut dengan lidahnya. Panas naik hingga ke dahinya sehingga Adiba terpejam merasa sekitarnya berputar-putar. Tarikan napasnya berat hingga ia harus mengangkat pinggulnya dan mendesah, "Mas ...." "Hmm," Krisna menyahut di antara suara decapan kemesraannya. Tangan Adiba bergerak ke balik T-shirt, desakan kebutuhan membagi panas tubuhnya. Krisna tersenyum di sela ciuman itu. Ia gerayangi lekukan tubuh di balik gamis Adiba. Ia sibak pakaian itu sehingga Adiba hanya mengenakan lingerie dan duduk di pangkuannya dengan rambut megar tergerai. Adiba menatap nanar. Pundaknya turun naik mencari udara setelah kepanasan. Krisna diam memandanginya dengan sepasang mata tajam menggelap, membuat Adiba frustrasi. "Mas?" sebutnya mendesak. "Hari Rabu warna biru, ya, Diba?" tanya Krisna berbisik parau, menatap terkesima pada lingerie di tubuh Adiba. "Uhm, iya, Mas." Krisna gemas sehingga merapatkan rahangnya. Ia gigit bibir Adiba sehingga gadis itu terpekik halus. "Ah, Mas ...." "Hissh, kamu ya, merayu aku dengan cara seperti ini!" Krisna menggerutu, tetapi tidak menghentikan cumbuannya. Adiba hanya mengikuti saran yang diberikan padanya. Jika Krisna menganggap itu rayuan, itu masalah Krisna. Krisna memeluk serta melahap bibirnya lagi, Adiba merasa lega bukan main. "Mas .... uhmm." Adiba menggerakkan lidahnya mengusap rongga kata dan geligi pria itu. Geliat di dalam sana menanggapinya penuh penghayatan. Mulut sibuk membaur dan napas saling dengkus. Paru-paru dan jantung berlomba berkontraksi. Tangan Krisna tak kalah sibuk. Ia meranggah kedua buah Adiba, memaksanya ranum matang tanpa mengeluarkannya dari busa penyangga. Malah bertambah semangat mengacak-acak lingerie dadanya Adiba, lalu merambah ke renda segitiganya. Adiba terlena diagungkan sedemikian rupa oleh suaminya. Laksana seorang dewi bagi Krisna. Tidak banyak kata-kata, hanya tindakan yang menjamahnya sebagai tempat suci. Puas bermain-main di sana hingga basah menggelenyar, Krisna mengangkat tangan sebentar untuk melepas T-shirnya. Ia bersantai sejenak membiarkan Adiba mengamati tubuhnya. Mata amber itu berkilat, tetapi Adiba diam saja sehingga Krisna memberikan instruksi. "Ciumi tubuh Mas, Dek. Mas pengen tahu kamu bisa bikin kissmark atau tidak." Adiba tergagap. "Ma-maksudnya ... bekas merah-merah ini?" Ia menunjuk dadanya sendiri, tempat bertebaran jejak bibir suaminya. "Iya," jawab Krisna sambil semringah lalu melandaikan tubuhnya ke kasur. Membuka lapang bidang dadanya agar Adiba bisa memesrai saraf-sarafnya di elemen six pack itu. Adiba menunduk kikuk ke lekukan leher Krisna, lalu mengecup pelan permulaan. Sentuhan lembut itu pun mampu membuat darahnya berdesir. Krisna mendesah. "Diba ...." Ia belai sepanjang rambut Adiba sekaligus menikmati ciuman-ciuman kecilnya. Ia bisiki Adiba. "Gigit Mas, sayang." Dan Adiba menggigit sekelumit kulit dadanya serta bulir kecil di sana. "Ahhh, Adek Mas sayang ...." Adiba merasakan mukanya panas merah padam mendengar erangan itu. Untungnya, ia melekap di d**a Krisna, sehingga pria itu tidak perlu melihat ekspresinya saat itu. Sedikit merasa lega, Krisna tidak mengeluhkan kemampuannya yang minim pengalaman, karena terus terang saja, di masa-masa menjalani hukuman di penjara, ia kerap mendengar kisah kehebatan urusan ranjang para napi wanita. Ia tidak bisa membayangkannya kala itu. Sekarang, setelah mengalami langsung permainan suami istri, ia mulai agak paham, meskipun intinya seperti kata Krisna, Ikuti naluri alami. Ia melakukan sebisanya, semampunya, dengan mengikuti petunjuk-petunjuk Krisna, imamnya. Puncak malam adalah puncak permainan pacaran mereka. Permainan slow agar bisa berlama-lama tanpa kelelahan. Adiba menunggangi suaminya sambil terisak oleh indikan-indikan yang dilakukannya sendiri. Adiba gigit jari merasa malu karena terlalu enak. Sementara Krisna merem melek mengatur napas berat terangsangnya sembari jemarinya mencolek-colek celah bibir yang menelan Little Krisna. "Oohh, enak banget, Adek Mas sayang ...," ucap Krisna. Matanya mengerjap bergantian melihat cahaya indah surga lalu bidadari berambut megar yang mendampinginya bergembira ria serta dua buah yang berguncang-guncang. "Diba ...." "Hiks ... iya, Mas?" Krisna raih jemari Adiba yang digigit-gigitnya lalu ia tarik Adiba ke dekapannya. "Mas mau keluar!" katanya lalu Adiba tak kuasa mengindik lagi, digantikan hunjaman pemompaan Krisna yang membuatnya gemetaran sekujur tubuh. "Maaas!" pekik lemas Adiba, yang menjadi pasrah setelah kekentalan hangat mengguyurnya. Dekapan suaminya menjadi sangat erat seakan hendak meremukkan tulang belakangnya. Namun, sebentar saja berganti belaian sayang dan kecupan di keningnya. Pria itu lalu membisikinya. "Nikmat, Dek. Makasih banyak ya." Adiba yang membenamkan wajahnya di d**a Krisna tak dapat menahan mengigit jari lagi disebabkan merasa sungkan. Ia menyahut malu-malu. "Eh mmm, iya, Mas. Sama-sama." "Diba, Diba ...," ucap Krisna seraya terkekeh. Ia semakin gemas dan sayang pada istrinya itu. Krisna tertawa halus menimbukan getaran di dadanya, terasa sangat menenangkan bagi Adiba. Ia melepeh jarinya, lalu memeluk Krisna sebagaimana pria itu memeluknya. Mereka berdua lalu tersenyap tertidur dan alunan napas beraturan bersama menghabiskan sisa malam. *** Krisna bangun agak telat dari seharusnya. Ketika ia keluar kamar, Adiba sudah selesai mengerjakan tugas paginya dan tinggal menunggu makan. "Pagi ...!" Krisna menyapa istrinya yang sedang duduk di kursi menjahit kancing yang lepas dari kemejanya. Adiba tidak menyahut, yang mana itu tidak masalah lagi bagi Krisna. Ia lanjut ke kamar mandi dan bergegas mandi bersih sambil senyum-senyum karena menyenangi bekas ciuman Adiba yang bertebaran di dadanya. Adiba mendengar suara mesin sepeda motor dan riuh gumaman orang-orang terjadi di depan rumah. Ia bergegas meletakkan kemeja Krisna, lalu memasang kerudung menutupi rambutnya. Adiba mengintip dari jendela. Ada 3 orang perempuan, serta 3 buah sepeda motor yang dikendarai para pria. Mereka berbincang-bincang penuh emosi seraya menoleh dan menunjuk-nunjuk ke arah rumah. Adiba tidak mengenal para pria itu, tetapi ia kenal para perempuan karena mereka pernah mengantar makanan ke rumah Dokter Krisna. Adiba merasakan kehadiran orang-orang itu bukan untuk bertamu, sehingga ia bergegas memanggil suaminya. Ia ketuk-ketuk pintu kamar mandi seraya berujar panik. "Mas! Mas, ada orang!" Mendengar suara Adiba secemas itu, Krisna bergegas keluar kamar mandi dalam keadaan berbalut handuk separuh tubuh dan masih basah. "Ada apa, Dek?" tanyanya waswas. "Itu, ada orang di luar," katanya. Ia takut kedatangan orang-orang itu menyangkut identitas aslinya. Adiba lalu gigit jari yang membuat Krisna memasang tampang gusar. Ia segera ke pintu depan dan melihat dari jendela terlebih dahulu siapa yang datang membuat istrinya secemas itu. Beberapa pria dan beberapa perempuan yang pernah mencoba mendekatinya, yaitu Ayu Dewi, Sari Dewi, dan Sandra Dewi. Mereka berkumpul lalu berjalan menuju rumahnya sambil marah-marah. "Pembantunya Dokter Krisna itu pasti pakai pelet makanya Dokter Krisna mau sama dia. Kita harus menyelamatkan Dokter Krisna dan mengusir perempuan itu dari desa ini!" Krisna meringis. "Hissh, orang-orang ini ada-ada saja! Kurang kerjaan banget sih mencampuri urusan orang." Orang- orang itu menggedor pintu rumahnya. "Dokter Krisna, assalamualaikum!" Krisna tarik Adiba yang melongo lalu disuruhnya membuka pintu. "Kamu hadapi orang-orang itu. Kamu nggak perlu takut kalau kamu nggak salah, Diba," kata Krisna dengan suara direndahkan. "Nggak apa-apa, ntar Mas bantu kamu." Adiba merapatkan rahangnya dan seketika mukanya jadi tegas. Ia mengumpulkan semua keberaniannya lalu membuka pintu, sementara Krisna bersembunyi di balik pintu. "Wa'alaikum salam. Ada apa ya?" ujar Adiba setenang mungkin. Sandra Dewi menudingnya. "Kamu nih orangnya! Kamu pakai guna-guna supaya Dokter Krisna gak bisa pisah sama kamu!" "Iya, betul, betul! Kok aneh lo, bisa-bisanya tinggal bareng. Secara Dokter Krisna tuh ganteng, pintar, dan orang kaya pula. Masa mau sama kamu? Ngambil kamu jadi pembantu itu 'kan alasan saja," ujar Dewi lainnya. "Memang kalian punya buktinya?" tantang Adiba langsung dan lugas. "Gak perlu bukti. Ini kami ada bawa ustaz buat mengeluarkan pelet yang kamu pakai pada Dokter Krisna." Sandra Dewi mendorong seorang pria maju ke depan Adiba. Pria yang disebut ustaz itu tidak terlihat memiliki aura religius sama sekali. Hanya seorang kenalan yang disuruhnya menakuti-nakuti pembantu Dokter Krisna. Krisna melihat tangan Adiba yang memegangi gagang pintu mencengkeram kuat hingga gemetaran. Krisna usap genggaman itu agar Adiba tenang, karena jika refleksnya tak terkendali, bisa terjadi hal berbahaya. Adiba merasakan sentuhan itu, sedikit membantunya menahan emosi. Ditambah Krisna merangkulnya lalu menghadapi orang-orang itu bersama-sama. Adiba terpana. Begitu juga semua orang. Krisna yang tampan dan dielu-elukan para wanita itu tampil bertelanjang d**a dan banyak bekas ciuman di tubuhnya. Muka para Dewi seketika merah padam. Tanpa perlu dijelaskan, mereka sudah tahu apa saja kegiatan Dokter Krisna selama off pelayanan klinik. Krisna menyapa mereka semua. "Dalam rangka apa datang kemari? Kalian mau mengucapkan selamat, ya atas pernikahan saya dan Adiba?" "Pe-pe-rnikahan?" "Iya. Kami sudah nikah hari Minggu tadi. Kami suami istri sekarang." "Ma-masa sih? Dokter Krisna, sadar gak sih kalau Dokter itu kena pelet?" Krisna menanggapi dengan keheranan yang polos. "Pelet? Emang kalian main begituan ya jadi bisa tahu saya dipelet? Maaf ya, Mas-mas, Mba-mba. Enggak baik nuduh orang berbuat syirik seperti itu. Saya dan Adiba menikah karena pertimbangan baik buruknya dan doa semua orang yang ingin kebaikan bagi saya. Jadi, mau dipelet atau bukan, saya tidak peduli. Saya dan Adiba sudah sah jadi suami istri. Jadi, apa pun anggapan kalian, bukan masalah lagi. Ya kan, sayang?" Krisna menatap mesra sang istri lalu mengecup bibirnya. Para Dewi tambah meradang, sedangkan para pria mereka jadi salah tingkah. Adiba benar-benar tidak karuan rasa Krisna memesrainya di depan mata orang-orang. Ia sikut suaminya seraya bergumam malu-malu. "Ehm, Mas, sebaiknya pakai baju dulu gih." "Iya, Mas mau pakai. Lagian sebentar lagi Mas harus kerja kok," ucap Krisna manja. Para Dewi itu terlanjur malu, sehingga mereka ingin mencak-mencak marah-marah. Untungnya Fahmi, Bu Mujibe, dan Sutiyeh datang, juga ada orang yang mau berobat. Fahmi menegur mereka. "Ada apa ini rame-rame?" "Ini bener Dokter Krisna sudah nikah sama pembantunya? Jangan-jangan bohongan lagi buat menipu warga saja," tuding para Dewi. Fahmi menjawab penuh percaya diri. "Iya, bener. Saya saksinya dan mereka berdua ini juga. Sama Pak RT dan Bu RT. Terus, kalian mau apa?" "Nggak, nggak mau apa-apa," jawab Sandra Dewi yang punya ide merecoki Dokter Krisna. Ia lalu berujar pada teman-temannya. "Yuk, ah gaes, kita pergi dari sini." "Iya, iya." Mereka lalu terbirit-b***t pergi dari halaman rumah Dokter Krisna dipandangi mencibir semua orang. "Healah... yu Sandra Dewi ini mau bikin masalah aja loh. Hmm," gerutu Bu Mujibe dan Sutiyeh. Krisna menghilang ke dalam rumah untuk berpakaian dokternya. Adiba yang berhadapan dengan orang yang ada. "Terima kasih, Bapak dan Ibu semua. Untung saja kalian datang." "Iya, Diba. Biasalah warga, gak di sini, gak di mana-mana, ada saja yang modelan suka mengurusi hidup orang begitu. Untung saja kalian sudah nikah, kalau nggak jadi runyam urusan," ujar Bu Mujibe. "Iya, Bu, syukurlah...." "Ayo, kita kerja aja yok! Pasien juga sudah datang," ujar Fahmi lalu mereka mulai membuka klinik. Adiba masuk ke dalam rumah, berpapasan dengan Krisna yang bersiap -siap, merapikan kerah kemejanya. Ia bergumam pada Adiba. "Dek, maaf ya, Mas gak sempet nih siapin sarapannya. Ntar kalau pasien lowong, Mas masak deh." "Iya, Mas, nggak apa-apa," Adiba menyahut lembut. Ia bantu membenahi kancing kerah Krisna. Krisna tercenung memandangi istrinya itu. Terpikir jika insiden tadi menyebabkan Adiba tertekan atau Adiba dibawa pergi orang-orang itu, ia akan kelimpungan memikirkan nasib Adiba. Syukur Alhamdulillah ternyata Tuhan memandu jalannya di jalan yang lurus. Adiba aman sebagai istrinya. Fahmi Cs mengintip dari ruang sebelah, tersipu-sipu hingga mereka cecikikkan. Krisna menoleh ke arah suara itu. Bajunya sudah selesai dirapikan, Krisna mengusap pundak Adiba sekilas sebagai tanda ia permisi. Krisna segera menuju kliniknya. Fahmi CS membuka pintu lebar-lebar dan tersenyum semringah. "Cie ciee, yang pengantin baru," ledek mereka. Dokter Krisna sampai bangun kesiangan. Apalagi leher dan area selangka Dokter Krisna terdapat bekas-bekas ciuman. Krisna duduk di balik mejanya jadi salah tingkah, berlagak membenahi kerahnya lagi. "Hehee. Alhamdulillah, Mas, Bu. Sudah sampai jodohnya, tak dapat ditolak. Semoga ke depannya selalu berkah," ucap Krisna. "Amiin," sahut semuanya, bahkan para pasien yang mendengarnya. Mereka menaruh harapan besar dengan menikah dan tinggal di situ bersama sang istri, Dokter Krisna akan betah bertugas, sehingga mereka tidak perlu kesusahan lagi mencari dokter. Semoga saja demikian adanya. *** Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN