11. Memakan

2020 Kata
[Jika bingung rambut Adiba itu seperti apa, coba cek artis Zendaya. Nah, rambutnya keriting seperti itu. Heee.] *** Adiba tidak menyangka Krisna seorang dokter yang terlihat kalem, penyabar, sopan, dan berwibawa bisa semesum ini. Ia bukan hanya merasakan keperkasaannya sepanjang malam, tetapi juga secara harfiah merasakan 'keperkasaan'-nya. Krisna membawanya ke kamar lagi dan menyuruhnya berlutut. Rongga mulutnya sesak dipenuhi hingga berlelehan liur. Wajahnya bergesekan dengan rambut kasar area pubis pria itu dan hidung sesak oleh aroma maskulin yang memusingkan sekaligus meluluhkan. Melahap tonggak itu terasa enggan dilakukannya, tetapi ia tidak bisa membantah. Krisna tidak pernah keberatan memenuhi permintaannya, jadi, kenapa ia harus keberatan? Sudah tidak bisa berterima kasih, setidaknya ia berusaha melaksanakan keinginan Krisna sebaik mungkin. Membelai rambut Adiba yang melekap di antara kedua kakinya, Krisna merasa debaran dadanya membuncah. Bisa berkuasa atas seseorang sedemikian rupa memberikan kesenangan mendominasi yang mengasyikkan. Namun, karena pengalaman baru Adiba, ia tidak ingin membuatnya mengulum berlama-lama. Ia tarik keluar Little Krisna-nya dari lumuran lidah Adiba, dan membiarkan gadis itu terbatuk-batuk sebentar. Muka Adiba merah merona dan sedikit air mata terpancar. Krisna menyenangi tampang itu. Ia tarik Adiba agar berdiri lalu ia dempet sehingga Adiba tersandar di dinding dan ia ciumi pipinya. "Gimana, Dek? Aneh ya rasanya?" bisiknya bertanya. Adiba mengangguk. Ia terisak sedikit. "Aku lapar, Mas. Aku mau makan," katanya. Krisna tertawa kecil oleh respons Adiba. Alih-alih mengeluh, ia mengungkapkan saja apa yang dirasakannya. "Ntar Mas bikinkan mie soto kesukaan kamu. Mas udah kepalang tanggung nih. Mas masuki dulu kamu, Dek." Apa ia bisa menolak? Mie Soto akan disajikan untuknya. Adiba manut saja. Krisna mengangkat baju panjangnya ke atas kepala, tersisa lingerie renda berpayet terpasang di tubuhnya. "Aahh, bra ungu yang cantik, Diba. Hmm, Mas suka liatnya." Ibu Mujibe berpesan padanya untuk selalu mengenakan pakaian dalam bagus. Katanya, lelaki suka istrinya punya persiapan khusus. Adiba menuruti saja saran tersebut. Tanpa mengindahkan bahan halus itu, Krisna sibak bagian cup sehingga mendorong gundukan kenyal Adiba meluap, ia kecup kuat bulir mungilnya. "Mas!" desah Adiba berpaling seraya memejamkan mata. Ingin ia mendorong kepala pria itu karena nyeri, tetapi rasa nyeri itu juga yang membuatnya luluh dalam nikmat. Area itu sudah banyak bekas merah dan juga berdenyut-denyut keseringan diremas dan diisap, tetapi pria itu tetap saja tidak bosan-bosannya melekap di sana. "Aaahhh ...," desah resah Adiba saat terasa geligi Krisna menggereget. "Mas, hentikan, Mas. Nyeri. Mau putus rasanya." Krisna tidak berkata apa pun. Ia pindah ke gundukan sebelah dan melakukan hal yang sama. "Heuhmmmh ...." Adiba gigit jari memasrahkan diri. Tidak seru jadinya kalau Adiba bungkam saja dicumbunya. Krisna tarik celana renda ungu itu sehingga terpilin menjadi setali yang mencekik pukasnya Adiba. Ia tarik-tarik hingga menggesek kencang. Adiba memekik nyaring. "Kyaaahhh ... Mas, jangan dibegitukan ... Ah ... Uh..., Maaas!" Adiba terjengkit seraya terengah-engah. Di antara gesekan di bagian sana, meleleh juga kebasahannya. Krisna meledeknya. "Kamu juga kenapa pakai dalaman begini? Kamu nantangin Mas, ya kamu rasakan akibatnya, Diba." "Aaahh, Maaass ...." Adiba merengek mengempit sela kakinya seraya memukul-mukul d**a Krisna. Tubuh pria itu telanjang menginjak handuk yang teronggok di lantai. Krisna putar tubuh Adiba menghadap dinding. Ia tarik tali renda membuka celah rahasia istrinya, maka ia leluasa membenamkan Little-nya di sana. "Mas!" hentak Adiba. Krisna mendorong-dorongnya sehingga ia harus menahan agar tidak membentur dinding. Kakinya berjinjit. Pukasnya kuat mencengkeram Little Krisna hingga pemiliknya menggeram kesal. "Aaah, Diba, kamu gemesin banget, sayang." "Uhh, huhuhu...." Adiba mengeluh pada dinding sementara bokongnya berguncang bersuara ditepuk-tepuk. Krisna merem melek naik ke langit surga. Adiba perempuan pertama yang digaulinya secara intens sehingga nikmatnya terasa sampai ke sumsum tulang. Pengalaman bersama teman-teman kencan sebelumnya menjadi sangat biasa. Mungkin ini yang namanya berkah menjadi suami istri. Surga benar-benar dimasukinya. Puji syukur Adiba meninggalkan pria sebelumnya. Puji syukur ia menarik Adiba ke dalam lindungannya. Sekarang mereka bersatu bagai Adam dan Hawa. Rupanya itulah pertalian jodoh di antara sekian jalan berliku kehidupan mereka. Krisna mengecup belakang leher Adiba saat ia mengucurkan sekret nikmatnya. Adiba menampungnya dengan kelegaan luar biasa. Kaki Adiba lemas. Ia jatuh merosot, segera Krisna papah istrinya itu ke kasur. Mereka jatuh bertindihan di alas empuk tersebut dan berlomba mengatur napas. "Aduh, Dek, Mas capek banget, tapi enaknya masyaallah ...," desah Krisna disertai kekehan serak. Hal serupa pernah diucapkan suaminya terdahulu saat mereka baru menikah juga. Adiba tidak ingin terbuai kenangan itu. Ia bergegas bangun, merangkak meraih gamisnya lalu membenahi baju, dan mengenakannya lagi sambil duduk. Ia ketusi Krisna. "Bangun cepat, Mas. Sudah janji 'kan mau bikinin aku mie." "Hihh," dengkus Krisna sekaligus mencibir Adiba. Kok jadi perempuan tidak ada romantis-romantisnya? Dipuji-puji kek dikit suami tuh. "Ya, ya, aku mandi dulu," Krisna menggerutu sambil bangun. Ia pungut handuknya lalu keluar kamar. Adiba berdiri dengan kaki menggeletar dan berangsur-angsur berkurang sembari ia berjalan. Ia mengganti seprai, merapikan kamar suaminya dengan ringkas, lalu membawa cucian kotor ke belakang. Ia lanjut menyelesaikan mengepel lantai kemudian membilas ember dan kain pelnya. Karena tenaganya terkuras, ia tidak sanggup melanjutkan mencuci pakaian. Adiba duduk di mesin jahitnya sekalian merapikan pernak pernik menjahit. Krisna selesai mandi, lewat bertelanjang separuh badan di ruangan itu akan tetapi tidak membuat perhatian Adiba terusik. Krisna merasa dibodoamati oleh gadis itu. Ia jadi kesal. ia bersegera ke kamar dan berpakaian. Krisna mengenakan baju santai kaos oblong serta celana pendek. Ia merebus mie yang sedap beraroma menggiurkan itu pun tidak membuat Adiba memperhatikannya. Gadis itu sibuk menyetel kekencangan benang. "Diba, mie-nya sudah siap," kata Krisna, secara otomatis Adiba menyosor mendatanginya. Krisna memasak dua bungkus mie dalam satu panci. Memecahkan telur ayam di dalamnya, serta menambahkan potongan lombok dan taburan bawang goreng. Uap wangi mie itu mengepul di permukaan panci. Tadinya ia ingin memisahkan mie itu menjadi dua mangkok, tetapi melihat Adiba yang gercep, ia biarkan Adiba menghadapi panci itu sendirian. Namun, ketika Adiba hendak menyuapnya, ia tahan sendok Adiba dengan sumpit. Gadis itu membuka mulut sambil memelototinya. "Heh, bilang apa dulu sama Mas?" tuding Krisna. "Apa," sahut Adiba lalu ditariknya sendoknya. "Hah?" "Aku 'kan sudah bilang apa, Mas. Sekarang jauhin sumpitnya. Aku mau makan." Adiba mengetuk sumpit Krisna dengan sendok, lalu melahap mie hingga menundukkan kepala di atas panci. "Woi, aku juga lapar, bukan kamu doang. Lagian ini mie aku yang bikin. Sini, gantian!" Krisna tarik panci mie dan meraup mie ke dalam mulut menggunakan sumpitnya. Adiba jadi emosi. Makanan tinggal di-hap malah diambil lagi. Ia tarik panci itu sambil menggerundel. "Mie ini 'kan aku yang minta, jadi buat aku dong, Mas!" Adiba ambil bagian telur rebus yang kuningnya jingga menggoda ia lahap bersama mie dan kuahnya. "Eeh eh eh, kamu ambil bagian yang enaknya pula. Nggak bisa. Bagianku juga ada di sini!" gerutu Krisna. Ia tidak mau kalah, sehingga menunduk ke muka panci dan makan secepatnya meskipun masih panas. Kepala Krisna beradu dengan kepala Adiba. Mereka saling sikut. Keduanya berlomba saling mendahului mengambil mie beserta telornya. Pedas-pedas dan panas tidak terasa lagi. Muka belepotan dan berembun uap mie juga tidak jadi masalah. Suapan terakhir Krisna kena mental. Adiba mendorongnya dan menarik panci itu lalu menghirup kuah beserta residu mie langsung dari bibir panci. Krisna tak berkutik memandangi. Tidak menyangka Adiba menjadi seganas itu demi makanan. Bahkan suami sendiri didepak. Lapar memang mengubah orang. Krisna terhenyak sambil menjilati sumpitnya. "Aahhhh ...!" Adiba mendesah panjang sambil menurunkan panci. Mukanya keringatan berona merah segar. Dia termangap sebentar lalu bersendawa keras. Krisna meringis. Ia kalah jorok dibanding Adiba. Pancinya sampai kering kerontang. Ingin ia menghujat, tetapi teringat berbulan-bulan lalu Adiba bahkan makan dari sampah, Krisna jadi tersenyum haru. "Kamu suka banget mie soto, Diba?" "Uhm!" Gadis itu mengangguk. Bibirnya tersenyum dan bola matanya berbinar-binar. "Rasanya seperti buatan Ibu." Untuk sesaat Adiba semringah, terlihat polos bahagia. Namun, sekejap raut mukanya berubah sendu lalu menatap tak tentu arah. Adiba bergegas berdiri. Ia mendeham-deham sambil mengambil air minum. "Ah, pedas!" Adiba berlagak sibuk minum. Ia berharap Krisna tidak bertanya lebih lanjut. Alhamdulillah-nya pria itu tidak cukup sensitif. Krisna beranjak menjauh sambil merentangkan tangan melemaskan otot-otot pundaknya. "Aku mau keluar cari udara segar dulu ah!" katanya demi tidak membuat Adiba merasa tidak nyaman. Ia ke kamar sebentar mengambil ponselnya lalu ke halaman depan mencari sinyal. Ia menelepon ibunya di bawah naungan pohon mangga sambil memetik-metik daunnya. "Krisna baru saja ambil izin, Bu. Nggak enak sama yayasan izin lagi, mana Krisna masih baru juga. Jadi, Krisna nggak bisa menghadiri acara Mba Mita. Ntar Krisna telepon aja Mba Mita sama Mas Diaz-nya. Iya, Bu. Iya. Salam buat Ayah." Krisna memutus panggilan teleponnya lalu buru-buru pindah supaya hilang sinyal lagi sebelum Paula meneleponnya. Mendadak malas saja ngobrol dengan Paula. Ia sudah punya istri dan tidak ingin istrinya itu cemburu. Ciee. Ia jadi memikirkan perasaan Adiba. Perempuan secuek itu, apa mungkin cemburu? Krisna tidak tahu pasti. Namun, selama Adiba tidak tahu soal Paula, ia tidak perlu menjelaskan apa pun. Krisna kembali ke dalam rumah mungilnya dan senang mendapati ruangan sudah rapi. Tidak ada lagi bekas makan-makan tadi. Kompor bersih dan peralatan memasak tersusun di tempat semula. Adiba sedang mencuci pakaian di belakang. Dia menyikat sangat profesional meskipun cucian terdiri dari bahan-bahan yang besar dan berat. Krisna berpikir sebaiknya ia membeli mesin cuci untuk meringankan pekerjaan istrinya karena setelah menikah mereka akan sering ganti seprai. Malamnya malam yang cerah. Udara lebih hangat. Langit bertaburan bintang dan suara jangkrik bernyanyi riang. Krisna duduk di teras memandangi langit. Adiba datang bersungut padanya. "Mas, lapar ...." Krisna terkekeh. Ia tarik tangan Adiba. "Sini, duduk dulu sama Mas." Ia mengajak Adiba duduk di pangkuannya. Ia rapikan helaian rambut di tepi wajah istrinya. "Kamu benar-benar nggak bisa memasak, Diba?" tanyanya. Adiba mengangguk. Selama bertahun-tahun Adiba mendapat makanan pembagian. Ia tidak pernah bertugas di dapur atau ruang makan karena kejahatannya berkaitan dengan tusuk menusuk. Sebisa mungkin ia dijauhkan dari pisau memisau. Namun, ia tidak akan menjelaskan hal itu pada Krisna. "Belajar memasak, mau?" Adiba menggeleng. "Kenapa nggak mau?" Jemari Adiba bertaut gelisah. "Berantakan, Mas. Kadang aku bingung. Semuanya jadi kacau." "Oh." Krisna bisa mengerti kerumitan pikiran Adiba. "Terus, kamu suka menjahit kenapa?" Sepasang netra Adiba berbinar-binar menerawang ke bintang-bintang. Ia ingat film Cinderella yang sering ditontonnya saat liburan sekolah Cerita di mana gadis lusuh berubah menjadi putri dengan menggunakan gaun yang indah. Ia punya kesempatan hadir di pesta dan bertemu pangeran tampan. Ia ingin menjadi ibu peri yang mewujudkan impian itu. "Menjahit punya pola. Itu seperti peta. Aku tinggal mengikuti jalurnya. Aku senang melihat orang jadi bahagia karena mengenakan pakaian yang indah. Aku berharap bisa memberikan kebahagiaan itu pada mereka." Krisna terpaku memandangi istrinya. Lihat 'kan, dia sepolos gadis kecil. Adiba yang malang. Krisna gemas sehingga diciuminya pipi Adiba. "Tidakkah kau ingin gaun yang indah untuk dirimu sendiri?" Pertanyaan itu membuat dadanya terasa hangat, tetapi dalam perutnya terasa perih menusuk. Sesungguhnya, dahulu, ia berangan-angan menjadi sang Cinderella. Namun, apa hal kenyataan berkata lain. Tidak ada putri mana pun yang berasal dari seorang pembunuh. "Mungkin suatu saat, Mas," jawab Adiba. Adiba tertunduk dalam menyembunyikan senyum getirnya, walaupun Krisna melihat hal itu, ia pura-pura tidak tahu. Krisna berdiri sehingga Adiba beringsut dari pangkuannya lalu turut berdiri. Is dorong Adiba masuk. "Yuk, ke dalam. Aku bikinkan makan. Aku coba bikin nasi goreng ya. Nggak tau enak apa nggak, tapi kamu makan ya?" "Iya, Mas. Nggak masalah. Aku makan apa aja kok." "Hhhh, Diba, kamu ngomong begitu jangan-jangan kamu juga makan manusia," desah cemas Krisna. "Bisa jadi, kalau nggak ada lagi yang dimakan," sahut Adiba disertai tampang tanpa ekspresinya yang jadi terlihat menyeramkan. "Hhhh." Krisna mengembus napas lelah. "Batang Mas rasanya lumayan. Kayaknya Diba bisa makan itu," lanjut Adiba. "Hah??" Krisna tersontak. Ia terjengkit menjauhi Adiba. "Jangan bercanda begitu, ah, Diba. Kamu nakutin Mas tau nggak!" "Hahaha." Adiba tertawa dingin. "Makanya, buruan masak!" Krisna bergegas ke meja dapur lalu mulai memasak sambil sesekali melihat ke belakangnya. Waswas kalau-kalau Adiba menerkamnya. Gadis itu duduk bertumpu dagu di lutut, memandangi mesin jahit. Krisna menyela memasak untuk mengambil KitKat yang ada di kulkas. Ia lemparkan snack itu pada Adiba. "Tuh! Makan itu dulu sementara nasinya belum jadi." Adiba tidak menyahut, tetapi ia membuka cokelat itu dan memakannya sambil kembali melamunkan menjahit. Ia sangat ingin punya uang untuk membayar hutang-hutangnya pada Krisna dan juga tidak ingin jadi beban meskipun pria itu berstatus suaminya. Mereka tidak pernah tahu kapan masalah akan datang. Ia takut seseorang yang berjiwa ksatria seperti Krisna bahkan tidak bisa menolongnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN