8.Apakah Kamu Orangnya?

2951 Kata
Malam tadi, Krisna yang mondar-mandir di tengah rumah, paginya giliran Adiba. Gadis itu panik dan kesal. Krisna sudah mantap ingin menikahinya. Padahal ia pikir seorang dokter mempunyai tingkat intelektual tinggi, akan punya solusi lain. Namun, sepandai-pandainya manusia, rupanya mereka pun lelaki biasa. Pikiran mereka lebih dikendalikan kebutuhan kenikmatan di bawah perut mereka. "Ini mungkin sangat mendadak, tetapi aku percaya ini datang dari yang di atas. Aku, Krisna Adimulya, siap mempersuntingmu, Adiba Farhana," ucap pria itu penuh percaya diri. Adiba mendesah saja. Pasti asyik dengan pembicaraan dalam kepalanya sendiri. "Aku tidak peduli latar belakangmu. Aku tidak peduli asal usulmu, selama kau percaya padaku dan mengikutiku, aku akan jadi imammu," lanjut Krisna. Adiba terpaku menatapnya. "Kau tahu aku melarikan diri dari kejaran ayahku, bukan? Kau tidak tahu pria ini. Ia sangat kejam." Bukan hanya ayahnya, tetapi juga kelompok Tuan Mahmud yang ingin balas dendam kematian putra kesayangannya. Adiba kembali mondar-mandir gelisah. "Aku tidak ingin terlihat. Aku tidak ingin dikenali. Aku tidak ingin mereka menemukanku." "Ya, aku tahu dan itu salah satu hal yang membuatku yakin denganmu. Jika seorang wanita sudah menikah, maka ia menjadi hak milik suaminya. Kau akan bebas darinya, Adiba. Pria itu tidak punya hak lagi atas dirimu." Adiba tidak merespons. Krisna memegang kedua pundak gadis itu dan menghentikannya. Ia arahkan Adiba menatapnya. "Menikah adalah solusi kita," ucapnya lugas menyadarkan Adiba. "Kau jangan overthingking. Pernikahan kita akan dibuat seminim mungkin. Cukup orang dalam sini saja yang tahu. Aku pun tidak akan mengabari keluargaku di Jakarta. Mereka tidak akan pernah menerima keputusanku dan ini bukan hanya soal kamu. Ini tentang banyak hal, karena itu aku pindah kemari. Menikahimu bukan hanya karena pembuktian diriku, tetapi aku butuh seseorang yang bisa mendampingiku dalam suka dan duka, dalam segala situasi." Adiba terhenyak. Ia mematung menatap Krisna, tidak menyadari air matanya berlinang. Inikah orangnya? Orang yang selama ini aku cari? Orang yang kubutuhkan? Adiba, kau tidak tahu. Kau belum menjalaninya dengan pria ini. Ia bisa saja ... bisa saja berubah pikiran. Melihat netra indah itu meneteskan air mata, Krisna tahu Adiba sedang membuat langkah besar dalam hidupnya. Ia pasti sangat ketakutan, tetapi seharusnya tidak lagi, karena ia akan memegang tangan Adiba. Krisna genggam kedua tangan gadis itu dan menatap ke dalam matanya. "Adiba, setelah menikah kita bisa tinggal di sini tanpa seorang pun mengusik kita. Bisa kau bayangkan betapa damainya itu?" Ya, itu yang diinginkannya. Air mata Adiba mengalir deras oleh rasa haru. Di sini, ada seorang pria yang mengambil segala risiko menerima dirinya apa adanya. Krisna merasa tangis kali ini berarti Ya. Ia peluk Adiba dan membiarkan gadis itu menangis di dadanya. "Loh loh loh? Ada apa ini? Kenapa?" panik Bu Mujibe yang muncul karena mendengar dan melihat Adiba menangis. Ia masuk melalui ruang klinik, diikuti Fahmi dan Sutiyeh. Ketiga orang itu waswas jangan-jangan Dokter Krisna memutuskan melepaskan Adiba daripada kariernya terancam. Krisna melepaskan dekapannya, sehingga Adiba bisa menjauh dan mengusap air matanya. Krisna menyambut mereka dengan senyum merekah. "Berita bahagia, Bu Mujibe, Mba Sutiyeh, dan Fahmi. Saya akan menikahi Adiba." "Wuaaah! Bener, Dok? Alhamdulillah, subhanallah, ya Allah ...," puji syukur mereka yang mendengarnya. Krisna menambahkan dengan gaya pongah. "Iya. Jadi, Bu Mujibe nggak perlu lagi cariin calon suami buat Adiba." "Saya nggak ada niatan begitu kok. Abisnya Pak Dokter itu sudah serasi dengan Adiba," tukas Bu Mujibe. "Masa, sih?" gumam Krisna seraya tersenyum semringah. "Iya loh. Tadinya lihat kalian pelukan tadi, aduhh, saya pikir ini jadian ini, pasti." "Ah, Bu Mujibe bisa aja, tapi bener sih itu tadi boleh dibilang jadian ya kami?" "Iya, bener, Dok," timpal Sutiyeh. "Jadi, kapan nikahnya? Biar saya cek dulu kesehatan catennya. Tes Hb, golongan darah, HIV, dan Hepatitis." "Nah, iya, bener itu. Harus imunisasi TT juga dulu sebelum nikah," tambah Bu Mujibe. "Saya mau secepatnya, sih. Lebih cepat lebih baik," jawab Krisna. "Fahmi, ntar kamu temenin saya melapor ke Pak RT ya. Tapi kalau mengurus berkasnya bakalan susah ya, saya bukan penduduk asli sini. Adiba juga ...." Krisna menoleh pada calon istrinya yang menghindari tatapan orang masih sibuk mengusap air di pelupuk matanya. Fahmi segera menyela. "Nggak apa-apa, Dok. Nikah siri aja dulu. Yang penting sah, biar orang-orang nggak ngerecokin Dokter lagi." "Ah, ya, bener juga. Kalau begitu saya akan hubungi pihak yayasan juga biar ada saksi pernikahannya. Tapi, terus terang saja, saya ingin pernikahan ini sesederhana mungkin, undangan seperlunya saja. Kalian paham 'kan situasi Adiba?" "Iya, Dok, kami paham," sahut ketiga orang itu. "Tapi harus ada selametannya juga dong, sama seserahan, biarpun sedikit," saran Sutiyeh. "Nah, soal itu saya nggak tau mengurusnya. Bagaimana ya?" "Saya aja, Dok yang urus makanan buat acara ntar," ujar Bu Mujibe. "Kalau buat sekitar 10-15 orang mah, saya sanggup ngerjainnya sendirian. Kalau seserahan, Sutiyeh aja yang urus, ya Yeh?" "Siap, Mba!" Krisna mangut-mangut senang. Di belakangnya, Adiba menonton saja mereka mengatur acara untuk pernikahannya. Sudah diputuskan hari Minggu mereka akan dinikahkan. Sekitar 4 hari lagi dan menunggu hari itu, Adiba diungsikan ke rumah Bu Mujibe. Dipingit ceritanya. Selama di sana, Adiba berpenampilan sangat tertutup, mengenakan hijab bercadar dan kerap mengurung diri di kamar. Ia gelisah karena tak sabaran ingin kembali ke rutinitasnya di rumah Dokter Krisna. Ia rindu kesunyian di sana dan mesin jahitnya. Sedangkan Krisna, calon mempelai pria, merasa sangat kehilangan Adiba. Rumah jadi sepi seperti tak berpenghuni dan terutama ia tidak ada teman makan. Untungnya, Fahmi menjenguknya saat malam karena khawatir Dokter Krisna kenapa-kenapa. Soalnya, banyak perempuan cemburu mengetahui Dokter Krisna mau menikahi pembantunya. Hari itu pun tiba. Tidak banyak persiapan dibuat kecuali makanan. Krisna datang ke rumah mempelai wanita, yaitu rumah Bu Mujibe dan pernikahan dilangsungkan di sana. Krisna dan Adiba dinikahkan melalui wali hakim. Pak RT dan Bu RT, Dokter Syamsu, Deden, menghadiri acara itu. Tak ketinggalan Sutiyeh, Fahmi, dan beberapa warga setempat. Adiba tidak mengundang dan mengabari siapa pun karena ia tidak punya kerabat. Bahkan sewaktu ia dipenjara dan menjalani sidang, tidak pernah ada seorang pun kerabat menjenguk atau mendampinginya. Jadi, memiliki seorang suami, ia merasa ada seseorang yang akan senantiasa ada untuknya. Prosesi nikah berjalan lancar, singkat, padat, dan jelas. Adiba mengenakan gamis dan cadar putih berhias kemilauan. Krisna berpakaian baju koko berwarna senada dengan calon istrinya. Di depan wali hakim dan penghulu, Krisna mengucapkan kabulnya. Adiba pun sah secara agama menjadi istrinya. Setelah acara doa selamat dan makan-makan, Krisna dipersilakan membawa pulang mempelainya. Berduaan di mobil menuju rumah yang sebelumnya mereka tempati bersama, kali ini terasa berbeda. Rasa berdebar-debar kasmaran. Krisna mengulum senyum gugup, bercampur rasa geli dan bahagia, tidak menyangka akhirnya ia menikahi Adiba. Adiba duduk berdiam diri seperti sikapnya yang biasa. Nyaris tidak berkata apa-apa selama acara, sekarang saat berduaan pun ia tidak juga berbasa-basi. Krisna jadi tidak tahu mesti bagaimana membuka percakapan. Adiba mengembuskan napas lelahnya. Ia melepas cadar. Krisna meliriknya. Wajah Adiba dipoles mekap yang membuat pipinya merona dalam temaram dan bibirnya merah meranum. Melihat wajah gadis itu setelah sekian lama, tubuh Krisna seketika bereaksi menggila oleh desir-desir dalam darahnya. Krisna sampai mendeham dan mengembuskan napas panas dari hidungnya. Oh my God! Seperti inikah rasanya berduaan sebagai suami istri? Apa yang terjadi? Kamu 'kan bukan perjaka tingting lagi! Krisna, di mana kendali dirimu? "Aku tidak tahu harus berkata apa," kata Adiba, seketika membuat Krisna tersentak. Bahkan suara Adiba terdengar sangat ero.tis baginya. "Kita suami istri sekarang. Haruskah aku mulai memanggilmu dengan sebutan khusus?" "Err ... entahlah," jawab Krisna. Tidak pernah terpikirkan olehnya soal itu. Adiba berceloteh. "Abi-Umi? Ayah-ibu? Mama-Papa? ...." "Mari tidak usah membahas itu," potong Krisna dengan perasaan serba salah. Adiba diam siap mendengarkan. "Mari kita jalani saja ini seperti biasa. Aku ingin perasaan dan perhatian itu tumbuh dengan sendirinya. Jadi, kita ikuti naluri alami saja." Naluri alami .... Adiba sedikit paham maksudnya, maka ia pun kembali pendiam, dalam pikiran membayangkan gerakan menumbuk konstan mesin jahit, jarum dan benang, menembus kain, membentuk lilitan yang memukau .... Sesampainya di kediaman mereka yang sunyi senyap, Adiba masuk ke dalam lebih dahulu dan langsung mendatangi mesinnya. Krisna masuk belakangan dan mengunci pintu. Ia dekati Adiba perlahan-lahan. Ia sentuh pundaknya dari belakang dan membisikinya. "Ini malam pertama kita. Kamu nggak berencana menjahit malam-malam begini 'kan?" Adiba mengernyitkan pundak, tetapi tidak mengelak. Ia mendesah gelisah. "Mm ... maksudnya? K-kamu serius mau kita ... mmm ... melakukan itu?" Krisna mengernyitkan keningnya. "Kamu pikir ... kita nikah buat apa?" "Yeah ... aku kira ... hanya untuk ... mengelabui warga ...." Adiba menunduk dalam seraya mengembus napas pasrah. Inilah akibatnya kalau kebanyakan menyemai dusta. "Oh, ya ampun ...." Krisna jadi resah. Ia berpaling sekalian menjauhi Adiba. Alamat zonk nih malam ini. Krisna memijat kening, merasakan si Little Krisna berdenyut-denyut tersiksa. Tidak! Tidak boleh zonk. Harus bisa gol! Sudah berbulan-bulan aku hiatus. Krisna membulatkan tekadnya. Ia berbalik menghadap Adiba lagi kali ini dengan muka merengut macam bocah mau mengancam. "Kamu kok kejam sekali sama aku, Diba? Apa kamu nggak ngerti apa yang aku mau?" "Iya, aku tahu ...." "Terus?" Adiba mulai mengepalkan tangannya karena gelisah dan hendak menggigit jari lagi. Krisna tangkap tangannya dan mendempetnya. "Kamu takut?" tanyanya. Adiba menggeleng kecil sambil tertunduk menghindari sorot menuntut Krisna. "Bukan karena itu ...." "Lalu?" "Aku ... aku ... aku malu." Malu? Berarti dia mau? Little Krisna nyaris bersorak-sorai. Krisna mendempet Adiba semakin intim. Bibirnya menyentuh pinggiran kerudung yang membingkai wajah Adiba. Ia bisiki lagi gadis itu. "Nggak usah malu, Diba. Kita pelan-pelan saja, kok." Adiba tidak berani bersuara. Mukanya terasa panas dan napas menjadi berat. "Kita ke kamarku, yuk?" bujuk pria itu, menggandengnya, lalu perlahan-lahan merangkulnya sembari melangkah ke dalam kamar depan. Kamar itu terlihat lebih rapi dari terakhir dilihatnya. Ini terlihat konyol. Kasur Krisna baru, berukuran lebih tebal dan lebar, dilapisi seprai baru bermotif mawar dengan warna dasar putih. Kelopak mawar, melati, kenanga, bertaburan di sana. Adiba menghela napas tersengal. Bukannya pemandangan itu memukau, ia gelisah melihat bunga berceceran seperti itu. "Kenapa? Kau gugup, Diba? Sama. Aku juga," bisik Krisna. Adiba menggeleng. "Bukan. Itu ... kau tidak perlu melakukan itu. Itu membuat berantakan. Membersihkannya merepotkan." Mata Krisna melotot. Oh astaga .... Haruskah malam ini gagal karena konveti bunga-bunga itu? "Ah, jangan dipikirkan, Diba. Biar kubereskan sebentar." Krisna buru-buru ke kasurnya dan meraup konveti itu. Sialan! Seharusnya aku tidak mengikuti saran Fahmi soal taburan bunga di ranjang, batinnya. Adiba gigit jari memandangi Krisna mengesampingkan taburan itu. Ia melihat effort Krisna untuk membuat malam mereka sempurna. Krisna menepuk-nepuk seprai sebentar, lalu ia duduk bersila di tepi kasur dan mengubit Adiba agar mendekat. "Kemari, Diba. Sini. Duduk di pangkuanku." Langkah Adiba sangat kecil dan pelan ditambah dia menggigit-gigit ujung jari jempolnya, gadis itu tampak sangat menggemaskan. Krisna tersenyum. Ditariknya tangan Adiba sehingga gadis itu jatuh duduk di pangkuannya. "Ah!" Adiba mendesah serta hendak beringsut menjauh, akan tetapi tangan kekar Krisna melingkari pinggangnya dan menahannya tetap di tempat. Sebelah tangan pria itu menyapu pipinya, menahannya tidak menunduk. Krisna bersuara parau. "Kau tidak boleh ke mana-mana, Diba. Kau istriku sekarang. Tugasmu adalah mendampingiku dengan cara yang aku mau." Lalu ia kecup lembut bibir Adiba. Bibir gadis itu gemetaran, diseruputnya lagi lebih kuat, dan bibir itu berhasil diklaimnya. Ia berikan kecupan sambung menyambung yang mendayu-dayu. Bagus, Krisna! Pertahankan temponya. Jangan membuat Adiba terkejut. Bibir kaku dan dingin itu menghangat bersama sentuhannya. "Diba ...," desah Krisna tanpa menjeda ciuman ringannya. "Buka kerudungmu, sayang. Hanya kita berdua di tempat ini. Kau bisa memperlihatkan dirimu seutuhnya." Adiba mulai dengan membuka peniti kerudungnya sembari membalas kecupan Krisna. Ia tahu ia tidak boleh menolak. Namun, apakah ada alasan untuk menghentikannya? Kerudungnya yang terdiri dari 2 lapisan, sudah lepas seluruhnya. Rambut keritingnya yang dikucir dilepaskan Krisna sehingga megar tergerai. Krisna tertawa kecil mengacak rambutnya yang mantul seperti pegas. Adiba memegangi rambutnya dan tersipu-sipu. "Tolonglah, jangan olok rambutku. Aku sudah cukup kerepotan menatanya. Bukan mauku punya rambut seperti ini." Krisna raih sejuntai rambut bergelombang kecil-kecil itu dan menyusuri sepanjangnya. "Buat apa aku menjadikan rambutmu bahan olokan? Adibaa, Adiba. Kau terlalu memikirkan setiap kata-kata orang padamu, ya? Menurutku rambutmu lucu. Lucu dalam arti yang baik." Ia acak-acak rambut itu tanpa mengindahkan kegelisahan Adiba. "Yang kulihat, rambut ini menggambarkan dirimu yang sebenarnya. Penuh energi dan kreatif, liar dalam berimajinasi, dan tidak peduli tekanan seberat apa pun yang kau alami, kau akan kembali bangkit dan menghadapinya." Mata Adiba berkaca-kaca mendengarnya. Ingin sekali ia berteriak bahwa Krisna salah besar. Pujian itu terlalu tinggi untuknya. Ia tidak lebih dari pengecut yang selalu lari dari kenyataan. Adiba memalingkan wajah. "Kau tahu aku tidak seperti itu." Krisna raih dagu gadis itu agar menatapnya. "Kau seperti itu. Kau sedang tumbuh menjadi seperti itu, menjadi wanita sehebat yang kau dambakan." Ya Tuhan ... aku luluh.... Adiba jadi ingin menangis sejadi-jadinya, tetapi ia segera menarik napas dan menguatkan diri. Ia ketusi Krisna. "Kau berpengalaman soal ini, ha? Merayu wanita dan sebagainya." Krisna tidak ingin memyombong, jadi ia mengeles saja. "Well ... kau bukan yang pertama bagiku." Oh, tentu saja. Siapa yang akan percaya akulah yang pertama? Adiba mengulum senyum sinis yang membuat Krisna menggigit bibir. Sikap ketus seperti itu membuatnya merasa tertantang. Apa lagi taktik Adiba? Apa yang akan dikatakannya? Apa yang akan dilakukannya? Netra oranye tembaga itu melirik tajam padanya, lalu bibir itu tersenyum. Mencemooh. "Kau juga bukan yang pertama bagiku," ucap Adiba. Seketika muka congkak Krisna retak. Dalam waktu sepersekian detik pikirannya langsung kalut. Little Krisna serasa dipecundangi. Beragam prasangka berseliweran di benaknya. Mungkin Adiba diperkosa. Mungkin dia dipaksa melayani om-om. Mungkin dia melacur untuk menyambung hidup. Mungkin dia pernah ML dengan pacarnya. Atau mungkin ... mungkinkah ... Adiba sudah pernah menikah? Lingerie mahal itu. Apartemen mewah itu. Bola mata Krisna membesar. Seharusnya ia tahu sejak awal! Adiba sempat dijual ayahnya ke sana, kemudian baru dia bisa kabur. Melihat gelagat ciut Krisna, Adiba membatin, hmm, sepertinya aku punya peluang menggagalkan malam pertama ini. Nyaris tersenyum lebar, Adiba beranjak dari pangkuan Krisna. Namun, pria itu rupanya tidak menyerah begitu saja. Ia tarik Adiba hingga jatuh ke pangkuannya lagi dan ia pegangi pinggulnya agar dia tidak ke mana-mana. Adiba terperangah. Krisna mendesis di depan wajahnya. "Kau pikir aku percaya begitu saja? Kau pikir aku peduli? Kita sudah menikah dan aku tidak akan membiarkan malam ini berakhir tanpa aku menyetubuhimu, Adiba Farhana!" Hal berikutnya yang terjadi, gaun pernikahannya dibuka bergegas oleh Krisna. "Ah!" Adiba terpekik halus karena baju itu agak sukar lepas dari tubuhnya. Adiba berusaha protes. "Aku mengatakannya supaya tidak ada penyesalan di antara kita. Aku tidak ingin jatuh cinta dalam pernikahan ini. Kau tahu hubungan yang nyaman menjadi menyakitkan jika kita saling jatuh cinta!" Krisna terdiam memegangi baju Adiba yang sudah dinaikkan sampai ke bahu. Ia tatap wajah tersakiti gadis itu dengan ekspresi keheranan. "Kau berpikir ada peluang kita berdua saling jatuh cinta?" "Entahlah. Mungkin saja. Seperti yang kukatakan, ini bukan yang pertama bagiku," jawab Adiba tanpa berani menatap Krisna. Analogi Krisna tertuju pada bahwa Adiba pernah menikah dan pernikahan itu tidak berjalan mulus. Itu menjelaskan alamat apartemen mewahnya. Ooh gadis ini rupanya ... penjerat ulung! Padahal Adiba tidak pernah merayu. Padahal penampilannya tidak menggoda. Padahal dia selalu ketus dan tidak mau memasak. Kenapa aku bisa ... menginginkannya? Tiba-tiba Krisna merasa sangat cemburu. Ia tarik hingga lepas seluruh gamis Adiba sehingga jelas terlihat seluruh kulit halus gadis itu terbalut lingerie renda merah menyala yang sangat menggugah selera Little Krisna. Lingerie itu pilihan Ibu Mujibe, by the way. Adiba tahu itu akan membuat Krisna sakit kepala, tapi ia tidak kuasa membantah. Krisna menggeleng berkali-kali agar penglihatannya yang nanar menjadi lebih jelas. Logikanya sedang beradu dengan akal bulus Adiba. Kalau dia tidak berniat ML, lalu kenapa pakai baju dalam seksi coba? Ditambah mukanya Adiba itu tampang menantang, Krisna jadi terprovokasi. Ia menggeram, "Aku tidak peduli, Adiba! Aku suamimu. Aku berhak atas tubuhmu. Mari kita jadikan ini nyaman bagi kita berdua." Lalu ia bungkam mulut Adiba dengan bibirnya. Sebelum gadis itu mulai menjabarkan cerita-cerita hasil karangannya, atau kebenaran yang dipoles-polesnya hingga seperti dusta. Adiba susah payah menarik napasnya. Ia terkungkung di kasur itu dengan kedua tangan ditekan Krisna di sisi kepalanya. Ia lemah dibanding pria itu, sehingga perlawanannya tak bermakna. Bibirnya berdenyut-denyut membengkak masih betah Krisna mengulumnya. Bahan tebal celana panjang pria itu menggesek kedua pangkal pahanya. Tungkai kaki kokoh menaut kedua kakinya hingga terkunci. Adiba bersuara desahan tak kentara. "Sa kit ... Kris ... na ... kau ... bheraat ...." "Aku tidak peduli .... Aku tidak peduli ...," gerutu serak pria itu. "Ini bukan pengalaman pertama kita. Aku tidak ingin bermain pelan .... Oh, Diba ...." Bibir Krisna mulai membuat jejaknya di lekukan leher gadis itu. ia cumbui Adiba seperti kekasih lamanya. Akan ia buat Adiba kehabisan tenaga agar berhenti melawan, baru ia bisa membuka bajunya sendiri. Selama belum tunduk, Adiba akan senantiasa memajang wajah tanpa ekspresinya yang bisa terlihat mencemooh itu. Adiba tahu seks akan jadi seks yang hebat jika dimulai dengan cara yang tepat. Ia belajar itu dari pria pertama dalam hidupnya. Cumbuan Krisna tidak bisa ditampik membuatnya terangsang. Menginginkan atau tidak menginginkan pria itu menjadi tidak penting lagi. Jika kenikmatan siap mengisimu, apa kau masih bisa berpikir menolak? Kau mengatakan tidak dari mulutmu, tetapi syahwat sering kali berkhianat. Menggunakan giginya, ia tarik tali bra Adiba turun dari bahunya. Ia sapukan bibirnya di lekukan selangka Adiba. Renda penangkup gunungan dadanya terungkap. Ia cucup puncak mungil Adiba yang bentuknya bundar bak sereal Milo kesukaannya. Oh iya, kalau ke kota, ia akan beli sereal itu satu dus buat stok. Terpikir ada pria lain pernah menyusu di sana, entah selahap apa, Krisna jadi kesal. Ia mencucup lebih kuat, sekuat-kuatnya hingga Adiba terpekik dan mengomel. "Kyaaaah ... Jangan ... Ehmm, jangan isap seperti itu .... Sakit. Bukankah kau dokter? Kau tahu bahayanya jika ... jika ... icip putus?" Uuh, bikin alasan lagi dia! Krisna pindah mengicip yang sebelah. "Oohh, lagi-lagi ...." Adiba tidak bisa lanjut protes. Ia sibuk berusaha mengempit kakinya yang dikunci Krisna. Pinggulnya beresah-resah. Mulai basah di sana, dalam relung sakralnya. Krisna merasakan gerakan itu. Ia membatin penuh semangat. Pinggulnya mengulek sendiri. Ah, Adiba ... sabar, Adiba. Aku pasti ke sana, sayang. *** Bersambung....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN