Pria yang penuh perhatian
“Jangan pernah menceraikan Janna selama papa masih hidup! Papa harap kamu tak akan meninggalkannya jika papa sudah tidak ada nanti … jika kamu tak mau bertahan dengannya nanti, pastikan ia dan ibunya selalu berada dalam keadaan cukup. Hutang budi papa pada ayahnya tak akan terbayar jika mereka terlantar.”
Jeffry menghela nafas panjang saat menatap wajah Sarita di dalam galeri handphonenya. Ucapan sang ayah yang terngiang di telinganya membuat Jeffry sedikit cemas dengan masa depan hubungannya dengan Sarita.
Walau Naresh tak terlihat menentang hubungannya dengan Sarita tapi juga memberikan batasan bahwa ia tak bisa membawa hubungan ini lebih jauh. Sebentar lagi pendidikan Sarita selesai, gadis cerdas itu akan mendapatkan gelar S3 nya dan Jeffry berjanji, sebagai hadiah ia akan menikahi Sarita.
Betapa inginnya Jeffry menggenapi janji itu tapi untuk memaksakannya sekarang ia tak berani. Ia baru kembali dan memulai untuk membantu sang ayah. Sikapnya meninggalkan Janna setahun yang lalu membuat sang ayah begitu kecewa luar biasa karena memberikan malu pada keluarganya. Kini, dengan kondisi sakit sang ayah yang begitu parah ia tak mungkin lagi menyakitinya lagi dan kali ini ia hanya ingin mengabdi.
Jeffry tengah berada di sebuah Mall. Ia baru saja selesai lunch meeting dengan salah satu client dan masih ingin duduk untuk rehat sejenak.
Sudah satu bulan berlalu sejak pertengkaran terakhirnya dengan Janna. Sikap mereka berdua saat ini benar-benar seperti roommate. Selalu berangkat bersama, bekerja bersama lalu kembali bersama tapi tak ada pembicaraan yang berarti. Janna selalu menghindarinya.
Jeffry merasa sangat kesepian dan merindukan Sarita. Berbeda dengan Janna yang dingin, Sarita selalu menatapnya hangat penuh cinta, mendengarkannya sepenuh hati apapun yang ia ceritakan. Walau mungkin ia tak setuju tapi ia tak pernah menunjukkannya secara frontal, selalu mendengarkan sampai akhir. Ia selalu mendoakan apapun yang terbaik untuk Jeffry, berada disisi Sarita Jeffry merasa sangat nyaman dan damai.
Jeffry menghembuskan nafas panjang, matanya tak sengaja melihat kearah salah satu toko perhiasan, entah mengapa seolah tanpa sadar Jeffry melangkah ke dalam dan melihat-lihat cincin pertunangan.
“Mau design yang mana pak?” tanya salah satu pelayan toko padanya.
“Saya hanya ingin design yang sederhana saja,” jawab Jeffry perlahan lalu menemukan sepasang cincin cantik yang bisa ia bayangan akan tampak indah di jemari tangan Sarita dan tampak gagah di jarinya.
“Tolong ukirkan nama Jeffry dan Sarita di dalamnya,” pinta Jeffry saat menentukan pilihannya. Ia menyimpan bon cincinnya dengan baik di dalam tasnya agar ia bisa mengambilnya kembali minggu depan setelah cincin itu di grafir.
Saat kembali ke kantor, ia menemukan Janna tengah asyik bekerja di cubiclenya.
“Janna,” panggilan Jeffry saat melintas didepan mejanya membuat Janna segera berdiri dan berjalan ke dalam ruangan membawa laptopnya. Ia seperti robot yang otomatis datang saat dipanggil.
Sejak Jeffry masuk ke dalam perusahaan jarang sekali Janna berada di cubicle nya karena ia selalu menyuruh Janna bekerja di dalam ruangannya agar ia bisa mengkoordinasi semua pekerjaan dengan Janna. Bahkan sering kali bekerja bertiga bersama Badra.
Jeffry hanya bisa menjadi pendengar yang baik antara pembicaraan random antara Janna dan Badra. Mereka berdua sering bercanda dan saling menceritakan hal lucu. Jeffry sering ikut tertawa, tapi jarang terlibat dengan pembicaraan mereka. Ia melihat bahwa Janna sebenarnya adalah perempuan ceria dan penuh senyum juga tawa tapi hal itu jarang terlihat saat mereka berdua saja.
“Kamu sudah makan?” tanya Jeffry saat meletakan tasnya dan duduk di kursinya.
Janna hanya mengangguk malas dan kembali duduk dihadapannya. Jeffry segera mengeluarkan paper bag kecil berisi makanan yang ia beli di Mall untuk Janna. Selama dua minggu ini Jeffry melihat Janna sedikit sekali makan. Jika mereka tengah makan bersama, makanannya tak pernah habis.
“Makan dulu,” suruh Jeffry saat Janna malah membuka laptopnya tak menyentuh makanan pemberian Jeffry.
“Aku belum lapar,” jawab Janna pelan.
“Sedikit saja, aku tahu kamu belum makan atau jika sudah pun pasti makannya sedikit,” ucap Jeffry sambil membuka kan makanan yang ia beli dan menyajikannya dihadapan Janna seperti kebiasaannya. Janna hanya diam saat Jeffry menyimpan sendok dan garpu ditangan kanan dan kirinya. Lalu ia mulai makan dengan perlahan.
“Nah gitu dong, makanan yang aku pilih ini enak, anak kecil yang picky eater sekalipun pasti menyukainya,” ucap Jeffry sambil tersenyum melihat Janna makan.
Janna hanya bisa menundukan kepalanya. Pria dihadapannya ini seolah tak mengerti bahwa Janna sebenarnya tak ingin mendapatkan perhatian lagi dari Jeffry. Pria itu mencintai wanita lain tapi sejak bangun tidur sampai tidur kembali ia selalu memperhatikan kebutuhan Janna. Bahkan jika Janna ingin main tennis bersama Badra atau hendak bertemu dengan temannya di Mall, Jeffry akan mengantarnya dan menjemputnya di tempat semula. Jeffry seolah tak ingin dibantah, mereka bisa bertengkar jika Janna tak mengalah dan mengiyakan keinginan Jeffry.
Wanita mana yang tak akan senang jika begitu diperhatikan oleh pasangannya tapi hal itu malah semakin menyiksa Janna. Semakin ia menyadari bahwa Jeffry sebenarnya pria yang sangat perhatian, membuatnya semakin sakit hati, karena sikap itu adalah hal biasa untuk Jeffry pada semua perempuan bukan karena Janna adalah orang yang spesial untuknya.
“Mas, mulai besok tak usah buatkan makan atau membelikan makanan untukku ya?” pinta Janna perlahan sambil mengunyah makanannya perlahan.
“Kenapa?” tanya Jeffry tak mengerti dengan permintaan Janna sambil asik membaca dari laptopnya.
“Aku ingin terbiasa mengurusi hidupku sendiri, jika tidak dari sekarang bisa repot nanti,” jawab Janna datar. Jeffry menyadari arah pembicaraan Janna, tapi ia tengah tak ingin membahasnya.
“Sekarang atau nanti, semua akan sama. Selama kamu sendirian aku akan terus mengurusmu,” jawab Jeffry tenang.
“Gak usah repot-repot, aku masih bisa mengurus diriku sendiri, apalagi hanya urusan makan,” gumam Janna sambil terus makan.
“Jika aku masih mampu memberikannya untukmu, aku akan terus membelikannya walau kamu bosan. Jangankan makanan, jika aku peduli pada seseorang aku bisa memberikannya lebih dari itu,” balas Jeffry tak kalah menggumam sembari menatap tas dimana bon perhiasan yang ia beli untuk Sarita berada.
Waktupun berlalu, Janna tengah berada di dalam mobil dan melamun menatap senja. Hari ini ia dan Jeffry pulang lebih cepat karena Naresh ingin mengajak mereka makan malam bersama dirumah.
Janna selalu mencoba terbiasa mendengarkan percakapan mesra Jeffry pada Sarita via telepon. Walau tak pernah lama dan selalu memberitahukan Sarita bahwa ia tengah bersama Janna, tapi terdengar nada bicara Jeffry yang sangat mesra menunjukan betapa sayangnya ia pada Sarita. Andai Jeffry tahu bahwa sikapnya itu begitu menyiksa Janna.
Seperti saat ini, Sarita seolah selalu tahu dimana ia bisa menyakiti perasaan Janna secara tidak langsung dengan cara menghubungi Jeffry saat mereka tengah berdua. Walau sudah tidak pernah menggunakan loudspeaker, Janna tengah tak tahan mendengarnya.
Hati Janna merasa lega saat ia pun menerima panggilan telepon dari ibunya.
“Ibuuu,” panggil Janna sedih saat mendengar suara ibunya. Amima.
“Kenapa kamu nak?” tanya sang ibu bisa mengenali suara sedih anaknya. Tapi Janna hanya bisa diam dan menangis tertahan agar sang ibu tak mendengar tangisnya sambil membuang wajahnya ke arah jendela supaya Jeffry tak terganggu dan tak menyadari bahwa ia menangis.
“Cuma kangen ibu,” jawab Janna lirih menahan parau.
“Kalau ada waktu, ayo pulang kerumah nak … istirahat sehari atau dua hari untuk menenangkan pikiranmu,” ucap Amima seolah mengerti bahwa Janna tengah terbebani akan sesuatu.
Mendengar ucapan Amima hanya membuat Janna semakin terisak, ia tengah tak sanggup menahan perasaannya dan akhirnya tangisannya meledak dan menangis tersedu-sedu.
“Ibu, Janna kangen…” hanya itu yang bisa Janna ucapkan dan diujung sana Amima hanya bisa diam dengan perasaan sedih mendengarkan tangisan anaknya yang pilu.
Jeffry segera menyelesaikan komunikasinya dengan Sarita saat tahu Janna mendapat panggilan telepon dari ibu mertuanya. Ia pun hanya bisa diam saat mendengar Janna menangis berkata rindu pada sang ibu. Tangisan Janna terdengar pilu, menunjukan bahwa ia merasa sakit yang teramat dalam.
Jeffry tak menanyakan apapun pada Janna saat ia selesai berkomunikasi dengan ibunya. Seolah mengerti dengan mood Janna yang tengah tak menentu, Jeffry mengajaknya untuk pulang lebih cepat dari rumah sang ayah agar Janna bisa menenangkan hatinya dirumah.
Sesampainya dirumah, Janna langsung masuk ke dalam kamarnya dan tak keluar lagi sampai pagi. Keesokan harinya adalah hari Sabtu, sehingga ia tak memiliki kewajiban untuk bekerja dan baru keluar saat matahari telah tinggi. Alangkah terkejutnya Janna saat ia keluar kamar ia melihat Jeffry tampak rapi dengan koper kecil didekatnya tengah asik membaca buku.
“Mau kemana mas?” tanya Janna heran.
Jeffry yang menyadari kehadiran Janna segera tersenyum dan menghampiri Janna dan mengelus rambut panjangnya lembut.
“Ayo kita ke Bandung … kita kerumah ibu … katanya kamu kangen sama ibu?” Ajakan Jeffry membuat mata Janna kembali berkaca-kaca.
“Cepat mandi dan siapkan baju secukupnya,” suruh Jeffry sambil mendorong Janna pelan untuk kembali ke arah kamar tidurnya.
“Bersiaplah, aku menunggumu disini,” ucap Jeffry lembut. Janna pun mengangguk lalu kembali ke dalam kamarnya tak sabar untuk pulang kerumah ibu.
Bersambung.