Jeffry menyiram tanaman dan taman di halaman rumahnya dengan perasaan gelisah. Hari ini hari pertama ia bekerja diperusahaan sang ayah. Jika tadi pagi ia berangkat bersama Janna tapi istrinya itu tak ikut pulang bersamanya. Ia memilih untuk ikut Badra yang mengajaknya bermain tenis di sebuah klub olahraga.
“Janna, kamu jadi ikut main tenis kan?” tanya Badra saat tepat pukul 7 malam sepupu Jeffry itu memasuki ruangan kerja Jeffry dan Janna berada. Spontan Janna mengangguk dan segera membereskan pekerjaannya.
“Mau kemana kalian?” tanya Jeffry merasa tak dianggap.
“Aku mau ikut mas Badra olahraga, dia dan Gina mau ajarin aku main tenis,” jawab Janna santai sambil mematikan laptopnya.
“Tapi ini sudah malam Janna, kalian akan latihan dimana? Pulang jam berapa?” tanya Jeffry merasa tak nyaman dengan kedekatan Janna dan Badra.
“Mungkin pukul 10 malam,” jawab Badra santai membantu Janna membawakan laptopnya.
“Sini berikan laptop itu padaku,” ucap Jeffry tiba-tiba mengambil laptop dari tangan Badra.
“Biar aku yang membawanya pulang, ada barang lain yang mau kamu titipkan?” ucap Jeffry saat melihat Janna membawa banyak barang di tangannya. Tiba-tiba Janna menitipkan tas tangannya pada Jeffry dan segera berpamitan dengan riang mengikuti Badra keluar ruangan.
Kini waktu telah menunjukan pukul 10.30 malam tapi Janna belum juga pulang dan membuat Jeffry merasa khawatir dan gelisah. Ada sedikit rasa marah dihati Jeffry melihat gaya hidup Janna yang ia anggap tak berbatas. Hal ini pun ia adukan pada Sarita saat menghubunginya tadi.
“Sabar mas, menurutku kamu tak perlu marah, bagaimanapun mbak Janna butuh bersosialisasi agar ia tak merasakan kesepian,” bujuk Sarita mencoba menenangkan kakak sekaligus kekasihnya itu.
“Tapi gak pantas buat seorang istri untuk keluyuran malam-malam seperti ini! Ini sudah terlalu malam! Walau Badra sepupuku tapi seharusnya ia memiliki batasan!” guman Jeffry kesal.
“Aku bersyukur karena kamu anak rumahan dan tahu waktu jika berada diluar,” puji Jeffry pada Sarita dan membuat hati Sarita yang awalnya merasa sedikit cemburu kini kembali tenang. Mendengar Jeffry merasa khawatir pada Janna ia merasa sedikit cemburu, baru tiga hari mereka tinggal bersama tapi Janna mampu mengganggu perasaan Jeffry.
Di tempat lain, Janna tengah duduk sambil melamun di dalam mobil Badra yang tengah dikendarai Badra dengan pelan.
“Ayo siap-siap, sebentar lagi kamu sampai,” suruh Badra ketika mereka memasuki komplek perumahan dimana Janna dan Jeffry tinggal. Janna segera mengambil barang-barangnya dan turun dari mobil perlahan. Melihat Jeffry tengah menyiram tanaman, Badra segera menurunkan jendelanya.
“Kok malam banget?” tanya Jeffry dengan pandangan tak suka pada sepupunya.
“Sorry … kita tadi makan dulu, aku sudah antar istrimu dengan selamat ya, sampai ketemu besok di kantor. Assalamualaikum,” pamit Badra acuh lalu segera meninggalkan kediaman sepupunya itu.
“Assalamualaikum,” sapa Janna santai sambil berjalan ke dalam rumah. Wajah Jeffry tampak ditekuk dan menatapnya tajam.
“Waalaikumsalam, kok pake rok pendek banget begitu?” tanya Jeffry gusar melihat Janna terlihat sexy dengan pakaian tenisnya.
“Namanya juga pakaian tennis mas,” jawab Janna santai dan mengambil segelas air.
“Jadi seperti ini kehidupan kamu selama satu tahun ini?! Pulang mabuk atau pulang hampir tengah malam dengan alasan olahraga mengenakan pakaian pendek seperti itu? Besok alasan apalagi?!” tanya Jeffry tiba-tiba bersikap marah pada Janna.
“Kok jadi marah-marah mas?” tanya Janna bingung.
“Ya jelas marah! Apapun yang terjadi kamu masih istri seseorang! Seharusnya kamu menjaga dirimu dengan baik! Untung saja Sarita tak pernah berlaku seperti ini!”
Mendengar dirinya dibandingkan dengan Sarita, raut wajah Janna berubah marah dan mendorong d**a Jeffry karena kesal.
“Keterlaluan kamu mas! Kamu gak berhak bicara seperti itu sama aku! Selama satu tahun ini aku hidup sendirian menutupi semua aibmu! Kamu gak pernah tahu bagaimana caraku hidup karena selama ini kamu tak pernah ada disini! Kamu gak berhak bicara seperti itu karena kamu tak pernah mengenalku!" Janna berkata dengan suara parau menahan tangis dan marah.
"Ada dan tidak adanya masalah kita, tugasmu sebagai istri harusnya bisa menjaga diri!"
"Aku menjaga diriku dengan baik!" pekik Janna sambil mencoba memukul d**a Jeffry, tapi Jeffry segera menahan tangannya.
"Ceraikan aku, Mas! Ceraikan, aku!" jerit Janna marah sampai menangis.
"Selalu itu yang kamu ucapkan!" jawab Jeffry geram tetap menahan tangan Janna dan menggenggamnya kuat.
"Karena aku tak tahan dengan keadaan ini! Lepaskan aku dari pernikahan kita!"
"Tidak! Aku tak akan melepaskanmu semudah ini! Bukankah kamu sudah berjanji menjadi duri dalam hubunganku dengan Sarita?! Kenapa baru segini saja kamu tak bisa bertahan?!"
Janna menampar pipi Jeffry dengan keras dengan sebelah tangannya yang lain. Kaget dengan tamparan Janna, Jeffry tak sadar melepaskan genggaman tangannya dan membuat Janna segera berlari menuju kamarnya sambil menangis.
Jeffry segera berlari menyusul tapi yang ia dapatkan hanyalah bantingan pintu. Jeffry menggedor pintu kamar Janna dengan keras seolah sekalian mengeluarkan emosinya yang terpendam.
"Buka pintunya Janna! Buka!" teriak Jeffry keras. Tapi yang terdengar hanya isak tangis Janna dari dalam kamar. Jeffry menghentikan kemarahannya saat mendengar Janna menangis. Tubuhnya melorot dan terduduk bersandar di depan pintu kamar Janna. Jeffry bukanlah orang yang kasar terhadap perempuan, ia tak pernah berteriak pada perempuan manapun seumur hidupnya.
Entah apa yang terjadi, tapi kali ini ia berteriak pada perempuan yang berstatus sebagai istrinya. Jeffry tak mengira ia tak bisa menahan emosinya pada Janna. Nafasnya terlihat tersengal-sengal dan menatap pintu kamar Janna penuh penyesalan. Ia menyesal bersikap kasar pada Janna, sangat menyesal. Tapi perempuan itu seolah memancing emosinya meledak.
Keesokan paginya, Janna sudah bersiap berangkat ke kantor pagi-pagi sekali, bahkan langit pun masih gelap.
"Mau kemana kamu?" tanya Jeffry yang ternyata duduk disofa dan melihat Janna keluar kamarnya dengan diam-diam.
"Kantor," jawab Janna singkat.
Melihat dari pakaian yang sama dengan yang kemarin dan wajah kusut Jeffry tampaknya pria itu tak tidur dan tak berganti pakaian semalaman.
Jeffry segera berdiri mendekati Janna dengan tergesa-gesa. Melihat Jeffry mendekatinya dengan gusar Janna merasa takut dan bergerak mundur untuk kembali ke dalam kamarnya. Sayang, kali ini gerakan Janna kurang cepat karena Jeffry berhasil menahan pintu dan memasuki kamar Janna dan menguncinya dari dalam.
"Mau apa kamu?" tanya Janna gusar. Tak hanya Jeffry yang terlihat kusut tapi juga Janna yang terlihat semrawut. Matanya begitu sembab karena menangis terlalu lama.
"Aku butuh bicara, kita harus selesaikan masalah kita kemarin!" jawab Jeffry dingin.
Janna mendecak sebal, ia sudah tak ingin berhubungan lagi apapun dengan suaminya. Sikap Jeffry kemarin membuatnya marah, tersinggung juga ingin segera melepaskan diri dari pernikahan neraka mereka.