BAGIAN EMPAT BELAS

1105 Kata
            “Al, kamu bisa gak temenin Saya ke kondangan keluarga, hari sabtu?” Tanya Bima di saat mereka berdua sedang berada dalam perjalanan pulang setelah makan malam bersama. Makan malam pertama mereka sejak Bima jujur, kalau masa lalu nya baru saja kembali. Ada yang berubah dari Bima. Panggilan yang dulu sudah berganti dari Saya ke Aku. kini kembali seperti sedia kala. Namun tidak apa-apa, bukan masalah bagi Alma.             “Iya bisa kok mas. Jam berapa?” Jawab Alma. gadis itu menyenderkan tubuh nya pada sandaran kursi, hari nya cukup melelahkan, dateline yang tidak berkesudahan, meeting, bahkan rapat yang seharusnya terjadwal beberapa hari lagi, siang tadi tiba-tiba di majukan karena Bu Elena tiba-tiba merubah jadwalnya.             “Jam sebelas kayak nya Al. nanti saya kabari, saya jemput aja ya.” Ucap Bima. Alma hanya mengangguk. Mereka berdua sempat mengobrol beberapa saat sebelum Alma tiba di rumah nya. Dari yang Alma simpulkan dari pembicaraan mereka adalah, Bima masih kerap bertemu dengan Kirana selama beberapa kali, Bima kemarin mengirim beberapa makanan kepada Kirana, Tante Famy juga sudah bertemu dengan Kirana. lima hari yang lalu mereka makan bersama, tepat di hari di mana Alma mengutarakan kegundahannya kepada Bima. Kirana juga sudah datang ke rumah Bima lagi, kata Bima Kirana hanya bertamu, tidak lebih, seperti seorang teman. Perasaan Alma?             Mari kembalikan ke diri masing-masing, Alma cemburu hanya saja ia tidak bisa mengutarakan perasaannya kepada Bima. Alma tidak nyaman, tapi Alma tidak bisa jujur. Kirana datang lebih dulu di banding dirinya, dan Alma rasa bahwa Kirana jauh lebih berhak atas Bima di bandingkan dirinya. Alma mau protes, hanya saja hati, otak, dan lidahnya sedang tidak sinkorn. Setiap kali Alma ingin jujur tentang perasaannya, maka setiap kali juga otak nya akan mendoktrin bahwa ia bukanlah siapa-siapa bagi Bima.             “Yaudah mas, thanks ya. Kamu hati-hati. Kabarin kalau sudah sampai.” Ucap Alma, Bima mengangguk kemudian melambaikan tangannya kepada Alma. satu hal yang berubah lagi di antara mereka berdua. Iya, Bima sudah tidak pernah lagi memastikan bahwa Alma sudah masuk ke dalam rumah atau belum, akhir-akhir ini, setiap kali Bima mengantar Alma pulang, ketika Alma sudah turun dari mobil, Bima akan langsung pergi, padahal dulu Bima akan selalu menunggu disana hingga Alma benar-benar sudah masuk ke dalam rumah nya. Hal kecil, tapi Alma bisa merasakan perubahannya.             “Al… gapapa, Cuma sebentar. Lagian Mas Bima udah milih lu kok. Gak usah khawatir”  Ucap Alma kepada dirinya sendiri, ketika melihat mobil calon suaminya itu, perlahan menghilang dari pandangannya.             Alma masuk ke dalam rumahnya, kemudian mandi lalu setelahnya ia merebahkan badan di atas kasur yang empuk. Seharian bekerja membuatnya menjadi lelah sendiri, di tambah ketika pulang ia malah mendengar cerita tentang Kirana dari calon suaminya sendiri. Alma mengecek ponselnya, tidak ada pesan dari Bima, padahal biasanya Bima akan selalu berkabar ketika sudah sampai ataupun belum. Alma sadar bahwa harusnya ia bersikap biasa saja, namun semakin Alma mendengar cerita-cerita tentang Kirana, maka hati Alma juga semakin tidak bisa bersikap biasa saja. Drrrttt             Ponsel Alma bergetar, buru-buru gadis itu memeriksa pesan tersebut, dalam hati berharap bahwa si pengirim pesan itu adalah calon suaminya sendiri, Bima. IBU ELENA :           Al, mulai minggu depan, anak saya bakal join di kantor. Persiapan karena dia bakal gantiin posisi saya nanti. Tolong di ajarin ya. Arahin aja. Thanks.             Setelah membaca pesan itu, Alma langsung melempar ponselnya ke sembarang arah. Rasanya Alma sudah muak dengan berbagai macam job di luar jobdesk nya. Namun apa boleh buat, Alma masih butuh pekerjaan itu, setidaknya sampai adiknya benar-benar sembuh. *****             Hingga sabtu pagi datang, Alma dan Bima sama sekali tidak saling bertukar kabar, tidak ada yang memulai percakapan di antara keduanya, baik via telepon ataupun via chat. Keduanya seperti saling menghindar satu sama lain, padahal pada kondisinya, tidak ada masalah di antara keduanya seandainya saja, malam itu Alma tidak bersikukuh untuk mengajak Bima untuk membuat baju pengantin di tempat Kirana, mungkin sampai detik ini, mereka masih hangat saja.             “Akhirnya selesai juga. Gila ya, gue sampai niat banget gini buat dandan.” Ucap Alma sembari memandang dirinya sendiri dari pantulan cermin. Hari itu, Alma sengaja bangun lebih awal untuk mempersiapkan diri agar bisa tampil cantik menemani Bima datang ke acara keluarganya. Setidaknya Alma tidak ingin mempermalukan Bima di hadapan keluarga besar pria itu nanti.             “Semoga gak malu-maluin ya Al.” Ucap Alma kepada dirinya sendiri. Beberapa detik setelah itu ponselnya tiba-tiba berdering, menampilkan sebaris nama dari orang yang telah ia tunggu sejak tadi.             “Ya, halo mas. Udah sampai kah?”  Tanya Alma ketika telepon mereka berdua telah tersembung, Alma segera berlari ek arah jendela untuk melihat apakah Bima sudah datang atau belum, ternyata mobil pria itu belum nampak dari jendela kamarnya.             “Emm… Al.”             “Iya mas? Kenapa? Gak jadi ya? Gapapa kok. Gak usah ngerasa gak enak. Gak apa-apa kok ak-”             “Kita… kondangan barengnya lain kali aja ya? Emm, Saya udah cerita ke keluarga besar tentang Kirana, dan mereka tiba-tiba pengen Kirana datang. Katanya mereka kangen sama Kirana dan pengen ngeliat gimana Kirana sekarang. Emm… maaf ya? Kayaknya buat kondangan yang sekarang, kamu gak usah ikut dulu. Istirahat aja di rumah. Mumpung weekend Al.” Ucap Bima, seketika lutut Alma terasa lemas sendiri, melihat pantulan dirinya dari dalam cermin membuatnya merasa sakit sendiri.             “Tapi… aku udah siap kok mas, daritadi…” Rasanya sedih sekali, bahkan Alma hampir menangis karena mendengar ucapan Bima barusan. Bima sama sekali tidak menghargainya, setidaknya, kalau tahu akan tidak jadi mengaja Alma, setidaknya Bima harus memberitahu Alma sehari sebelumnya, jangan mendadak seperti ini.             “Maaf ya Al. Happy weekend.”  Ucap Bima, pria itu kemudian memutus sambungan teleponnya. Alma hanya bisa mematung, menatap layar ponselnya yang menampilkan foto dirinya sendiri.             Alma menunduk, kemudian menangis sejadi-jadi nya. Hari itu adalah hari ter sakit yang pernah Bima berikan kepadanya, ya setidaknya untuk pertama kali dalam satu tahun lebih ia kenal dengan pria itu. buru-buru Alma mengganti pakaiannya, tanpa peduli dengan make up yang sedikit kurang nyambung dengan pakaiannya. Alma keluar dari rumahnya, berjalan tanpa arah kemudian berhenti di sebuah minimarket yang bahkan Alma sendiri tidak pernah ke sana. Di depan minimarket itu, ada sebuah tenda dan beberapa meja dan juga kursi yang bisa Alma gunakan untuk duduk sembari menangis. Rasanya betul-betul sedih karena hidup nya seakan-akan telah di permainkan oleh Bima.             “Panas banget ya? Makan ramen enak nih!” Ucap seorang pria ber jaket kulit hitam, pria ber-kulit putih, dengan tinggi yang jika Alma pikir, sama tingginya dengan Bima, atau lebih tinggi beberapa centi dari calon suami nya itu. pria itu memegang sebuah cup mie, beserta segelas soda di tangannya. Kemudian duduk tepat di hadapan Alma yang sedang menangis tersedu-sedu . 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN