BAGIAN DELAPAN

1806 Kata
ALMA POV           Nikahin orang kayak Mas Bima itu, rasanya gimana sih? Kadang hangat, kadang dingin, kadang cuek kadang care banget. nano-nano banget ya nanti? Tapi Mas Bima ganteng kalau lagi marah, ganteng juga kalau bangun tidur, ganteng juga kalau bengong. Pokoknya, Mas Bima sesuatu banget deh. Ngomongin tentang Mas Bima… hari ini kami lagi ketemu sama salah satu pihak WO yang nantinya akan mengurus pernikahan kami, persiapannya cepat bukan? Bukan Mas Bima namanya kalau lambat.             “Ini, bisa di gabung gak sama catering nya? Ibu saya pengen instan-instant aja.” Ucap Mas Bima sambil membolak-balik majalah di hadapannya. Sementara aku? Aku hanya diam seribu bahasa, mengamati kedua orang di hadapanku ini yang sedang membicarakan mengenai konsep pernikahan ku bersama Mas Bima.             “Bisa kok mas, nanti di koordinasikan aja.” Jawab wanita yang merupakan pihak dari WO yang nanti akan mengurus pernikahan kami.             “Kalau gubukannya, kamu aja Al yang pilih.” Ucap Mas Al kepadaku, kali ini, ia meminta ku untuk memilih gubukan di pernikahan kami nanti. Kalian tahu kan maksud dari kata Gubukan ? itu loh, stand makanan-makanan ringan yang jadi cemilan di acara-acara nikahan. Di saat Mas Bima nyuruh aku buat milih bagian gubukannya, aku milih aja yang aku suka, tapi langsung di koreksi sama Mas Bima.             “McD aja, aku suka McD.”             “Kok Cuma satu? Banyak aja.”             “Yaudah kamu aja, terserah.”             “Mbak, Starbucks, Chatime, McD, Sushi Tei, KFC, D’Crepes, tolong di pesenin buat acara nanti, buat seribu tamu.” Ucap Mas Bima yang seketika sukses membuatku melongo. Sial, calon suami ku ini se-kaya apa sih? Aku masih belum berhenti terheran-heran bahkan di saat meeting kami sudah selesai. Mas Bima Cuma pegawai kantoran biasa, sama kayak aku, ya walaupun jam terbangnya udah banyak sih, tapi kan… harusnya gak se-kaya itu.             “Kamu milih gubukannya banyak banget, ini kita bayarnya gimana?” Tanya ku kepada Mas Bima. Dia hanya diam, menatap lurus ke depan, menatap koridor Mall yang kami lewati. Fokus banget, padahal lagi sepi, gak bakal nabrak orang kali kalau ngobrol sama aku.             “Tenang aja.” Jawab nya dengan santai, bukan itu jawaban yang aku mau.             “Aku gak ada duit banyak.” Jawab ku jujur, memang, tabungan ku hanya sedikit, di tambah sebagian besarnya untuk pengobatan adik ku, gaji pertama ku bahkan belum keluar dan mana mungkin seluruh tabunganku akan ku pakai untuk acara pernikahan?             “Alma… saya kan gak pernah minta kamu buat ikutan bayar? Kita nikah, Saya yang bakal jadi kepala rumah tangga kamu, Saya yang tanggung dari A sampai Z nya, kamu duduk diem doang, gak usah pikirin masalah biaya.” Jawab Mas Bima sembari mengacak rambutku, sembari tersenyum. tunggu sebentar… barusan dia tersenyum kepadaku? Apakah dia sehat?             Aku bahkan sampai mematung di buatnya, aku tidak banyak bicara di depan Mas Bima bahkan sampai kami berdua tiba di Apartement lama milik nya Mas Bima. Kami tidak ke rumah orang tua Mas Bima, karena sedang ada renovasi menjelang pernikahan ku dengan dia. Di Apartement sudah terdapat Mba Viola, kakak pertama Mas Bima yang udah nunggu kami daritadi, Mba Vio baru aja datang dari Surabaya. Kami berdua sudah sempat berkenalan kala itu melalui video call. Mba Violet sudah menikah, dan punya anak. Yang aku tahu suaminya seorang pengusaha dan Mba Violet adalah seorang dokter. Sempurna.             Sesampainya di sana Mba Vio langsung menyambutku dengan hangat, rencananya hari ini kami akan masak-masak bersama, merayakan kedatangan Mba Vio. Mba Vio ini baru pulang selama satu tahun lamanya. Sehingga aku baru bisa ketemu langsung dengan Mba Vio, padahal aku sama Mas Bima udah kenal setahun lebih.             “Seneng loh aku, akhirnya Bima mau nikah.” Ucap Mba Vio sembari memasukan Pizza yang tadi aku beli bersama Mas Bima ke dalam Microwave agar kembali hangat. Anaknya, Biru, sedang bermain bersama Mas Bima dan juga ayah nya di depan.             “Heheh iya mba itu ju-”             “Kata ibu, keciduk ya?” Mba Vio bertanya dengan polos kepadaku sementara aku hanya bisa tersenyum kikuk. Ternyata kabar mengenai aku dan Mas Bima yang terciduk tidur bersama sudah menyebar di keluarga Mas Bima.             “Sebenarnya ga ngapa-ngapain mba.” Jawab ku membela diri, Mba Vio tertawa.             “Ya ngapa-ngapain juga gapapa.” Jawab nya sembari meledekku, kami teruskan obrolan kami sesekali dengan sebuah candaan, Mba Vio orangnya lucu, gak seperti Mas Bima, seram.             Setelah menyiapkan makanan akhirnya kami semua berkumpul untuk makan, dan sekaligus mengobrol. Mba Vio dan suaminya Mas Teo orangnya seru, jauh dari apa yang aku pikirkan tentang mereka selama ini, aku bahkan dengan cepat di buat nyaman oleh mereka, dan untuk kali pertama, aku melihat Mas Bima tertawa terpingkal-pingkal akibat lawakan kakak nya sendiri, Mas Bima ini, ganteng banget kalau aja gak kaku kayak kanebo kering.             “Ya bagus itu, Gubukannya di banyakin. Heh loh, dulu mba lebih banyak malah tamu nya hampir ga kebagian, kalau bisa tambahin porsinya, jangan di pas-in. jangan malu-maluin ya, jangan kayak nikahanku dulu” Ucap Mba Vio sembari menceramahi kami berdua, kami berdua hanya bisa mengangguk-angguk mendengarkan celotehan Mba Vio yang tanpa henti.             “Yowes lah. Tak balik dulu ke rumah ibu, ibu udah di rumah katanya.” Ucap Mba Vio sembari membereskan barang-barang anaknya, kemudian pamit, meninggalkan aku dan Mas Bima berduaan di Apartement, beberapa detik setelah Mba Vio menutup pintu, Mas Bima langsung menjatuhkan kepalanya pada paha ku, ia terlihat memejamkan mata sembari menaruh tangan ku di atas jidat nya. Jujur… Kaget banget. Tapi yaudah mau gimana lagi.             “Ada masalah ta mas?” Tanya ku kepada Mas Bima, ia hanya menggeleng tanpa bersuara.             “Ada ya? Ada nih pasti gak mau cerita.” Ucapku sembari menatapnya.             “Tau gak, Mba Raline, minta sama mama nikahannya di mundurin 6 bulan lagi, soalnya dia udah terlanjur nge iya in ajakan temennya buat trip ke beberapa negara pas bulan kita nikah, Saya sama Mba Raline sempat debat sih semalem, katanya dia gak mau dateng, sedih aja, padahal harusnya kan dia bisa, kalau dia bilang ke temennya juga pasti temennya ga bakal marah, gak tau sih, kayaknya Bina sama Tari juga belum pasti bisa dateng.” Bina, dan Tari adalah adik Mas Bima, keduanya sedang berkuliah satu di jepang, dan yang satunya lagi di amsterdam.             “Jadi gimana mas?” Tanyaku dengan pelan.             “Gak tau.”             “Yaudah mundurin aja gapapa. Harusnya, kita juga ngertiin saudara-saudara kamu, gak langsung maju aja tanpa diskusi sama mereka. Lagian kamu ini keluarga nya ada banyak, emang salah kita sih di awal.” Ucapku sembari menatap kosong televisi di hadapanku. Mas Bima kemudian bangun , lalu menatap ku dengan tatapan tajam.             “You don’t know them Al, mereka bakal egois dengan urusan mereka masing-masing. Kalau minta saran sama mereka, kita nikahnya bisa lima tahun lagi, ibu aja yang nyuruh mereka pulang dari negara-negara mereka, kadang suka sampai capek, nunggu mereka balik, padahal mereka lagi gak ada kerjaan di sana, mereka Cuma pentingin diri mereka sendiri, mereka kadang lebih milih temen-temen mereka di banding keluarga,mereka egois, asal kamu tau itu.”             Kami lalu terdiam cukup lama, kami tenggelam dalam pikiran kami selama beberapa waktu. Mas Bima berdiri di balkon menatap indah Jakarta dari sudut itu, sementara aku menatap kosong televisi yang belum sempat kami matikan. Aku tahu bahwa ini bukan saatnya bagi kami untuk bertengkar, walaupun pernikahan kami tidak di landasi oleh cinta, entah mengapa, aku malah jadi serius mempersiapkan segalanya.             Aku segera berdiri, berjalan menuju pantry untuk mengambil segelas air dingin untuk Mas Bima. “Sorry… aku masih terlalu asing untuk keluarga kamu.” Ucap ku kepada Mas Bima, tepat di telinganya, ia mengangguk, kemudian tersenyum, mengelus pucuk kepalaku lalu masuk ke dalam , tentu, aku mengikut di belakangnya.             Mas Bima masih diam, ia terlihat begitu bingung. Jadi aku berinisiatif untuk mendekatinya, biasanya jika aku sedih, ibu selalu mengelus rambutku dengan hangat, jadi aku lakukan hal seperti itu kepada Mas Bima. Aku mengelus rambutnya, kemudian memeluk Mas Bima dari samping.             “its okay, gapapa kok kalau mau sedih.” Ucap ku kepada Mas Bima, tanganku mengusap rambutnya sayang. Berharap yang aku lakukan dapat mengurangi rasa sedih nya. Mas Bima tersenyum, kemudian mengangguk, ia menarikku ke dalam pangkuannya sehingga kami berdua bisa saling menatap satu sama lain dalam jarak yang begitu dekat seperti sekarang, aku bahkan bisa merasakan deru napas Mas Bima di permukaan kulit ku. AUTHOR POV           “Maaf ya… tadi saya keras sama kamu, padahal bukan salah kamu tapi saya meluapkan emosi saya sama kamu…” Bisik Bima di telinga Alma. Gadis itu tersenyum kemudian berusaha berdiri dari pangkuan Bima, namun gagal karena Bima menarik Alma kembali untuk duduk di pangkuannya. “Kamu nyebelin tau mas.” Jawab Alma dengan wajah yang cemberut, Bima tertawa melihatnya.             Alih-alih menjawab ucapan Alma, Bima menarik Alma lebih dekat dengan dirinya, menatap kedua bola mata calon istrinya itu lekat-lekat. Tanpa sadar, bibir mereka berdua sudah menyatu, Bima memberikan kecupan lembut di bibir Alma. Cukup lama sebelum Bima melepas kaitan bibir mereka sesaat, menatap lekat-lekat wajah calon istrinya yang sedang tersenyum manis menatapnya.             Bibir Alma refleks terbuka memberikan ruang lebih kepada calon suaminya, nafas mereka terdengar semakin menderu, tangan Alma sudah berpindah yang tadinya menggelantung bebas, kini sudah berpindah meraih tengkuk Bima, ciuman mereka semakin dalam.             Bima juga semakin jauh, kini arah kecupannya sudah mengarah ke leher jenjang milik calon istrinya itu, seketika Alma memiringkan kepalanya memberikan ruang kepada Bima untuk melanjutkan apa yang pria itu lakukan. Sesekali Alma menggigit bibirnya agar tidak mengeluarkan suara ribut yang akan mengundang tanda tanya dari tetangga kamar Bima. Tangan Bima kemudian perlahan melepas kancing kemeja Alma, menghilangkan jarak antara dirinya dan juga gadis itu.             “Mas…” Ucap Alma tanpa sengaja ketika Alma merasakan tangan Bima menyentuh permukaan kulitnya dengan dingin. Mendapat lampu hijau, Bima langsung melepas kemejanya, memposisikan Alma agar terbaring di atas sofa, perbedaan ukuran tubuh keduanya membuat tubuh Alma hampir tidak terlihat jika berada di bawah tubuh Bima. Alma menggigit bibirnya, ketika mata mereka berdua saling bertemu, menatap satu sama lain . tangan Alma bahkan dapat merasakan seberapa bidang d**a calon suaminya itu saat ini.             “I love you…” Bisik Bima pelan, tepat di telinga Alma. setelah itu, mereka kembali melanjutkan apa yang sempat tertunda, kali ini lebih kuat dari yang sebelum-sebelumnya,, membuat mereka semakin banyak saling menyentuh area kulit mereka masing-masing. Kemeja yang Alma kenakan sudah terlepas, entah di lempar kemana oleh Bima. Bibir mereka kembali saling bertemu, bersamaan dengan tangan Bima yang sedang meraba punggung calon istrinya itu, mencari sesuatu yang akan ia lepas.             Di saat kain terakhir di badan Alma sudah terlepas, ponsel milik Bima berdering, bergetar berkali-kali hingga hampir terjatuh dari atas Meja. Sebuah panggilan masuk di waktu yang salah, keduanya saling bertatapan satu sama lain, kemudian Bima meraih ponselnya.             “Al… Ibu.” Ucap Bima, sembari mengangkat ponselnya, memperlihatkan nama yang tertera di layar benda persegi empat itu kepada Alma.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN