Alma memijat kening nya yang terasa begitu pusing. Bagaimana mungkin ia bisa menikah dengan Bima sementara pria itu tidak memiliki perasaan apa-apa terhadap Alma. Alma memikirkan dirinya sendiri hingga berkali-kali hampir keliru melaksanakan pekerjaannya. Bahkan hingga jam pulang kantor pun, di bus, Alma hampir melewati halte tempat dimana ia harus turun hanya karena ia terus-terusan memikirkan mengenai rencana pernikahannya bersama Bima.
“Luarbiasa banget hidup gue.” Ucap Alma kepada dirinya sendiri sembari menatap dirinya dari pantulan cermin kamar mandi. Rasanya Alma tidak punya kendali atas dirinya sendiri, padahal itu adalah hidup Alma, dan seharusnya Alma bisa menolak, atau paling tidak Alma bisa kabur, tapi Alma tidak bisa melakukan itu semua.
Alma keluar dari kamar mandi sembari mengecek ponselnya yang sempat berdering beberapa kali, memeriksa pesan-pesan singkat yang di kirim oleh Bima untuknya, pesan-pesan singkat konyol yang berisi ajakan makan malam keluarga, atau lebih konyol nya lagi Bima sudah mengajak Alma untuk bertemu dengan beberapa orang dari berbagai WO untuk memilik WO mana yang akan mereka pakai untuk pernikahan mereka nanti.
“Mau nikah tapi takut di unboxing…” Ucap Alma sembari menjatuhkan dirinya ke atas kasur tanpa membalas pesan-pesan singkat yang ia terima dari Bima, hari itu terlalu berat untuk Alma hingga ia lebih mudah untuk tidur, kepala nya yang terasa sangat pusing sungguh sangat mendukung agar Alma dapat memejamkan matanya lebih cepat.
*****
Sabtu pertama Alma sebagai b***k koorporat di kantor barunya, Sabtu dimana Alma seharusnya bersantai di rumah atau paling tidak menjenguk adiknya di rumah sakit, namun sekarang? Alma sedang duduk manis di rumah bude dan pakde nya. Tentu saja bersama Bima. Kalian sudah bisa tebak, apa yang mereka berdua lakukan di sana.
“Oalah… syukur nduk, bude seneng banget dengernya, bagus kalau udah mau nikah. Bude loh kaget banget… tapi sekaligus senang juga, seenggaknya bude udah bisa ngelaksanain pesan almarhumah ibu mu, untuk lihat kamu menikah.” Bude Ranti, saudara perempuan dari almarhumah ibu Alma. Satu-satunya keluarga yang saat ini Alma punya selain adik nya sendiri.
“Boleh bude?” Tanya Alma lagi, ia memastikan bahwa ia sedang tidak salah dengar. Padahal sejak di perjalanan tadi, ia pikir, ia akan terhalang restu, karena bude nya ini adalah tipikal yang sangat pemilih. Terbukti dari sudah seberapa banyak laki-laki yang pernah datang melamar Alma, dari polisi hingga pengusaha, ia tolak semua. Tapi kenapa Bima langsung di terima?
“Iya kenapa ndak? Toh umur kamu sudah mateng juga. Pakde sama Bude Cuma bisa dukung kamu, bude ndak bisa bantu banyak, kamu tau kan keuangan bude sama pakde gimana. Tapi bude sama pakde sudah punya tabungan untuk nikahan kamu, sedikit , tapi semoga bisa kamu manfaatkan.” Mendengar hal tersebut, Alma jadi terharu, bude nya sudah seperti ibu untuk nya.
“Loh… bude gak usah, gapapa kok, uang nya bude pakai aja. Alma punya uang kok bude, yang penting bude sama pakde datang aja. Ramaiin nikahan Alma, kalau mau undang kerabat bude sama pakde, juga bisa kok.” Jawab Alma. Lama mereka berbincang sehingga mereka sudah memutuskan kapan tanggal pertunangan mereka, sekaligus juga nanti akan menentukan tanggal pernikahan di acara pertunangan nanti. Setelah itu Alma dan juga Bima segera pamit untuk pulang ke kota, karena libur mereka hanya tersisa satu hari lagi.
“Aku masih penasaran deh mas, kita malam itu emang beneran anu gak sih? Kalau gak ngapa-ngapain gimana?” Tanya Alma. Memang di kepalanya saat ini sedang penuh pikiran, apakah malam itu dia dan juga Bima melakukan hubungan suami istri atau tidak. Jika tidak maka Alma dengan cepat akan menghentikan rencana pernikahan konyol itu.
“Atau… kita ke hotel aja? Minta rekaman cctv nya? Siapa tau di kamar ada kamera cctv yang gak kita tau kan? Buat mastiin?” Ucap Alma lagi.
“Kalau beneran ngelakuin gimana? Kita jadi nonton blue film versi kita dong?” Celetuk Bima yang sukses mendapat cubitan keras di lengannya.
“Mas, aku belum mau nikah!” Ucap Alma dengan suara yang sedikit meninggi setengah frustasi.
“Kamu udah mateng, saya apalagi. Kamu kenapa gak mau banget nikah sama saya? Kamu jijik sama saya?” Tanya Bima sembari sesekali menatap Alma.
Alma tidak menjawab, ia lebih memilih untuk diam di banding menjawab pertanyaan pria yang berstatus sebagai calon suami nya itu. ia masih tidak menyangka bahwa pertemuannya dengan Bima di bar kala itu membawanya menjadi calon istri Bima saat ini. Rasanya ia masih tidak menyangka. Bima memang menarik di mata Alma, namun berpikir bahwa Bima juga tertarik kepadanya sama sekali tidak pernah Alma pikirkan sebelumnya, Bima terlalu dingin untuknya, namun terkadang juga Bima dapat menjadi sosok yang hangat kepada Alma.
Entah apa yang ada di dalam pikiran Bima sehingga ia mantap memilih Alma sebagai calon istrinya, jauh sebelum ia dan Alma kedapatan tidur bersama di sebuah kamar hotel sesaat setelah acara keluarga Bima selesai, Bima sudah jauh lebih dulu berpikir bahwa ia akan menikahi Alma, bahkan tanpa tidur dengan Alma pun, Bima sudah memantapkan hatinya untuk gadis itu. kalau di tanya alasannya kenapa harus Alma padahal banyak gadis lain yang jauh lebih cantik daripada Alma di luar sana? Jawabannya sederhana, karena orang tua nya suka sama Alma. Sesederhana itu, Bima sayang dengan orang tua nya, maka dari itu, apapun yang orang tuanya minta, apapun yang orang tua nya suka, asalkan Bima mampu,Bima akan mewujudkannya.
“Al, jangan lupa besok saya jemput kamu ya. Kita ketemu sama orang WO.” Ucap Bima sesaat sebelum Alma turun dari mobil pria itu. Alma membalasnya hanya dengan sebuah acungan jempol, kemudian melambaikan tangannya kepada sang calon suami sembari berjalan mundur memasuki halaman rumah. Sementara itu Bima hanya terdiam menatap sosok Alma yang semakin lama hilang bersamaan dengan pintu pagar yang tertutup. Ketika sudah memastikan bahwa Alma sudah masuk ke dalam rumahnya, barulah Bima tancap gas untuk pulang ke rumah. Bima memang selalu seperti itu ketika mengantar Alma pulang, ia tidak akan pergi sebelum Alma betul-betul sudah masuk ke dalam rumahnya.
*****
Bima menatap langit-langit kamarnya yang bernuansa putih, rasanya cukup lelah setelah menyetir mobil selama empat jam bolak-balik dari kota ke kampung keluarga Alma. Tapi rasanya terbayarkan ketika niat baiknya tidak menerima penolakan dari keluarga sang calon istri. Bima senang, padahal harusnya ia merasa biasa saja karena toh, ia juga tidak memiliki perasaan apa-apa terhadap Alma.