Hari-hari selanjutnya, Jorgi selalu mengekori Avalon. Kalau dia sedang tidak ada pemotretan atau syuting, dia pasti nongkrong di rumah Satya dan bertanya banyak hal pada Avalon dan Sheeva.
Mereka berdua menjawab seperlunya. Mereka juga perlu menjaga privasi dari makhluk bernama manusia.
Dan satu hal yang diketahui Jorgi, kalau Minami bisa berubah menjadi pena bulu kalau bersin. Lalu berubah lagi jadi Minami kalau dicium.
Jorgi mengincar saat Minami menjadi pena bulu untuk menciumnya. Jorgi pikir, siapa yang mencium Minami, dia yang akan menjadi tuan penyihir itu.
“Minamii! Makanannn!” teriak Jorgi di depan pintu rumah Satya. Minami menghambur keluar dengan gembira.
“Tuanku Jorgi selalu datang kalau Tuan Satya sedang tidak ada. Apa Tuanku punya maksud buruk sama Minami?” tanyanya polos sambil mengambil kantong-kantong dari tangan Jorgi.
Lelaki itu cuma nyengir salah tingkah sambil menggaruk kepalanya yang gatal mendadak.
“Dia menunggu kesempatan untuk menciummu. Masa begitu saja kamu nggak tau,” kata Avalon sinis.
Minami melepaskan pegangannya dari kantong berisi makanan hingga kantong itu jatuh begitu saja ke lantai.
“Pantas dari kemarin tuanku Jorgi membawakan Minami beraneka macam es. Tuanku ingin Minami pilek? Terus bersin-bersin? Asal tuanku paham saja, Minami nggak bisa kena flu. Tubuh Minami terlalu kebal untuk dihinggapi penyakit seperti itu.”
“Kamu pikir tubuh kamu lalat?”
“Tuanku Avalon jangan mengejek Minami terus!” Mulut Minami mengerucut.
Bagi Minami, Avalon tak ubahnya seorang kakak. Dulu waktu pertama kali Minami bertemu Avalon, lelaki itu baru saja patah hati. Dan Avalon minta dicium untuk melupakan rasa sakit hatinya dan juga kenangannya tentang putri yang berambut keemasan itu.
Namun Minami menolak. Bagi Minami, kenangan tentang orang yang dicintai nggak boleh hilang begitu saja. Kenangan itu akan membuat hidup kita ke depannya menjadi penuh warna dan karena rasa sakit hati karena cinta bisa membuat kita semakin kuat. Maka Minami meminta Avalon bertahan dengan rasa sakitnya.
Alih-alih membuat Avalon melupakan kenangannya, Minami malah mengekori Avalon dan memaksanya untuk menjadikan dia permaisuri. Alasannya sederhana. Minami tak ingin hidup sengsara dan dia ingin hidup di istana yang banyak makanan.
Avalon pun setuju mengajak Minami ke istana. Bukan karena dia mau menjadikan Minami permaisuri, tapi karena dia nggak tahan dipukuli terus sama Minami yang merengek minta diajak ke istana.
“Tuanku Avalon tidak pernah mengejek Nona Minami. Dia hanya menggoda.” Sebagai pelayan setia Sheeva nggak rela tuannya dimarahi oleh Minami.
“Sudahlah, tak apa Sheeva. Kamu tau sejak dulu sifat Minami memang begitu.”
Sheeva menundukkan tubuhnya dan kembali pada posisi siaganya di sudut ruangan.
“Kalian bikin aku terpana. Bagaimana sebenarnya negeri kalian itu. Apa kalian bisa membawa aku ke sana?” tanya Jorgi.
“Membawa kamu? Meski aku bersedia pun, aku nggak yakin tubuh kamu sanggup melintasi pintu dimensi. Kami punya kemampuan sihir yang melindungi, kamu punya apa?”
“Masa tak ada cara untuk membawaku ke sana?”
Avalon terdiam. Kalau kemampuan sihirnya pulih, dia sanggup membuat tameng untuk melindungi makhluk lemah dan melintasi pintu dimensi. Tapi dia cuma selemah manusia biasa sekarang.
“Aku bukan tur guide yang bisa membawamu berwisata ke negara kami. Nggak usah mimpi. Kalau kamu minta macam-macam, aku minta Minami menciummu!”
Langsung Minami menutup mulutnya. Setelah merasakan bibir Satya, Minami tak ingin merasakan bibir yang lain.
Jorgi tak tersinggung. Bisa bergabung dan diterima baik oleh lingkungan Avalon saja sudah membuat dia bahagia. Dengan senang hati bahkan dia menawarkan diri menjadi pelayan Avalon.
“Apa Tuan Avalon kerasan tinggal di gubuk seperti ini? Kenapa nggak pindah saja ke apartemenku yang lebih luas dan nyaman?” Jorgi menawarkan.
“Ide bagus! Jadi kalian nggak akan mengganggu keromantisan Minami dengan Tuan Satya!”
“Dasar penyihir mesuum!” omel Avalon. Diliriknya Jorgi yang menunggu jawaban Avalon. “Seindah apa rumahmu itu? Kamu tau, toilet kuda di istanaku jauh lebih bagus dari rumah Satya ini.”
“Setidaknya tuanku bakal punya kamar sendiri dengan ranjang sendiri. Nggak harus tidur di ruang tengah seperti sekarang.”
Avalon terdiam sejenak. “Ide bagus. Aku juga sudah tidak tahan dengan nyamuk di rumah ini. Lihat kulit mulusku jadi bentol-bentol,” tunjuk Avalon pada kulitnya yang merah-merah.
“Tuan! Maafkan Sheeva yang membuat kulit Tuan jadi tak sehalus kulit bayi lagi. Akan Sheeva buatkan ramuan untuk menghilangkannya.”
“Jangan khawatir. Di apartemenku, jangankan nyamuk, debu pun tak kuizinkan untuk hinggap.”
Avalon memutar bola matanya. “Ada apa dengan kalian, suka sekali disamakan dengan lalat!”
***
Sore itu Satya masuk rumah dengan perasaan aneh. Rumah yang biasanya sesak dengan perabot buatan Sheeva mendadak lengang. Suasananya kembali pada rumah Satya yang dulu. Perabotan seadanya dan juga biasa saja.
“Minami? Minami! Kamu di mana?” panggil Satya pada penyihir kesayangannya. Biasanya penyihir itu sudah menunggunya di pintu untuk minta makan.
Satya masuk ke dalam kamar tapi tak ada Minami di sana. Di dapur dan kamar mandi juga tak ada. Satya khawatir Minami berubah menjadi pena bulu. Tapi kalau itu terjadi, biasanya Avalon atau Sheeva akan meletakan Minami di kasur. Mereka cukup menghargai kalau Minami hanya ingin dicium Satya saja.
“Sial! Kemana penyihir satu itu? Apa dia jalan-jalan keluar? Sudah kubilang jangan sampai dia keluar dulu. Kalau kena debu terus bersin, gimana?” Satya bersiap keluar rumah untuk menyusuri jalanan mencari Minami.
Namun baru saja dia mengenakan sandalnya, ponselnya berbunyi.
Panggilan dari Jorgi.
“Satyaaaa! Tolong bawa Minami pergi dari apartemenku! Sebelum dia menghabiskan isi kulkas!” seru Jorgi dari seberang ponsel.
“Kenapa Minami bisa ada di apartemenmu? Kamu nyulik dia ya?”
“Dia yang minta ikut ke sini. Aku cuma mengajak Avalon dan Sheeva tinggal di apartemen aku yang kosong. Nggak tega aku liat seorang pangeran tinggal di rumah bobrok!”
“Apa kamu bilang? Rumahku bobrok? Bobrok juga kamu sering numpang makan di sini!” gerutu Satya kesal. “Kasih alamatmu, biar aku jemput Minami pulang!”
Jorgi pun memberi tahu alamatnya dan mengirim lokasinya ke wa Satya.
Meski lelah, Satya tak rela kalau Minami dibiarkan terlalu lama di tempat Jorgi. Pikirnya lebih baik kalau Avalon dan Sheeva menyingkir dari rumahnya. Kehidupan damainya akan segera kembali.
“Tuan Satya!!! Minami laparrr!!!” seru Minami begitu dia diminta membuka pintu.
“Masih juga bisa bilang lapar? Padahal sudah hampir satu kulkas kamu makan. Heran, ditaro di mana makanan sebanyak itu di perutmu, Minami?” gerutu Jorgi.
Namun Minami tak peduli karena dia sudah sibuk menciumi bibir Satya dengan napsunya.
“Eugh, apa kalian nggak bisa melakukannya dengan lebih sopan? Nggak perlu pamer kemesraan kayak gini?” tanya Jorgi kesal. Dia iri sama Satya. Sebagai perempuan, Minami punya body goal yang bikin lelaki mana saja menelan ludah.
Satya nggak bisa menjawab pertanyaan Jorgi, karena setelah Minami melepaskan bibirnya, dia menjadi linglung tiba-tiba.
Minami membimbing Satya duduk di sofa dan hendak menyiapkan makanan untuk memulihkan energi Satya.
Baru saja Minami beranjak, tiba-tiba Satya bersujud di atas sofa dengan tangan menutupi kedua telinganya.
“Matikan! Matikan musik itu! Matikan!” teriaknya.
Semua orang yang ada di ruangan bingung menatap tingkah Satya.
“Musik apa?” tanya Jorgi heran. Dia nggak sedang menyetel musik apa-apa. Bahkan siaran TV pun bukan siaran musik.
Namun dilihatnya Avalon menempelkan telunjuk ke bibir. Jorgi pun mengambil remote untuk mematikan TV. Lalu suara musik itu pun terdengar di antara erangan kesakitan Satya yang masih menutup telinga.
Samar-samar, suara musik rock terdengar di kejauhan. Jorgi berjalan ke arah jendela apartemen yang sedikit terbuka.
“Ada konser musik di lapangan sebelah sana,” tunjuk Jorgi dengan dagunya.
“Musik sihir,” gumam Sheeva. Dia memandang Satya, heran dengan telinga pemuda itu yang dinilainya lebih peka untuk mendengar nada-nada yang tak biasa.