Ayah Gressa menatp pada jam dinding yang ada di dalam kamar Gressa yang sudah menunjukan pukul dua belas malam. Semua orang di dalam rumah ini sudah istirahat, dan sudah tidak ada berkeliaran lagi. Ia sudah merencanakan dengan baik untuk lewat di lubang kecil yang ada di pagar rumah ini, yang semula ditutupi pakai tumpukan kayu. Namun dia sudah memindahkan kayu itu. Sehingga mereka bisa untuk pergi sekarang.
“Gressa. Gressa. Gressa! Bangun! Kita harus pergi sekarang.” Ayah menggoyangkan lengan Gressa untuk bangun.
Perlahan mata Gressa terbuka dan matanya menatap pada ayahnya yang sudah membawa dua tas di tangannya. Lalu memberikan baju tebal untuk Gressa kenakan.
“Kamu pakai ini cepat. Kita harus segera pergi dari sini.” Ucap Ayah diangguki oleh Gressa yang segera memakai pakaian tebal yang diberikan oleh ayahnya barusan.
Gressa menatap pada ayahnya yang membuka pintu kamarnya perlahan. Lalu menatap ke semua ruangan yang ada di dalam rumah.
“Aman! Ayah sudah lama kerja di sini. Jadi Ayah sudah tahu kalau jam segini itu, memang tidak ada yang berkeliaran lagi. Dan semuanya sudah pergi. Kita bisa pergi dari sini sekarang. Ayah tidak mau kamu hidup menderita Nak.”
Ayah mana yang mau anak perempuannya menderita di dalam sebuah pernikahan. Tentu saja dia tidak mau itu terjadi. Ayah rela untuk menanggung resiko agar anaknya bisa lepas dan bebas dalam memilih siapa yang mau dinikahi olehnya bukan karena sebuah paksaan dan ancaman.
“Kamu tetap jalan di belakang Ayah. Kamu jangan berisik, nanti ada yang dengar kalau kita mau kabur.” Ucap Ayah yang diangguki oleh Gressa.
Gressa memegang erat ujung bajunya, lalu dia menatap pada rumah yang remang-remang. Gressa tidak pernah keluar malam hari dari dalam kamarnya. Setelah jam kerja di rumah ini selesai, maka Gressa masuk ke dalam kamar dan langsung tidur mengistirahatkan dirinya.
Ayah membuka pintu belakang rumah begitu pelan agar tidak menimbulkan bunyi, yang membuat orang sadar kalau mereka pergi dari sini. Jantung Ayah rasanya berdetak begitu kencang, karena dia pertama kalinya mencoba untuk kabur dari sini. Jangan sampai dirinya ketahuan. Harus bisa untuk kabur.
“Gressa! Kamu masuk dulu ke dalam.” Ucap Ayah, setelah sampai di lubang yang dia maksud. Pagar di belakang rumah juga dikunci. Dan kuncinya yang dipegang oleh kepala penjaga di sini. Ia tidak bisa mendapatkan kunci pagar itu.
Masih untung ada lubang di pagar ini. Sehingga dia bisa membawa anaknya untuk kabur dari sini.
Gressa masuk ke dalam lubang setelah Ayah melemparkan dua tas mereka keluar. Gressa sudah ada di luar pekarangan rumah. Ia melihat ayahnya yang juga keluar. Gressa tersenyum pada ayahnya yang sudah berhasil keluar.
Keduanya berjalan menjauh dari rumah yang selama ini menjadi tempat mereka bekerja. Gressa melihat ke belakang. Menarik napas perlahan dan melepaskannya perlahan. Mudahan apa yang dikatakan oleh ayahnya memang benar. Tuan Muda Steven, tidak mencari dirinya dan memilih untuk mencari wanita lain dinikahi olehnya.
“Gressa! Ayo, cepat. Kau jangan melihat ke sana lagi. Kalau kita masih di sini. Nanti kita ketahuan. Pakai topimu dan ikat rambutmu. Ayah tidak mau kau terlihat seperti perempuan, yang nanti malah membuatmu dalam bahaya.”
Gressa mengangguk, memakai topinya dan bajunya yang longgar dan memakai baju tebal lelaki. Membuat dirinya tidak terlihat seperti perempuan. Ia berjalan berdampingan dengan ayahnya yang terburu-buru pergi dari sini.
“Gressa, masuk Nak. Kita harus cepat pergi dari sini. Jam empat nanti, tiket menuju ke Kampung Bibi kamu.”
Gressa menatap bingung pada mobil yang sudah menunggu mereka diujung kompleks. Tidak tahu kapan ayahnya menyiapkan semuanya. Tapi ayahnya memang begitu niat sekali menyiapkan semuyanya. Padahal Gressa berpikir mereka akan jalan kaki menuju ke stasiun.
“Yah, kapan Ayah siapkan semuanya?” tanya Gressa sudah masuk ke dalam mobil.
“Waktu kamu keluar bersama Tuan Muda. Ayah tidak mau kamu menderita dalam pernikahan yang hanya bisa memanfaatkan dirimu. Kamu itu satu-satunya putri ayah yang ayah sayangi. Kamu harus menikah dalam kebahagiaan tanpa paksaan.” Jawab Ayah.
Gressa menangis memeluk ayahnya. Gressa tidak bisa membayangkan kalau dirinya jadi menikah dengan Duda yang sudah tiga kali menikah, dan terlibat skandal dalam pernikahannya yang membuat dia dimanfaatkan untuk menghilangkan skandal itu dan melahirkan pewaris untuk Tuan Muda Steven.
“Ayah terima kasih. Sudah begitu sayang sekali pada Gressa, yang masih belum bisa menjadi anak yang membanggakan Ayah,”
Ayah mengelus rambut Gressa penuh kasih sayang. Ia tertawa kecil mendengar apa yang dikatakan oleh putrinya padanya. Rasa haru menyeruak di dalam hatinya. “Kau sudah membanggakan Ayah. Jangan nangis lagi. Nanti saat di sana, kamu bisa untuk buka usaha kecil-kecil.” Ucap Ayah diangguki oleh Gressa.
Keduanya turun dari dalam mobil, lalu berjalan masuk ke dalam stasiun. Ayah menggenggam tangan Gressa lembut, tidak melepaskan tangan putrinya itu. Matanya menatap Gressa yang tampak mengantuk.
“Masin jam tiga malam. Kamu bisa tidur satu jam. Sebelum kereta menuju kampung halaman Bibi kamu pergi. Kepala kamu sender sama Ayah. Nanti Ayah bangunkan,” ucap Ayah diangguki oleh Gressa, menyandarkan kepalanya di pundak Ayah.
Matanya perlahan terpejam dan langsung tidur. Lelaki paruh baya itu melihat putrinya yang sudah tidur, ia mengusap rambut putrinya lembut.
“Kamu harus bahagia Gressa. Ayah tidak bisa membuat kamu bahagia dengan keadaan kita yang tidak memiliki apapun. Tapi, Ayah tidak mau kamu menderita dalam pernikahan yang tidak seharusnya kamu terlibat di dalamnya. Mereka memang keluarga kaya, yang bisa memberikan segalanya pada kamu soal barang dan harta melimpah. Tapi kebahagiaan tidak bisa dibeli dengan uang.” Elusan tangan lelaki yang begitu rapuh dan pekerja keras itu, terus mengusap rambut anaknya lembut.
Tidak mau anaknya terusik dengan suara di stasiun, yang lumayan banyak orang di dalam sini. Menunggu keberangkatan kereta mereka.
***
Steven yang berdiri di balkon kamarnya, sambil memasukkan tangannya ke dalam saku celana. Segelas vodka di tangan kanannya, membuat lelaki itu menyeringai lalu tertawa sinis. Steven meminum vodka dengan tenang.
“Hem… miskin yang begitu pemberani sekali.” Steven menyesap seluruh vodka itu, lalu masuk ke dalam kamarnya. Membaringkan tubuhnya, dan memejamkan mata begitu tenang. Senyuman sinis masih tercetak di bibir lelaki itu. Membayangkan apa yang dilakukan oleh dua orang miskin yang begitu berani sekali untuk bermain dan kabur dari sini.
Hmmm... mereka belum tahu siapa Steven Hans Roberto sebenarnya!