Permintaan Abian

1513 Kata
Arsen menatap Abian dengan wajah yang terkejut. Sedetik kemudian dia sudah mengelus wajah anak kecil itu dengan sangat lembut dan tangan yang bergetar hebat. Ada banyak penyesalan dan rasa bersalah di hatinya. “Sayang, semua itu hanya perasaan kamu saja. Ayo kita makan dahulu,” ucap Bianca untuk mengalihkan pembicaraan. Karena tidak bisa dipungkiri jantungnya berdetak dengan sangat kencang setelah mendengar ucapan Abian. Sepertinya Bianca harus mencari cara untuk menjawab pertanyaan pertanyaan yang akan muncul dari anaknya setelah ini. “Oh iya, untung ada Mommy di sini. Coba Mom perhatikan dengan teliti. Wajah kami sangat mirip bukan?” Abian menatap sang Mommy dengan kening yang berkerut. Dia menunggu jawaban dari sang Mommy dengan jantung yang berdebar. Abian sangat berharap sang Mommy akan menjawab dengan iya. “Apa ada yang salah dengan kemiripan?” Bianca memutar otaknya untuk menghindari pertanyaan Abian lebih lanjut. “Tidak ada. Bukan begitu, Mom. Mom, apa wajah Daddy juga semirip ini dengan Abi?” Jantung Bianca memompa darah dengan sangat kencang. Seketika dia melupakan keberadaan Arsen di ruangan mewah tersebut. Bianca menggenggam tangan Abian dengan pelan. Dia menatap wajah anaknya dengan beragam pikiran yang datang menghantui. “Abi, sudah berapa kali Mommy katakan. Jangan pernah menanyakan masalah Daddy lagi.” Arsen melangkah mundur dari samping Bianca saat dia menyadari bahwa wanita itu sudah tidak menyadari keberadaannya lagi di ruangan tersebut. Arsen memilih untuk mendengarkan semua pembicaraan antara anak dan Ibu itu dengan menganalisa setiap jawaban yang diberikan oleh Bianca dan juga Abian. “Abi ingin bertemu dengan Daddy, Mom.” Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Abian menutup matanya untuk menahan air matanya yang hendak menetes. Tetapi ternyata usahanya tidaklah berhasil. Bulir bening itu mulai menetes membasahi wajahnya. Begitulah Abian, dia pasti akan selalu menangis saat pembicaraan mereka sampai kepada Daddy yang belum pernah ditemuinya satu kali pun selama dia hadir ke dunia ini. Terkadang, Abian juga sangat ingin seperti teman temannya di sekolah yang selalu diantar jemput oleh Ayah mereka. Bianca menghela napasnya dengan panjang dan menghembuskannya dengan kasar melalui mulut. Pikirannya mulai kacau dengan pertanyaan yang harus dijawabnya secara cerdik. “Iya, sayang. Daddy pasti akan sedih jika melihat Abian terbaring sakit seperti ini. Makanya, Abi harus cepat sembuh biar kita bisa cepat bertemu dengan Daddy.” Senyuman manis terukir di wajah Bianca untuk menenangkan perasaan anaknya. Ada getar luka dan rasa bersalah di hatinya saat mengucapkan kalimat yang bernada harapan tersebut. Tetapi dia tidak mempunyai pilihan lain selain mengatakan hal tersebut. “Benarkah? Tetapi kata Mommy, Daddy bekerja di tempat yang sangat jauh dan harus pulang dengan pesawat. Mom, mengapa Daddy tidak pernah ingat dengan kita? Apa Daddy tidak suka dengan Abi?” Pertanyaan selanjutnya meluncur lagi dari bibir mungil Abian. “Daddy sangat sayang dengan kita, Nak. Makanya Daddy bekerja jauh untuk mendapatkan uang buat kita.” Lagi lagi Bianca harus berbohong untuk menutupi semuanya kepada anak semata wayangnya itu. “Tetapi mengapa Mommy harus bekerja banting tulang setiap harinya untuk menutupi kebutuhan kita?” Abian menatap Bianca dengan pandangan yang tidak berkedip. Bianca tidak bisa lagi menahan luapan perasaannya. Air matanya mengalir dengan deras saat pertanyaan Abian sudah menjurus kepada hal yang sudah di luar topik pembicaraan mereka. Meskipun Abian masih sangat kecil, tetapi dia adalah anak yang sangat pintar dengan analisa setiap harinya. Dia sudah cukup memperhatikan pekerjaan sang Mommy sampai harus pulang malam setiap harinya. Semua itu dilakukan oleh sang Mommy hanya untuk menutupi semua kebutuhan mereka. “Mommy bekerja untuk biaya sekolah Abi nantinya. Semuanya membutuhkan biaya yang besar, sayang. Jadi, jangan membahas hal ini lagi, ya,” bujuk Bianca seraya mengecup pipi anaknya dengan sayang. “Sekarang Abi istirahat ya, jangan banyak pikiran agar kita bisa cepat pulang. Abi mau bermain kembali dengan Rena bukan?” Bianca mengalihkan pembicaraannya kepada hal lain. “Iya, Mom,” jawab Abian dengan wajah yang sudah berubah bahagia kembali. Bianca mengelus dadanya saat anaknya sudah tidak melanjutkan pembicaraan mereka tadi. “Mom, Abi juga ingin seperti Rena. Daddy Rena sangat baik dan juga perhatian. Rena diantarkan sekolah setiap harinya oleh Daddy nya. Oh iya, Mom. Kata Rena Daddy nya bekerja di perusahaan besar dan memiliki gaji yang besar juga. Apa Daddy kita juga bekerja di perusahaan besar, Mom?” Ternyata harapan Bianca tidak semulus pikirannya. Abian tidak bisa di kecoh dengan mengalihkan pembicaraan seperti itu. “Tunggu sebentar, sayang. Mommy mau ke toilet dahulu.” Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Bianca berjalan menuju toilet yang terletak di ruangan itu dengan langkah yang cepat. Wanita itu memasuki toilet dan mengunci pintunya dengan cepat. Bianca menghidupkan keran air dengan putaran yang paling besar. Detik kemudian, air matanya tumpah. Air matanya jatuh di luar kendalinya. Bianca menarik napas dalam dalam, dia pikir dia bisa selamanya menjawab pertanyaan yang akhir akhir ini selalu ditanyakan oleh anaknya. Sebuah pertanyaan yang sangat sederhana tetapi cukup membuat Bianca untuk menguras isi kepalanya. Pertanyaan itulah yang selalu sulit dijawab oleh Bianca. Bagaimana dia harus menjawab pertanyaan anaknya yang terus terusan menanyakan di mana Daddy nya? Sampai kapan harus berbohong untuk menutupi semuanya? Tetapi hari ini, pertanyaan Abian sudah terlalu jauh dan sulit untuk dijawabnya membuat pertahanan yang selama ini ditunjukkan oleh Bianca akhirnya runtuh bersamaan dengan rasa pilu dan nyeri yang menyerang hatinya. Bayangan kelam pada masa lalu seakan menari kembali di benaknya. Rasa bersalah itu pun muncul dengan sangat kuat di relung hatinya. Bianca tidak bisa menahan dirinya untuk tidak meringkuk dan bergetar hebat. Mulutnya yang terkatup menumpahkan erangan yang dalam. Rasa sesak dan nyeri di dadanya terasa sangat kuat menghantam persendiannya. Arsen yang melihat Bianca sudah masuk ke dalam toilet segera mendekatkan telinganya di pintu toilet. Dia tahu bahwa wanita itu pasti sedang menangis di dalam sana. Seketika rasa bersalah dan penyesalan muncul di kepalanya saat mendengar isak tangis Bianca yang masih terdengar meskipun air keran mengalir dengan kencang. Dokter tampan itu beranjak dari tempatnya berdiri. Dia berjalan menuju ranjang Abian. “Abi, jangan menanyakan pertanyaan yang sulit untuk dijawab Mommy. Mommy benar bahwa Daddy sangat sayang dengan Abian dan juga Mommy. Jadi, jangan menghukum Mommy dengan cara kamu sendiri, sayang,” ucap Arsen seraya menggenggam telapak tangan Abian. Dia menatap Abian dengan penuh perhatian. Ada rasa bersalah di hatinya saat menatap mata Abian yang diselimuti kabut tebal. “Abi ingin Daddy, Dokter,” lirihnya dengan bibir yang bergetar. “Apa saya boleh menjadi Daddy kamu?” tanya Arsen dengan suara yang sangat pelan. Matanya terus menatap Abian dengan tidak berkedip. Ada seulas rasa yang muncul di hatinya saat menyaksikan mata indah tersebut. Beragam pikiran terus merasuki pikirannya. “Benarkah? Apa Dokter mau dengan Mommy?” Pertanyaan lugu dari Abian membuat Arsen tertawa. “Mau jika Mommy bisa menerima saya sebagai pengganti Daddy. Oh iya, Daddy bekerja dimana?” tanya Arsen yang mulai menjalankan misinya untuk mengorek informasi dari bocah kecil tersebut. Arsen tersenyum penuh arti saat menemukan sebuah ide yang cemerlang untuk mengikat Bianca. Dia yakin bahwa rencananya akan berjalan mulus jika melibatkan Abian di dalamnya. “Abi tidak tahu dimana Daddy bekerja, Dokter. Tetapi kata Mommy tempat kerjanya sangat jauh.” Abian mengalihkan pandangannya menatap ke arah langit langit kamar. “Apa kamu sudah pernah bertemu dengan Daddy?” Arsen bertanya dengan hati hati. Sesekali dia menoleh ke arah toilet yang masih tertutup dengan rapat. “Belum,” ucap Abian dengan menggelengkan kepalanya. Arsen mengangguk anggukkan kepalanya saat mendengar jawaban Abian. “Jadi bagaimana dengan yang tadi? Apa Abian mau kalau Dokter yang menggantikan posisi Daddy?” Arsen menatap mata Abian dengan penuh rasa kasih sayang. Dia sangat ingin mengakhiri penderitaan anak tersebut. “Mau jika Dokter tidak keberatan,” jawab Abian dengan wajah yang memelas. “Baiklah. Tetapi ada syaratnya. Abi harus berjanji untuk tidak menanyakan Daddy lagi kepada Mommy dan jangan nakal lagi. Turuti semua perkataan Mommy. Terakhir, Abi harus membantu untuk meyakinkan Mommy agar mau menikah dengan Dokter.” Arsen tersenyum penuh arti setelah mengucapkan kalimat tersebut. Apalagi saat melihat reaksi Abian yang menatapnya dengan wajah yang berbinar bahagia. “Benarkah? Abi bahagia banget karena sebentar lagi akan mempunyai Daddy.” Bocah laki laki itu bersorak dengan girangnya seakan dia sudah melupakan rasa sakit yang sedang dideritanya. Arsen menganggukkan kepalanya dengan cepat dan berlalu dari ruangan tersebut agar Bianca tidak curiga dengan apa yang telah dikatakannya kepada Abian. Tidak lama kemudian, Bianca keluar dari dalam toilet dengan wajah yang basah. “Apa Mommy menangis?” Abian menatap wajah Bianca dengan kening yang berkerut heran. Seketika dia teringat perjanjian dengan sang Dokter. “Abi minta maaf, Mom. Abi janji tidak akan menanyakan Daddy lagi. Sekali lagi maaf karena sudah membuat Mommy sedih.” Bianca tersenyum mendengar ucapan dewasa dari anaknya yang masih kecil tersebut. Perlahan dia mendekati ranjang dan mengecup pipi anaknya dengan sayang. “Mommy sayang sama Abi.” Bianca memeluk tubuh anaknya dengan sayang. Dia tidak ingin kehilangan anak satu satunya itu. “Abi juga sayang sama Mommy. Oh iya, Mom. Apa kita boleh tinggal bersama di rumah Dokter Arsen?” “Hah?” Bianca menatap Abian dengan bola mata yang melebar. Seketika pelukannya terlepas dan wanita itu langsung berdiri dari tempat duduknya karena terkejut. ‘Ide apalagi yang ada di kepala anaknya ini?’ Bianca bermonolog sendirian.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN