Dipertemukan
Arsen berdiri di dekat jembatan yang menjadi penghubung jalan di tengah keramaian kota yang dipadati oleh kendaraan berlalu lalang. Matanya menatap ke arah jembatan layang yang dipenuhi oleh kendaraan. Pikirannya menerawang kepada kejadian enam tahun yang lalu. Sampai sekarang dia masih belum bisa menemukan sosok yang dicarinya selama enam tahun ini.
Arsen tersentak dari lamunannya saat terdengar suara berdecit dari kendaraan yang rem mendadak. Detik kemudian, seorang anak kecil terpental ke tengah aspal, sedangkan mobil yang menabraknya langsung melarikan diri. Sedetik kemudian anak kecil tersebut telah dikerumuni oleh para pengguna jalan, tetapi tidak ada yang menolongnya.
Arsen bergerak dengan cepat di tengah kerumunan. Nalurinya sebagai seorang Dokter membuatnya bergerak cepat untuk membantu korban kecelakaan. Dia terkejut saat melihat seorang anak laki laki yang berumur sekitar lima tahun tergeletak tidak sadarkan diri dengan tubuh yang bersimbah darah. Dengan sigap Arsen mengangkat tubuh mungil tersebut.
“Kita kerumah sakit sekarang!” perintah Arsen kepada Alex yang merupakan asisten pribadinya.
“Baiklah,” jawab Alex seraya menjalankan mobil dan keluar dari kerumunan orang orang yang melihat kecelakaan.
“Bisa lebih cepat lagi, Lex,” ucap Arsen dengan napas memburu.
“Ini sudah cepat, Arsenio,” dengus Alex dengan sedikit kesal karena lari mobilnya sudah di atas rata rata.
“Aku takut nyawanya tidak bisa diselamatkan.” Arsen merobek lengan bajunya dan segera membalut telapak kaki anak tersebut untuk mengurangi darah yang keluar.
Alex yang melihat hal tersebut dibuat terperanjat karena harga baju Arsen yang merupakan barang limited edition dengan harga puluhan juta, sekarang malah dirobek begitu saja ‘Dasar orang kaya, mending diberikan ke gue bajunya,’ pikir Alex sendirian. Bahkan baju tersebut dirobek untuk seorang anak kecil yang tidak ada hubungan sama sekali dengannya.
“Jangan berpikiran yang macam macam. Menyetirlah dengan cepat karena nyawa anak ini jauh lebih berharga dari pakaian yang aku pakai,” ucap Arsen dengan wajah datarnya seakan mengerti jalan pikiran asisten pribadinya itu.
Alex menghentikan mobilnya tepat di depan UGD Rumah Sakit Arafah. Arsen segera turun dari mobil dengan menggendong anak laki laki tersebut. Semua Dokter dan perawat yang ada di ruangan itu menundukkan kepala kepada Arsen dan bergerak dengan cepat untuk memberikan pertolongan.
“Periksa anak ini, dan hubungi orang tuanya,” ucap Arsen dengan sigap memasang baju dinasnya yang berwarna putih.
“Baik, Dok,” jawab salah seorang dari mereka yang merupakan Dokter Eva yang bertugas di ruangan itu. Dokter Eva membersihkan luka anak malang tersebut dengan dibantu oleh beberapa orang perawat. Sedangkan Arsen memeriksa keadaan anak laki laki tersebut dengan alat yang terhubung ke telinganya. Arsen membuka sedikit baju kemeja anak tersebut dengan pelan. Seketika wajahnya berubah memucat saat melihat kalung yang terpasang di leher anak laki laki tersebut. Sebuah kalung dengan bandul hati yang terbelah dua. Arsen mengusap kalung tersebut dengan tangan bergetar hebat serta keringat dingin menetes di dahinya. Tangannya perlahan membuka bandul tersebut dengan hati hati.
Deg! Jantungnya berdetak dengan sangat kencang saat melihat foto yang ada di dalamnya. Sebuah foto yang sama. Pandangannya mulai memudar dan kepalanya berdenyut nyeri.
“Kalung itu,” gumam Arsen dengan pikiran berkecamuk. Pikirannya mulai menerawang kembali, membuat konsentrasinya kacau.
“Pembuluh Venanya terluka, Dok. Pasien membutuhkan tambahan darah,” ucap Eva sambil membuka jemari anak tersebut. Secarik kertas berada di dalam genggaman sang anak. Arsen terkejut saat mendengar ucapan Eva barusan. Kesadarannya kembali dengan meninggalkan beragam pertanyaan yang belum terjawab di kepala Arsen. Seakan semua ini merupakan sebuah teka teki yang harus dia pecahkan sendiri.
“Itu apa?” tanya Arsen dengan kening berkerut.
“Sepertinya nomor telepon, Dok,” ucap Eva seraya menghubungi nomor tersebut dengan hapenya.
Dilain tempat, Bianca sedang sibuk dengan pekerjaannya karena dia akan meminta izin nanti sore untuk pulang cepat. Hari ini adalah hari ulang tahun putranya. Bianca diberikan izin dengan syarat harus menyelesaikan pekerjaannya terlebih dahulu siang ini.
Drt! Ponsel Bianca bergetar, tampak sebuah panggilan di layar hapenya. Panggilan dari nomor yang tidak dikenalnya.
“Selamat siang,” sapa Bianca setelah menggeser tombol hijau di layar hapenya.
“Harap datang ke Rumah Sakit Arafah sekarang juga!” perintah sebuah suara dari seberang sana yang sepertinya seorang wanita. Telepon pun langsung terputus.
Bianca segera mengemasi peralatan kerjanya. Setelah meminta izin kepada atasan, dia segera berjalan keluar dari gedung perusahaan terbesar di Asia tersebut.
Bianca berjalan dengan setengah berlari sambil menghentikan sebuah taksi yang lewat di depannya.
“Rumah Sakit Arafah, Pak,” ucap Bianca dengan napas memburu.
“Baik, Nak,” jawab sopir taksi seraya menjalankan mobilnya dengan cepat. Sepuluh menit kemudian Bianca sudah berdiri di depan Rumah sakit tersebut. Dia menghubungi nomor yang menelponnya tadi.
“Langsung ke UGD!” perintah seseorang dari seberang sana.
Bianca melangkahkan kakinya menuju UGD. Pikirannya berkecamuk karena dia tidak mengetahui apa tujuannya datang ke rumah sakit tersebut.
Bianca menatap tempat tidur satu persatu, dan matanya melebar saat melihat anaknya terbaring tidak sadarkan diri di ranjang yang berada di paling ujung ruangan. Tubuhnya bergetar dan tas tangannya pun terlepas dari genggaman.
“A-apa yang terjadi dengan anak saya?” tanya Bianca dengan air mata yang langsung mengalir dengan deras.
“Seseorang menabraknya, dan kondisinya sangat kritis,” ucap Dokter yang tadi menghubunginya.
“Saya mohon, tolong selamatkan anak saya,” raung Bianca dengan histeris. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana kondisi anaknya yang terbaring kaku tidak sadarkan diri.
“Anak anda terluka parah di bagian Vena nya. Sehingga mengeluarkan banyak darah, dan memerlukan tambahan darah dengan segera.” Dokter Eva menjelaskan keadaan bocah laki laki tersebut.
“Ambil darah saya saja, golongan darah kami sama,” ucap Bianca dengan cepat.
Bianca melewati pemeriksaan sebelum darahnya diambil. Sedangkan Arsen hanya memandangi Bianca dengan kening berkerut.
“Parfum itu,” gumamnya sendiran hingga tubuh Bianca menghilang dari pandangannya.
Setelah melewati beberapa pemeriksaan, malang bagi Bianca, darahnya tidak bisa didonorkan untuk anaknya karena kondisi tubuhnya yang sedang tidak fit.
“Ya Tuhan, tolong selamatkan anak hamba,” jerit Bianca dengan air mata yang tidak berhenti mengalir.
“Ikut saya sekarang,” ucap Arsen dingin. Bianca mengangkat kepalanya saat mendengar sebuah suara yang menghentikan lamunannya. Seseorang dengan pakaian dinasnya yang berwarna putih sedang berdiri di depannya dengan tatapan yang tajam.
Tanpa bertanya lagi, Bianca mengikuti langkah kaki Dokter yang menangani anaknya. Bianca mengedarkan pandangan di ruangan yang di d******i oleh warna abu abu dan silver tersebut. Warna yang sangat disukainya, dan terlihat sangat sejuk dan tenang.
“Bagaimana keadaan anak saya, Dok?” tanya Bianca setelah dipersilakan duduk di kursi yang ada di depan meja. Sebuah papan bertuliskan nama sang dokter bertengger di atas meja dengan kokohnya.
“Keadaannya kritis dan harus segera mendapatkan donor darah. Paling lama, nanti malam dia sudah mendapatkan donor darah. Jika tidak, keadaanya tidak bisa diselamatkan,” ucap Arsen dengan memperhatikan setiap inci tubuh Bianca. Pikiran Arsen menerawang lagi saat hidungnya mengendus parfum wangi Vanila yang dipakai Bianca. Sontak, semua pikirannya menjadi kacau. Begitu banyak kejadian hari ini yang membawanya kepada keadaan enam tahun yang lalu.