Jarum jam sudah menunjukkan pukul tujuh kurang lima belas menit saat Bianca keluar dari kamar mandi. Dia baru saja selesai mandi dan sudah berganti pakaian dengan memakai pakaian rumah. Celana panjang berwarna hitam dengan baju kaus longgar berwarna putih menjadi pilihannya pagi itu.
Bianca melangkah keluar dari kamar dan berjalan menuju ruang kerja Arsen. Sesuai dengan pesan Arsen tadi, dia melangkah memasuki ruang kerja. Pandangan matanya memperhatikan ruangan kerja yang cukup luas tersebut. Tangan Bianca meraba buku buku yang tersusun rapi di lemari pajangan yang ada di dinding ruangan.
Ruangan besar itu layaknya sebuah pustaka mini dengan berbagai buku yang terlihat lengkap di pajangan. Wanita itu mengambil satu buku dan membacanya sekilas. Hampir semua buku merupakan buku bisnis dan juga ilmu kedokteran.
Bianca mengedarkan pandangannya untuk melihat di mana Arsen tidur, tetapi tidak tampak di ruangan tersebut. Tangannya meraba raba dinding hingga menemukan sebuah sign dengan tulisan yang tergantung dengan indah di ruangan tersebut. Tanpa sadar, Bianca meraba tulisan tersebut. Setelah diperhatikannya, simbol tersebut seperti sebuah tombol yang mengarah ke tempat lain.
“Apa ini tombolnya?” tanyanya sendirian seraya menekan simbol tersebut.
Bola mata Bianca melebar saat dinding ruangan bergerak dan bergeser hingga sebuah dinding yang tadinya menutupi ruangan tersebut sudah berpindah ke samping. Sekarang di depan matanya terdapat ruangan lain yang jauh lebih besar dari ruangan kerja tadi.
Bianca melangkahkan kakinya dengan pelan dan berjalan memasuki ruangan tersebut. Matanya memperhatikan semua yang ada di dalam ruangan tersebut. Langkahnya terhenti di depan sebuah foto dengan bingkai emas yang cukup besar. Di sana tampak foto Arsen dengan seorang wanita yang sedang memeluknya dengan erat.
Selanjutnya dia melangkah mendekati ranjang yang ada di ruangan besar tersebut. Aroma parfum ruangan yang wangi seakan membius indra penciuman Bianca. Wanita itu lantas meraba lengan Arsen dengan pelan. Pria itu tampak tidur dengan pulas karena kelelahan.
“Arsen,” panggil Bianca dengan pelan.
Dalam satu kali panggilan saja, pria itu sudah membuka matanya. Dia menatap Bianca yang merunduk di samping ranjang.
“Sudah jam berapa, Bia?” tanyanya dengan tersenyum. Suaranya terdengar serak khas orang yang baru bangun tidur.
“Jam tujuh. Maaf karena telah membangunkan,” lirih Bianca dengan tersenyum.
“Tidak masalah.” Arsen duduk dari tidurnya. Dia menepuk nepuk kasur untuk meminta Bianca duduk di sampingnya.
“Duduklah di sini,” ucap Arsen sambil menatap ke arah Bianca. Tanpa berkomentar apa pun, Bianca duduk di samping Arsen.
“Terima kasih, Bia.”
“Terima kasih untuk apa?” Bianca menatap Arsen dengan kening yang dipenuhi kerutan.
“Terima kasih untuk semuanya dan maaf karena telah melakukan kesalahan besar,” ujar Arsen dengan menatap Bianca lekat.
Jantung Bianca berdebar dengan sangat kencang saat mendengar ucapan Arsen. Pikirannya mulai menerawang dengan tidak beraturan.
“Apa kamu sudah siap?” Arsen mengalihkan pembicaraannya saat melihat pandangan kosong dari mata Bianca.
“Aku sudah selesai mandi dan tinggal berkemas.” Bianca menjawab dengan cepat.
“Tidak usah berkemas dahulu, jam delapan nanti akan ada yang menghias kamu. Alex sudah mengatur semuanya.” Bianca hanya menganggukkan kepalanya dengan pelan. Jantungnya berdebar debar saat melihat mata teduh Arsen yang menatapnya dengan lembut.
“Kamu pintar bisa tahu ruangan ini. Tidak semua orang bisa masuk ke sini. Ruangan ini adalah ruangan rahasia bagiku.”
“Itu hanya kebetulan karena aku tidak menemukan kamu di ruang kerja.” Bianca tersenyum dengan sangat manis hingga lesung pipinya terlihat dengan sangat jelas.
Jantung Arsen berdebar melihat senyuman manis yang sangat tulus dari seorang Bianca yang selalu berbicara ketus kepadanya.
“Kamu cantik, Bia. Bahkan sangat cantik jika tersenyum seperti itu,” ujar Arsen dengan jujur.
“Aku keluar dahulu,” ucap Bianca seraya berdiri dari tempat duduknya. Wajahnya tampak merona karena dipuji oleh Arsen. Selama ini dia tidak pernah memikirkan soal kecantikan. Dia hanya sibuk mencari uang untuk biaya hidupnya dengan Abian. Bianca bahkan tidak pernah mengunjungi salon untuk merawat tubuhnya.
Bianca melangkah dengan cepat meninggalkan ruangan tersebut saat mendengar tawa Arsen yang memenuhi ruangan itu.
Arsen segera berdiri setelah kepergian Bianca. Dia melangkah memasuki kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya.
Bianca terus berjalan menuju kamar Abian. Hari ini, Abian masih izin sekolah karena kesehatannya masih belum pulih.
“Bangun, sayang,” bisik Bianca dengan lembut di telinga anaknya. Sebelah tangannya bergerak mengusap usap rambut anaknya dengan sayang.
Perlahan Abian membuka matanya dan menatap sang Mommy dengan bola mata yang menyipit layaknya orang yang baru bangun tidur.
“Sudah jam berapa, Mom?” tanya Abian dengan suara yang serak. Jantung Bianca berdebar mendengar pertanyaan Abian. Pertanyaan yang sama juga dilontarkan oleh Arsen dengan suara yang sama seraknya. Pikirannya mulai meraba raba sisi yang tidak terlihat di dalam hidupnya.
“Sudah jam tujuh, sayang. Apa masih mau tidur?”
Bola mata indah Arsen bergerak gerak dengan lincah mendengar pertanyaan Bianca.
“Masih boleh tidur, Mom?” tanyanya dengan mata yang menyipit serta kedua tangan yang beradu di depan dadanya, membentuk sebuah permohonan.
Bianca tertawa mendengar pertanyaan anaknya, “Ya sudah. Tidurlah satu jam lagi. Nantik Mommy bangunkan kembali.” Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Bianca berjalan menuju pintu kamar.
“Terima kasih, Mommy.” Abian berteriak dengan cukup kencang.
Bianca memutar tubuhnya dan tersenyum menatap ke arah anaknya. Kepalanya mengangguk perlahan untuk menjawab ucapan anaknya barusan.
“Mereka begitu mirip. Pertanda apakah semua ini?” batin Bianca dengan jantung yang berdebar. Arsen dan Abian seakan berubah menjadi seperti pinang yang dibelah dua.
“Abian sudah bangun, Bi?” tanya Arsen yang sudah keluar dari ruang kerjanya.
“Sudah, tetapi minta tidur lagi satu jam kedepan. Mungkin dia masih capek.”
“Tidak masalah karena dia masih belum sembuh total. Sebentar lagi akan ada yang mengantarkan makanan. Kamu terima saja karena aku mau zoom meeting sebentar dengan perusahaan. Acara kita nantik jam sepuluh.” Arsen berbicara panjang lebar.
“Baiklah,” jawab Bianca dengan cepat sambil menjatuhkan tubuhnya di kursi yang ada di hadapan Arsen. Pria itu tampak menghidupkan laptopnya. Sekilas dia menoleh ke arah Bianca.
Melihat Arsen yang menoleh ke arahnya, Bianca langsung berdiri dengan cepat. Langkah kakinya hendak melangkah tetapi tertahan oleh ucapan Arsen.
“Mau ke mana? Duduklah di sini. Tidak masalah.”
“Benarkah?” tanya Bianca dengan senyuman yang merekah di bibirnya. Arsen hanya menganggukkan kepalanya dengan pelan karena matanya sudah menatap ke arah layar laptop.
Diam diam, Bianca memperhatikan raut wajah Arsen yang sedang serius memperhatikan layar laptopnya. Di dalam hatinya, Bianca memuji ketampanan dan kesempurnaan yang dimiliki oleh Arsen.
‘Kamu sangat tampan, tetapi mengapa mau menikah dengan aku yang sudah mempunyai anak dan tidak memiliki apa apa.’ Bianca berpikir sendirian.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah sebelas saat prosesi akad nikah telah selesai. Arsen mengucapkan akad nikah dengan lancar. Sekarang mereka sudah resmi menjadi sepasang suami istri yang sah menurut agama dan hukum.
Di sepanjang perjalanan menuju apartemen, Bianca hanya terdiam dalam balutan gaun pengantin yang masih melekat dengan sempurna di tubuhnya. Lima belas menit kemudian, mereka sudah sampai di apartemen.
Arsen menggenggam telapak tangan Bianca dengan pelan untuk membantu wanita itu turun dari mobil. Langkah kaki mereka berjalan menuju lift yang akan membawa mereka ke lantai atas.
Bianca menatap Arsen dengan tajam sambil berkata, “Ada banyak hal yang harus kita bicarakan,” ucapnya dengan suara yang bergetar. Perlahan lift sudah berjalan menuju lantai tertinggi di gedung tersebut.
“Ya,” jawab Arsen dengan singkat.
Setelah sampai di lantai atas, Bianca segera masuk ke dalam kamar untuk mengganti pakaiannya. Dia mengganti bajunya dengan cepat. Selanjutnya, wanita itu berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan wajahnya dari makeup yang menghiasi wajah cantiknya.
Bianca menatap ke arah cermin yang ada di kamar mandi. Air matanya menetes dengan pelan. Entah apa yang ada di pikirannya sekarang.
“Aku harus kuat. Semua ini demi Abian,” ucapnya dengan suara yang bergetar.
Bianca mengusap wajahnya dengan kasar dan keluar dari kamar mandi dengan langkah cepat. Dia harus menemui Arsen untuk membicarakan semuanya.
Bianca mengedarkan pandangannya berkeliling untuk mencari Arsen. Tetapi, pria itu tidak tampak di sana. Dia melangkah menuju kamar Abian. Kamar itu tampak kosong karena Abian sudah dibawa pergi oleh Alex. Sepertinya semua itu adalah perintah Arsen.
Selanjutnya, Bianca berjalan menuju ruang kerja Arsen. Langkah kakinya berjalan dengan cepat. Dia berpikir bahwa sekarang adalah saat yang tepat untuk membicarakan semuanya. Mereka akan lebih leluasa berbicara jika tidak ada Abian.
“Mau bicara apa?” Arsen langsung bertanya saat melihat Bianca yang sudah berada di depannya. Pria itu lantas mendorong kursi untuk ditempati oleh Bianca.
“Ada banyak permintaan yang ingin aku sampaikan.” Bianca membuka suaranya dengan lancar. Dia menatap Arsen dengan lekat. Meskipun jantungnya berdebar dengan sangat kencang, tetapi dia berusaha untuk tetap tenang.
“Silakan,” jawab Arsen sambil memperhatikan raut wajah wanita yang telah duduk di depannya.
“Pernikahan kita hanya untuk dua tahun saja. Setelah itu kita akan bercerai.” Bianca mengucapkan kalimat tersebut dengan lantang.
“Kenapa? Apa ada masalah dengan pernikahan ini?” Arsen menatap Bianca dengan tenang. Dia sudah menduga semua ini sebelum mereka resmi menikah. Di dalam hatinya, Arsen memuji kepintaran Alex yang sudah mengatakan semua ini sebelumnya.