Sampai pagi tiba, Bagas tidak bisa pulang ke rumah. Saat ini Bagas menjaga putra pertama Raisa yang harus di rawat di rumah sakit. Sedangkan ada putra lainnya di rumah yang harus Raisa jaga. Bagas terpaksa harus menekan keinginannya untuk pulang. Raisa berjanji bila pagi tiba akan menitipkan anak-anak pada Nuril dan Fajrul. Keluarga itu sering sekali menolong Raisa itu sebabnya Raisa percaya pada mereka.
Tentang Arum, Bagas memilih akan menjelaskan semuanya nanti. Bagas yakin Arum akan mengerti..
"Mama," suara itu keluar dari bibir anak laki-laki kecil itu. Bagas mendekat.
"Mama belum datang sayang, mungkin sebentar lagi."Anak itu membuka matanya sebentar lalu menutupnya lagi.
Panas di tubuhnya yang teramat tinggi membuat ia seolah enggan membuka mata.
Hingga beberapa perawat datang, memeriksa suhu tubuh juga tekanan darah.
"Mbak tolong sampaikan pada dokter kalau panasnya masih tinggi" Pinta Adi pada dua perawat tadi.
"Iya Bapak, akan kami laporkan."
"Terimakasih mbak."
Dua perawat itu pun pergi. Seseorang mendekati ruangan tempat Adi menjaga putra Raisa.
"Mas, maaf aku membuat mas menunggu." Suara bening itu muncul menyapa gendang telinga Adi. Memaksa Adi untuk melupakan semua letih dan penat karena tidak tidur semalaman.Suara itu adalah suara yang membuat ia menjadi susah tidur selama masa-masa yang panjang. Suara itu yang selalu mendesah membangkitkan gairah kelelakiannya. Suara itu yang kini ia pertahankan dan ingin ia miliki hingga ke sorga.
Suara bening Raisa.
"Mas sarapan dulu, kemudian pulang. Kasihan mbak Arum sendirian di rumah." Suara Raisa sambil membuka kotak makan yang telah ia bawa dari rumah.
Jujur, Bagas bangga pada dua wanita yang di pilihnya. Mereka sama-sama memiliki kelebihan yang patut di banggakan. Dua wanita yang cerdas dan memiliki kepedulian tinggi.
Arum juga Raisa, dua wanita yang sangat ia cintai tanpa membandingkan kelebihan yang satu dengan yang lain.
Keduanya sama-sama patut di banggakan.
Bagas membuka kotak makan tersebut. Ada nasi putih hangat, oseng daun singkong juga tahu dan udang. Ach, sepagi ini pasti nikmat sekali.
Bagas menikmati sarapannya dengan lahap. Rasa yang diciptakan dari masakan ini demikian nikmat. Sementara itu Raisa sibuk menyuapi putranya.
Perawat yang tadi datang lagi.
Memberikan suntikan pada selang infus yang bergantung.
"Bapak, baru saja sudah kami berikan injeksi penurun panas semoga panasnya segera turun."
"Terimakasih, mbak."
Bagas menyelesaikan sarapannya, kemudian mendekati Raisa. Menyentuh kening anak laki-laki kecil itu. Mengusapnya lembut. Ada perasaan iba yang menjalar ke seluruh tubuhnya.
Anak-anak harus dirawat dengan baik agar imunitasnya tumbuh dengan baik juga.
Bagas menghela nafas panjang.
"Aku pamit pulang dulu ya."Suara Bagas lembut.
Raisa menatap lelaki baik yang telah banyak menolongnya itu.
"Iya, silahkan mas." Bagas mengambil jaket hitamnya kemudian memakainya. Bagas nampak tampan dengan jaket hitam tersebut.
Sebelum pergi Bagas memberikan isyarat pada Raisa untuk mendekat.
Bagas menyerahkan sejumlah uang pada Raisa.
"Ini kamu terima dulu, ya. Nanti aku carikan lagi. Kamu urus Farel dengan baik. Untuk urusan uang biar aku yang mengupayakan."
Raisa diam, ia terpana melihat betapa baik lelaki di depannya. Anak-anak ini bukan anak kandungnya namun ia sudi berjuang untuk mereka.
Bagas pulang, Raisa mencium pergelangan tangannya lembut. Serangkaian doa ia lantunkan untuk Bagas, agar keselamatan mengiringi perjalanannya.
Raisa kembali berkutat pada kesibukannya menjaga Farel.
*******
Motor Bagas memasuki rumah. Rumah itu nampak sepi, anak-anak pasti berangkat sekolah dan Arum mungkin sedang tidur.
Bagas membuka pintu rumahnya perlahan-lahan. Mengucapkan salam namun tidak ada jawaban. Bagas masuk, membuka kamarnya, kosong. Tidak ada siapapun di sana.
Arum dimana ?
Desis Bagas.
Kemudian, suara seseorang masuk rumah. Pasti Arum yang datang. Mungkin ia baru saja pulang berbelanja.
"Sudah datang, Mas." Sapa Arum pada Bagas sambil melenggang pergi menuju daur. Tidak ada pertanyaan untuknya. Tidak ada kemarahan juga
Semuanya berjalan datar dan biasa-biasa saja. Harusnya Bagas merasa lega tidak di berondong pertanyaan yang banyak. Namun ternyata Bagas justru gelisah. Kegelisahan mengetuk hatinya. Arum pasti kecewa itu sebabnya ia tidak ingin banyak bicara. Bagas meradang.
Arum adalah wanita yang sering bertanya bila ia terlambat pulang. Bila ada yang tidak cocok dalam kebiasaan mereka. Bila saat ini Arum diam, artinya sesuatu sedang terjadi.
Bagas mendekati Arum. Menyapanya dengan lembut.
"Ummi,"
"Iya,"
"Aku minta maaf semalam tidak bisa pulang." Sampai di situ Bagas bicara Arum masih diam.
"Ummi, jangan marah ya."
"Tidak mas, aku tidak marah. Aku akan berusaha melewati ini semua. Saat kamu pulang terlambat, saat tidak ada pesan masuk, saat kamu tidak pulang sekalipun. Aku akan membiasakan diri ku. Karena nanti akan tiba masanya aku harus terbiasa melakukannya." Arum bicara cepat sambil menutup hatinya dengan pintu dan gembok yang menggantung.
Ia mulai membiasakan sesuatu yang baru dalam kehidupan rumah tangganya. Sesuatu yang tidak pernah ia lakukan.
Ia harus mulai menghentikan kekhawatirannya pada Bagas suaminya, karena sesaat lagi Bagas akan menikah lagi. Artinya Bagas akan tinggal tidak hanya di rumah Arum namun juga di rumah yang lain.
Mendengar apa yang diucapkan Arum barusan Bagas meradang. Bagas tahu Arum terluka.
Sama seperti dirinya yang juga luka.
'Arum, maafkan aku.' Rintih Bagas pelan sambil pergi meninggalkan Arum dengan kesibukannya di Dapur.