MELUKIS AWAN

627 Kata
Bagas menjumpai Raisa setelah janjinya kemarin tidak berhasil ia kabulkan. Ia merasa khawatir pada kesehatan anak Raisa disana, itulah mengapa Bagas memutuskan menemui Raisa terlebih dahulu sebelum berangkat ke kantor. Pakaian dinas telah ia kenakan, sarapan hangat sudah terhidang di meja makan. Setiap pagi, Arum tidak pernah lupa menyediakan. Arum dimana ya ? pikir Bagas. Matanya berkeliling ruangan. Namun Arum tak juga nampak. Sebelum ia menuangkan sarapan di piringnya yang masih telungkup di atas meja makan. Bagas berdiri, membuka pintu kamar mereka, mencari Arum. Tidak biasanya Arum ninggalin rumah tanpa bicara dulu padanya. Di kamar pun Arum tak nampak. Bagas menuju kamar Yunan putra mereka. Membuka pintunya pelan. Arum disana sedang tidur sambil memeluk tubuh Yunan. Bagas kembali menutup pintu kamar tersebut. Ia menarik nafas panjang kemudian menghembuskan nya perlahan. Ada beban berat di pundaknya, beban berat yang sebenarnya ia cari sendiri, ia ada kan sendiri, ia ukir sendiri. Beban yang ia ciptakan sendiri dengan munculnya keinginannya untuk menikah lagi. Andai ia tak ingin menikah lagi mungkin semua akan baik-baik saja. Tapi dorongan itu begitu kuat mencengkram dan hadir pada saat rumah tangganya baik-baik saja. Bagas menuangkan sarapan di piringnya. Mengunyah setiap sendok nasi dan lauk yang masuk ke mulutnya. Merasakan rasa manis, asin dan pedas di ujung lidahnya. Bagas hanya sarapan sedikit saja pagi ini, hatinya gelisah. Antara rasa bersalah pada Arum dan rumah tangganya juga rasa rindu pada Raisa nya. Bagas menuliskan sebaris kalimat pada secarik kertas sebuah pesan untuk Arum istrinya. "Aku berangkat" Bagas bergegas mengendarai motor matiknya menuju rumah Raisa di kebun. Rumah itu nampak kosong. Raisa dimana ? Bagas terus saja mengendarai motor matiknya masuk ke kebun. Ach, Raisa sedang duduk diantara tanaman bawang prenya. Bagas memandang wanita yang baru saja hadir dalam hidupnya namun telah merajai seluruh ruang dalam hatinya. "Sibuk, Sa ?" Raisa melihat Bagas. Ia bangkit dari tempat duduknya, meninggalkan aktifitasnya dan menjumpai Bagas. "Baru datang mas ?" "Iya." "Nggak ke kantor ?" "Ke kantor nanti. Kabar anak-anak bagaimana?" "Alhamdulillah sudah baik." "Kakak sudah sehat?" "Sudah agak mendingan, kok." Bagas memasuki rumah Raisa melihat keadaan putranya. Membelai lembut kepala anak kecil itu dengan iba. Sambil berucap lirih dalam hatinya. 'Aku akan menjaga mu, nak.' "Sa, aku sudah cerita pada mbak mu tentang kita." Raisa membelalakkan mata ia ingin sekali protes pada Bagas karena telah melakukan sesuatu tanpa berunding terlebih dahulu. Raisa ingin sekali marah pada Bagas. Mestinya segala sesuatu yang melibatkan dirinya harusnya ia bicara dulu padanya. Tapi Bagas terlanjur melangkah dan ia sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa. Semua sudah terlanjur. "Lalu mbak bagaimana ?" "Dia terkejut awalnya tapi akhirnya dia bisa menerima." "Mbak menangis ?" "Iya dia menangis." "Lalu mbak bagaimana ?" Raisa mulai kesal. Tadinya Raisa berharap Bagas akan menceritakan semuanya dari awal tapi Bagas justru menjelaskannya sepotong-sepotong. Itulah mengapa Raisa merasa sangat kesal. Raisa ingin tahu semua cerita di rumah Bagas, bagaimana kemarahan istri Bagas saat tahu suaminya mengajukan ijin menikah lagi. Tapi sayangnya Bagas tidak bergeming untuk bercerita. Bagas tahu Raisa gelisah namun Bagas punya alasan untuk diam dan tidak bercerita karena bila Bagas menceritakan kejadian di rumahnya Raisa tidak akan tega pada istrinya. Raisa akan marah dan boleh jadi Raisa akan pergi dari kehidupan Bagas selamanya. Itulah mengapa Bagas memilih diam. Memilih tidak menceritakan apapun. Saat ini keadaannya seperti melukis di atas awan. Menyulitkan. "Raisa, kamu tenang saja yang pasti semua akan baik-baik saja. Kamu tidak usah khawatir." "Aku akan bertanggung jawab pada semuanya." Penjelasan Bagas pada Raisa. Angin semilir menyentuh lembut kulit mereka menciptakan sensasi indah pada kebersamaan mereka. Dua orang yang sedang jatuh cinta. Dua orang yang punya mimpi yang sama. Dalam harapan dan rajutan kebahagiaan tentang kehidupan bersama. Raisa diam Bagas pun diam, mereka mendefinisikan suara hati mereka dengan caranya masing-masing. Sambil mengukir pola yang akan mereka buat untuk kehidupan selanjutnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN