Hanya pada dirimu lah aku percaya, akan sesuatu yang tengah aku jamah
***
DUA benda berbentuk persegi, satu penggaris ukuran 30 cm, lengkap dengan satu buah pulpen sudah bertengger manis dalam dekapan gadis yang memiliki rambut berwarna hitam arang. Rambutnya nampak segar, lurus dan bergelombang saat tertiup sepoi angin dingin.
Piyama berwarna biru laut kali ini membungkus tubuh Gina. Ia terus melangkah menuju rumah Gito. Tidak sampai tiga menit ia sudah sampai di sana. Tentu saja, letak rumah Gito hanya di seberang rumahnya.
Tidak perlu repot-repot jika mau izin dengan bundanya. Sandra akan mengijinkan Gina—apapun itu, asalkan apa yang dilakukan anak semata wayangnya ini benar-benar positif. Seperti kali ini misalnya.
Gina berdiri di depan pintu sambil memeluk dirinya yang terasa sangat dingin akibat udara malam kali ini. Akhirnya, pintu lebar nan tinggi menjulang itu terbuka kian lebar, segera memberi akses bagi Gina untuk melangkah maju dan berakhir di dalam ruangan besar itu.
"Halo Tante," sapa Gina, ramah seperti biasanya. Senyumannya tak pernah absen saat ia menyapa dan bersikap sopan kepada Farah, mama Gito.
Farah tersenyum tulus sebelum pada akhirnya Gina menjabat tangan wanita setengah baya itu dengan rasa hormat yang tinggi.
"Gina mau ngapain malam-malam begini datang ke rumah Tante?"
Cengiran lebar yang khas Gina tunjukkan sebelum ia menimpali ucapan Farah. "Gina mau minta tolong sama bang Gito Tan, Gina kesulitan ngerjain PR matematika, siapa tahu bang Gito bisa bantu. Soalnya bang Gito pasti udah dapet materi ini pas kelas sepuluh dulu, kayak Gina sekarang."
Farah mengangguk, lantas tersenyum ramah. "Ya udah, Gina buruan gih naik ke atas, panggil aja bang Gito-nya. Selamat belajar ya, Tante mau lanjutin nonton sinetron, soalnya lagi rame banget," jelas Farah begitu panjang dan lebar, sama sekali tidak menghilangkan kesan ramahnya. Setelah menghadiahi perkataan mama Gito dengan kedua jempolnya, buru-buru Gina segera cabut masuk ke dalam rumah yang berdomisi cat putih ini, kaki kecilnya ia tapakkan ke anak tangga, dan seperkian detik selanjutnya kaki itu membawanya sampai di depan pintu kamar Gito.
Sesaat, pintu yang menjulang tinggi itu Gina tatap dengan teliti, lalu ia membuang napasnya, dan pada akhirnya ketukan singkat ia bunyikan lewat kepalan tangannya yang bersentuhan langsung dengan daun pintu kayu dihadapannya ini.
"Bang Gito ada di kamar, kan? Bukain pintunya dong bang biar Gina bisa masuk. Sekarang Gina butuh bantuan dari bang Gito, cuma bang Gito aja yang bisa bantuin Gina sekarang. Nggak ada cara lain bang, bantuin Gina sekali aja dong bang, pliss ... Bukain pintunya."
Rengekan itu terlontar dari bibir Gina, sampai tiga menit lamanya Gina menunggu dan ia sendiri sudah bisa menyimpulkan bahwa Gito tidak benar-benar akan membukakan pintu dan memberi akses bagi Gina untuk melangkah dan menapaki lantai di dalam kamar Gito.
Sempat kecewa sebentar karena ia merasa sudah tak memiliki harapan lebih dan pupus secara tiba-tiba lalu menghilang entah ke mana, Gina pun mencoba lagi. Tidak boleh menyerah sesingkat itu, tugas ini lebih penting daripada apapun. Hukuman dari Pak Sudirman—guru matematika—terasa sangat menakutkan bila Gina terus memikirkannya.
"Gina hitung satu sampe tiga kalo bang Gito belum bukain pintu ini juga, terpaksa Gina bakalan dobrak nih."
Di tepi kasurnya, Gito terduduk dengan kaki yang menjuntai ke bawah, ia sedikit terkekeh mendengar ucapan Gina. Ia tidak ada niatan untuk membuka pintu itu, walaupun di dobrak sekalipun. Memangnya tenaga gadis kecil itu seberapa kuat? Tak berpikir proses ribet dan panjang sekalipun, sudah dipastikan Gina tidak akan bisa.
Selang beberapa detik saja, kekehan Gito terhenti karena terinterupsi oleh suara yang berasal dari pintu. Gito mengendikkan bahu tak acuh, sudah bisa dipastikan bahwa itu adalah Gina yang masih mencoba membuka pintu. Satu lagi, Gito mendengar dobrakan pintu yang lebih kencang dari sebelumnya. Ia sempat terlonjak kaget, ini benar-benar lebih kencang dari sebelumnya.
Selepas itu, selama tiga menit menunggu pintu di dobrak lagi, Gito menyerngitkan dahi. Selama itu pula keadaan kembali hening. Merasa aneh, Gito bangkit dari duduknya. Dengan berjalan mengendap bak maling, ia mengayunkan tungkai kakinya menuju pintu.
Gina udah pulang?
Gito membatin, karena merasa sangat kepo, ia pun memutuskan diri untuk beringsut membuka pintu. Saat pintu terbuka, keningnya semakin telipat ganda. Gina tidak ada. Apakah gadis itu sudah pulang ke rumahnya dan menyerah begitu saja? Sulit dipercaya, setahu Gito, Gina adalah gadis yang ambisius. Apapun yang dia mau pasti harus terkabul saat itu juga. Perlahan, senyuman Gito mengembang. Dengan bangga ia menutup pintu itu kembali.
Saat Gito bersiap akan merangkak naik ke atas kasur, suara ketukan pintu kembali terdengar. Gito mendesaah, dengan perasaan kesal ia melipat tangan didepan dadaanya.
"Gue nggak mau, mending lo sekarang pulang aja deh Gin. Gue mau tidur!"
"Ini mama, bukan Gina."
Mendengar itu, Gito segera berjalan ke arah pintu dengan langkah cepat. Suara itu memang suara mamanya, tidak mungkin Gina yang melakukan penyamaran, kan?
"Mama ngapain ke sini?" Setelah pintu terbuka dan Gito berdiri menghadap Farah. Cowok itu bersandar di daun pintu dengan satu tangan yang masuk ke saku celana tidurnya.
Wanita setengah baya itu tersenyum, tak lama sebuah satu gelas s**u rasa cokelat tersodor ke arahnya. Gito sempat terdiam beberapa detik. Tetapi itu tak berangsur lama, ia pun tersenyum, di susul menenggak s**u itu hingga tandas.
"Enak ma," ucap Gito sambil menyodorkan gelas yang sudah kosong kepada Farah.
"Hmm ... Itu Gina lho yang buat."
"Uhuk." Gito membulatkan matanya, "apa?!"
Tak lama setelah itu, terdengar suara derap langkah dari arah tangga. Gina muncul dari sana sambil cengar-cengir seperti orang stres.
"s**u buatan Gina enak ya bang. Makasih hehehe .... Nanti Gina buatin lagi deh."
"NGGAK USAH, MAKASIH!" Gito berdecak, suaranya terdengar tidak bersahabat. Tentu saja ucapannya itu membuat Gina sebal. Padahal saat meracik s**u itu tadi, Gina bahkan sangat sungguh-sungguh karena tidak mau Gito kecewa.
"Gito, jangan ngomong kayak gitu ah. Nggak baik, harusnya kamu makasih sama Gina."
Gito terdiam sejenak, bola matanya ia pindahkan dari Farah dan sekarang sudah mengarah kepada gadis perusuh di hadapannya ini. Tatapannya semakin berubah tajam.
"Oke, makasih perhatian dari elo. Dan gue mau tidur nyenyak, bay!"
Berucap penuh ketus dan terdengar sangat cepat, Gito berniat menarik kenop pintu untuk menutup akses keluar masuk kamarnya. Namun, sebelum pintu itu tertutup rapat, Farah sudah menyelanya.
"Gina udah baik sama kamu buatin s**u lho, dan sekarang kamu harus bantu dia ngerjain PR. Kasihan, dia nggak bisa."
Memutar bola matanya dengan cepat, Gito segera berucap, menyangkal segala penyelamatan yang Farah lakukan untuk menolong Gina, "kalo gitu, dia aja nggak bisa ngerjain apalagi Gito ma? Yang dapat materi kan dia, bukan Gito ataupun mama sekalipun. Harusnya dia berusaha dulu, urusan bisa atau enggaknya, itu bisa belakangan, yang paling penting ada sebuah tekad dan penuh percaya diri kalau dia sendiri mampu dan bisa mengerjakannya. Jangan apa-apa selalu bergantung kepada orang lain, hidup di dunia ini keras. Hanya kita sendiri yang bisa nyelamatin nyawa kita," jelas Gito, penuh bertele-tele, namun meninggalkan jejak bijak di sana. Gito pun tidak tahu kenapa ia sendiri bisa berkata selancar dan segampang menjentikkan jari.