BAB 1
Kenangan pahit itu memang menyakitkan, tetapi lebih menyakitkan jika kita berusaha melupakan kenangan itu, karena apa? Karena ketika kita berusaha menguburnya, kita malah akan selalu mengingatnya.
***
SESUATU yang dapat Gina lihat setelah berhasil menuruni anak tangga dan berjalan ke arah dapur adalah Bundanya yang tengah menata sajian hidangan pagi ini di atas meja.
Secara telaten, wanita yang tidak lagi muda itu tengah mengolesi beberapa roti tawar dengan selai cokelat dan dipadukan dengan selai keju.
Senyuman gadis itu mengembang sempurna, langkah kakinya semakin cepat. Pandangannya sama sekali tidak beralih dari sang Bunda. Dalam satu tarikan napas, ia menarik kursi ke belakang, dan kemudian menjatuhkan bokongnya di sana.
"Halo bundanya Gina yang cantik?" Sapa gadis itu pada Bundanya yang masih sibuk mengolesi roti tawar lengkap dengan sepasang sudut bibir yang lagi dan lagi tertarik ke atas.
"Hai juga sayang," balas Sandra, bunda Gina, ia melirik putrinya sekilas sambil tersenyum simpul, sedetik kemudian kata-katanya kembali menggema, "buruan makan nih rotinya, yang banyak biar belajarnya fokus," lanjutnya sembari menyodorkan tiga roti tawar sekaligus.
Sangat manis, itulah yang dapat orang lain lihat saat mendapati senyuman Gina yang tercipta. Tanpa menolak, gadis itu beringsut mengambil alih roti tawar yang masih melekat di tangan sang Bunda. Dengan rakus, ia mulai memasukkan makanan itu ke dalam mulutnya yang lebar.
"Pelan-pelan makannya sayang, jangan buru-buru, masih banyak kok," pesan Sandra pada Gina, lalu ia ikut duduk tepat dihadapan putri semata wayangnya itu.
Gina nampak tak peduli dengan pesan Bundanya seolah menulikan indera pendengarannya, menyadari akan hal itu, Bunda hanya menggeleng pelan. Gina seperti orang yang tidak makan selama satu Minggu, cara makannya sangat buru-buru.
"Uhuk-uhuk..."
Sandra berdecak, segera ia mengambil segelas s**u cokelat dan menggesernya ke arah Gina.
"Tuh, kan. Bunda, kan, udah bilang, makannya jangan buru-buru," omelnya tegas, disusul desahan berat.
Gina hanya mengangkat kelima jarinya, mengacungkannya ke udara, seolah dengan gerakan itu ia memberi kode kepada sang Bunda bahwa keadaan dirinya sekarang baik-baik saja. Sejurus setelah itu ia menenggak s**u cokelatnya hingga tandas tak bersisa.
Gina memang memiliki alergi pada s**u vanila, pada waktu itu ia baru menyadari ketika mengonsumsi minuman itu, seluruh tubuhnya akan meras gatal, bahkan sampai menimbulkan efek kemerah-merahan pada kulitnya. Sebab, setelah kejadian itu, Sandra melarang Gina untuk mengonsumsi s**u vanila lagi.
Hanya lima menit, Gina lantas bersorak heboh, ini adalah rekor terbaru bagi dirinya untuk menghabiskan makanannya. Ia bersiul senang, sampai Bunda menatapnya dengan pandangan takjub akan tingkahnya. Tak apa, Gina tidak peduli dengan itu.
"Kamu kayak orang gila, joget-joget nggak jelas," cibir Sandra.
"Hehehe ..."
Gina malah nyengir tanpa dosa, selepasnya ia kembali duduk di tempat semula. Pandangannya kini meredup, sebab ia tengah menyipitkan matanya, seperti ada yang aneh, itulah batin Gina.
Dan, gadis itu baru sadar atas kejanggalan di ruang makan keluarga ini, pantas saja terasa sangat sepi, rupanya ayahnya tidak ada di kursi favoritnya, di samping Sandra lebih tepatnya.
Pandangan Gina seketika beralih pada Bundanya, ia pun bertanya, "Bun, ayah di mana?"
Sebelum menjawab pertanyaan sang putri, Sandra menelan roti tawarnya yang masih menyumpal di mulut, setelah itu tangannya meraba dan berakhir disebuah gelas yang berisi teh manis. Sandra langsung menenggaknya sedikit karena masih sangat panas.
"Ayah kamu pergi ke kantor pagi-pagi sekali," balas Sandra santai dan dihadiah anggukan kecil dari Gina.
Gadis itu tiba-tiba teringat sesuatu atas kejadian kemarin, kejadian yang sungguh membuatnya kesal bukan main, kejadian yang mungkin akan ia ingat selalu. Ia kemudian berdecak kesal.
Wajahnya mendadak mendung, ekspresi cemberut sudah menghiasi wajah cantiknya.
"Kamu kenapa Gin? Nggak berangkat sekolah? Nanti kesiangan lho."
Gina menggeleng lemas diiringi wajahnya yang semakin kusut. Hal itu sukses membuat Sandra bertanya-tanya ada apa dengan anaknya itu.
Sejurus kemudian, wajah cantik Gina terangkat ke atas, langsung mensponsori wajah Bundanya yang menurut Gina masih sangat cantik walaupun umurnya sudah tidak bisa dibilang muda.
"Bun, Bunda bisa tolongin Gina nggak?"
"Emang Gina mau minta tolong apa? Ada masalah apa sayang?" tanya Sandra semakin penasaran. Ada masalah seperti apa yang sedang menimpa putrinya ini?
"Boleh anter Gina ke sekolah nggak? Bunda lagi nggak sibuk, kan?"
Sandra menggeleng, "memang bunda lagi nggak ada kerjaan, tetapi kenapa tiba-tiba minta dianterin sama Bunda? Biasanya juga sama bang Gito."
Gina nampak menghela napas, "itu dia masalahnya ada di situ, Gina lagi nggak mau ketemu sama bang Gito. Bang Gito jahat, bang Gito udah nggak baik sama Gina, pokoknya Gina lagi kesel sama bang Gito," kata Gina panjang lebar, mukanya tiba-tiba saja merah, kedua tangan dia lipat di atas d**a.
"Lho, emang kalian ada masalah apa?" tanya bunda sambil menggeser kursinya maju beberapa senti.
Ekspresi cemberut masih saja menghiasi raut muka gadis itu, secepat kilat ia mendengus sebal, lalu berkata dengan suara yang tidak bisa di bilang pelan.
"Bang Gito itu udah jahat sama Gina, masa kemarin Gina ajak ngomong, dia malah senyum-senyum sendiri sama HP, kan aneh, Gina jadi tambah kesel. Padahal Gina lagi curhat, eh taunya bang Gito sedang pacaran sama HP, padahal di situ, kan ada Gina, kenapa nggak senyum sama Gina aja? Pokoknya Gina nggak mau berangkat sama bang Gito!" jelas gadis itu panjang lebar sembari memajukan bibirnya.
Melihat Bundanya malah terkekeh pelan membuat perasaan Gina bertambah kesal.
"Ih bunda, kenapa malah ketawa sih? Nggak ada Tukul Arwana di sini tau, kalo mau ketawa nanti di kira orang sinting tau."
Sandra menggeleng cepat, walaupun ia masih ingin tertawa, namun bersikeras ia menahannya, tidak mau putri kecilnya itu bertambah marah.
"Gimana Bun, mau anterin Gina ke sekolah, kan?"
"Kamu berangkat sama bang Gito aja," singkat Sandra padat.
Gina segera merajuk, "ih bunda, Gina tadi kan, udah ngomong kalo Gina tuh lagi kesel sama bang Gito, kenapa malah nyuruh berangkat bareng? Gina juga bakal marah nih sama Bunda."
Wanita paruh baya itu tersenyum tipis, "Bunda bakal ngomong sama bang Gito, kamu tenang aja," tenang Sandra dengan suara lembut, khas seorang ibu-ibu yang memiliki jiwa perhatian.
"Beneran Bun?" Wajah Gina seketika berbinar senang.
Sandra mengangguk sekilas, dan Gina kembali menunjukkan wajah cerianya.
"Ya udah sekarang aja Bun, bang Gito pasti belum berangkat," ujar gadis itu bersamaan dengan kursi yang ia geser ke belakang, ia langsung berlari kecil ke arah Bundanya, menggenggam lengan sang Bunda, lalu menariknya agar segera berdiri.
"Iya iya, kamu yang sabar dong."
Gina tak begitu mendengar perkataan Sandra, ia malah melontarkan kalimat lain, "pokoknya Bunda harus bikin bang Gito setuju berangkat sama Gina, Bunda juga harus bilang ke bang Gito supaya nggak marah sama Gina lagi."
Dahi Sandra berkenyit bingung, "bukannya kamu yang lagi kesel sama bang Gito?"
"Terserah Bunda aja deh, Gina mau ambil tas dulu, bunda bilang dulu gih sama bang Gito biar pas Gina sampai di sana, nanti bisa langsung berangkat."