Kamu magnet yang sesungguhnya, yang selalu menarikku ke dalam dekapan nyata, yang hidup di depan mata, dan menciptakan debaran jantung yang menggila
***
BEGITU tungkai kakinya berhenti di hadapan Gina, Gito segera menjatuhkan telapak tangannya di bahu kiri gadis itu, Gina yang awalnya tidak menyadari kedatangan Gito—karena sedari tadi sibuk menunduk diri dengan muka masam—seketika langsung menengadah kepalanya, secepat kilat ekspresinya kian berubah menjadi senyuman riang.
Kali ini, Gito ingin mengakui sesuatu yang sangat jarang, melihat tebar pesona Gina yang mengangkat sepasang sudut bibirnya ke atas membuat Gito lega. Gina adalah gadis yang manis kalau di lihat dari jarak sedekat ini, namun Gito tidak bisa membandingkan gadis itu dengan Misa.
Mereka dua orang yang berbeda, dan yang paling Gito sukai dan tidak ada pilihan yang lebih menarik adalah senyuman dari sang kekasih. Baginya, tidak ada seulas senyum paling memabukkan dari seorang Misana Adira, termasuk Gina sekalipun.
Gina yang semula berdiri dengan bahu melemas dan merosot ke bawah, sekarang seolah mendapatkan suntikan tegangan listrik yang sangat tinggi. Gadis gila itu memekik nyaring, nyaris menciptakan teriakan yang siapa saja pasti terkejut mendengarnya.
Pandangannya tidak berpindah dari Gito, seakan ia baru pertama kali bertemu setelah jarak yang memisahkan beberapa tahun lamanya. Tidak sampai di sana saja, Gito dibuat tercengang oleh perlakuan Gina, tingkah bodohnya membuat Gito mencibir tidak suka. Bagaimana tidak? Gadis itu melompat-lompat sembari menggenggam tangan Gito dengan erat, seerat memegang tali besar pada saat lomba tarik tambang pada acara Agustusan.
Gito berdesis pelan, disusul merotasikan kedua bola matanya, ia sendiri jengah dengan tingkah Gina. Oke, gadis itu memang tidak mengganggu dirinya, hanya saja Gito dibuat terganggu oleh itu. Di sini ia berasa tua sekali meladeni Gina yang sikapnya mirip dengan anak SD—ralat, mungkin bisa dikatakan seperti anak PAUD atau TK.
"Udah stop! Jangan alay, lo sekarang nggak lagi main t****k, bisa berhenti lompat-lompat nggak jelas gitu nggak?!"
Gito mencibir, dia menghempaskan tangan Gina yang masih saja bergelantung manja di lengannya. Setelah itu, Gito berkacak pinggang, matanya yang legam itu terus terpancar dan tidak tahu kapan berhenti menatap Gina.
Gadis itu nyengir lebar, tepat sedetik setelahnya ia berkata dengan heboh, "habisnya Gina seneng banget lihat bang Gito, hehehe ...."
Gito menghembuskan napasnya dengan kasar, "Lo ngapain di sini?" tanyanya dengan nada suara tidak bersahabat, bahkan terdengar lebih kencang dari ucapan sebelumnya, kali ini naik beberapa oktaf.
"Berdiri lah. Bang Gito, kan, bisa lihat sendiri kalau Gina nggak duduk, padahal bang Gito punya mata tuh, nggak usah tanya juga pasti udah tahu," balas Gina panjang lebar dalam satu tarikan napasnya.
Gito dibuat bingung, bola matanya melotot. Ya ampun, bicara dengan Gina seakan mencekik lehernya, bisa berabe Gito kalau seperti ini caranya. Cowok itu lalu mengusap wajahnya dengan frustasi, butuh kesabaran ekstra merupakan pelarian satu-satunya untuk situasi sekarang ini.
"Bukan gitu maksud gue tolool, lo ngapain nggak masuk sekolah?"
Gina cemberut, "Gina tahu kalau Gina nggak pinter, tapi ucapan bang Gito bikin dadaa Gina sakit, jangan dipertegas kata toloolnya dong bang, malu ih kalo ada yang dengar."
"Udah, nggak usah banyak cerewet, ngapain lo nggak berangkat sekolah?!"
Masih dengan perasaan jengkel, Gito memilih melipat kedua tangannya di atas dadanya. Kemudian beberapa detik setelah itu kening Gito nampak berlipat ganda, muncul kerutan lebih dari satu di sana, itu tandanya ia bingung. Bagaimana tidak bingung coba? Gadis itu malah tertawa, apa yang lucu? Fiks, Gina sudah stres.
Menyadari Gina yang tidak kunjung berhenti memekik histeris, terus saja memunculkan gelak tawa membuat Gito berinisiatif memeriksa lingkungan sekitar, ia tidak menemukan apapun yang sekiranya lucu atau memunculkan bau humor. Tidak ada sama sekali, parkiran ini sepi.
"Kenapa lo malah ketawa, jangan bilang lo kesurupan, ya?!" Gito menahan napasnya sesaat, lalu dilanjutkan menjauh dari Gina dengan cara melangkah mundur satu langkah dari gadis itu. Tatapannya memang tidak berpindah dari Gina.
"Tenang aja, Gina nggak kesurupan kok bang," sangkal Gina cepat, masih diselingi dengan tawa kecil. Ini lebih baik, daripada terbahak seperti sebelumnya yang entah kenapa membuat bulu kuduk Gito meremang.
"Terus, ngapain lo ketawa?"
"Habisnya bang Gito lucu sih, jangan salahkan Gina kalo Gina ketawa dong, siapa suruh ngelawak di sini?"
Gito menggeleng cepat, ia tidak setuju dengan pernyataan Gina barusan itu. Ada dua alasan, yang pertama adalah ia sedari tadi bertanya serius tentang keberadaan gadis setengah b***t ini kenapa ada di parkiran sekolah dan tidak masuk kelas. Dan yang terakhir, di sini ia tidak ngelawak sama sekali, bagaimana Gina menyimpulkan itu sedemikian rupa sampai tertawa keras seperti itu?
"Siapa yang lagi ngelucu?!" Dengan sewot, Gito berseru lantang.
"Abang lah."
"Gue bukan Abang lo."
"Siapa yang bilang kalau bang Gito itu Abangnya Gina? Gina juga bakal mikir-mikir dulu kali kalau mau punya Abang kayak bang Gito yang ngeselin. Tapi nggak pa-pa sih, bang Gito ada sedikit kelebihannya juga."
Sudut mata Gito menyipit, Kesambet setan apa sekarang sampai Gito merasa sangat penasaran dengan perkataan Gina yang menyangkut tentang kelebihannya itu.
"Emang apaan?"
"Bang Gito ganteng, hehehe ...."
Gina menggigit jarinya, ia tersenyum kecil sambil menatap Gito malu-malu kucing lengkap dengan pipinya yang merah merona bak kepiting rebus.
"Udah, kembali ke topik awal, kenapa lo nggak masuk sekolah?!" Bentak Gito yang sudah tak sabar sedari tadi.
"Tuh kan ngelawak lagi, serius dong bang."
"Ini dari tadi gue serius, elo-nya aja yang ketawa nggak jelas, bikin gue kesel aja!" gerutu Gito sebal.
Gina berucap cepat, "Gina sekarang, kan, udah ada di sekolah, ngapain bang Gito tanya kenapa Gina nggak masuk sekolah? Bang Gito salah itu, sekarang Gina ada di sini, bukan di rumah."
Gito seketika sadar. Oke, kali ini ia sadar kalau yang salah itu dirinya, namun ia bisa mengendalikan ekspresinya agar tetap tenang, dengan segera ia meralatnya.
"Oke, kenapa lo nggak masuk ke kelas? Dari tadi pagi lo di sini?"
Secara cepat, Gina mengangguk penuh semangat, dan itu sudah merupakan bukti ampuh kalau gadis itu membenarkan tebakan Gito.
Decakan singkat lolos lagi dari bibir Gito, "ngapain aja di sini selama itu?" Gito terus menatap nyalang pada Gina, ia kemudian baru sadar kalau gadis di hadapannya ini masih mengenakan helm.
Gina mau pulang sekarang?
"Nunggu bang Gito ke sini, hehehe ...."
"Ngapain nunggu gue, emang lo tahu kalau gue bakal ke sini?" Gito berdecih lagi.
"Insting Gina tuh kuat tahu, lagian dari tadi pagi bang Gito juga belum ngelepasin helm di kepala Gina, jadi Gina nggak mau pergi dari sini sebelum helm ini dilepas sama bang Gito."
Bola mata Gito hampir saja keluar, ia juga tersedak oleh ludahnya yang tertahan di mulutnya. Hanya masalah Gito tidak mau melepaskan helm dari kepalanya, gadis itu sampai tidak masuk kelas dan tidak mengikuti pelajaran?
Gadis ini benar-benar sangat ajaib, kalau tadi pagi Gito menolak, kenapa tidak ia lepas sendiri? Sampai detik ini, Gito dibuat takjub oleh Gina.
Fiks, Gina sudah terkena gangguan mental.