SEBELAS
Shasa melangkah dengan langkah berat memasuki appartemen sederhana kakaknya. Sedangkan kakaknya terlihat tengah berdiri angkuh dengan kedua tangan yang melipat di d**a dengan tatapan sedalam sumur kearahnya.
"Kemari, lebih dekat lagi sama kakak!"perintah suara itu angkuh.
Shasa dengan langkah pelan, dan kepala yang menunduk dalam, melangkah lebih dekat kearah kakaknya, lebih tepatnya kakak angkatnya.
"Kenapa Shasa harus sekolah di sini, kak? Shasa nggak mau jauh sama mama."ucap Shasa takut-takut setelah perempuan itu berada tepat di depan kakaknya.
Pian terlihat berdecak kesal di tempatnya dan memandang sinis kearah Shasa.
"Kalau kamu di tinggal lebih lama di sana, ntar kamu manfaatin mama papa aku. Kebanyakan anak angkat jaman sekarang itu ngelunjak di banding anak kandung."ucap Pian kejam.
Membuat kepala Shasa yang terangkat sedikit tadi kembali menunduk dalam.
Pian merutuk dalam hatinya, karena membuat Shasa terluka dengan kata-katanya barusan. Nyatanya, Pian takut Shasa akan terpikat dengan laki-laki lain apabila ia meninggalkan Shasa selama dua tahun. Rasa sialan yang namanya suka dan cinta telah tumbuh di hatinya untuk adik angkatnya. Sialan! Entah ini kutukan atau berkah yang di rasakan oleh Pian saat ini untuk Shasa.
"Aku nggak kayak gitu, kak."Ucap Shasa membela dirinya dengan mata yang memerah kali ini. Siap menumpahkan airnya.
"Huh, cengeng! Jangan nangis. Kakak nggak mau kamu nakal dengan laki-laki lain selama kakak nggak ada. Sudahlah, terima aja nasib kamu Sha. Kodrat anak angkat itu, ya harus nurut sama yang anak kandung. Kakak mau lindungi kamu dari laki- laki hidung belang. Itu aja. Sekarang kamu pergi
mandi, setelah itu tidur siang. Ingat, harus nurut, dan patuh sama kakak."Ucap Pian panjang lebar dengan raut wajah yang anat datar.
Shasa hanya bisa membeku di tempat yang sama, Shasa tidak bisa apa-apa, ia berada di level yang rendah, tidak mampu untuk sekedar membalas ucapan- ucapan pedas kakaknya. Shasa juga takut apabila membangkang pada kakaknya, melihat betapa sayangnya papa angkatnya, Mike pada kakaknya. Shasa juga takut sama papa angkatnya, dia terlihat menyeramkan sebelas dua belas dengan kakaknya, dingin walau lebih jahat kakaknya.
Nyatanya, Pian bukannya melindungi Shasa. Tapi laki-laki itu malah menjadi penjahat utama dalam hidup Shasa dengan segela tingak mesumnya serta kata-kata pedas, dan kejamnya yang tak sedap di dengar oleh indera pendengar Shasa.
Kalau tau begini, Shasa lebih rela nggak lolos ujian apabila harus jauh dari mamanya, dan tinggal serumah, dan hanya berdua dengan kakaknya. Ini sangat menyeramkan.
Menyeramkan, yang tidak bisa Shasa deskripsikan di kala kakaknya menodai dengan brutal kesuciannya karena api cemburu yang melanda laki-laki itu. Hiii! Shasa akan bergidik ngeri apabila memorinya memutar ulang tentang kejadian laknat itu. Shasa nggak sanggup untuk membuka cerita itu, mungkin nanti, tunggu ia siap lahir, dan batin.
"Sayang, jangan buat kakak takut!"Ucap suara itu panik dengan kedua tangan yang mengguncang sedikit kuat kedua bahu isterinya. Isterinya bagai patung dengan tatapan mata yang nyalang kearah depan. Sontak saja membuat Pian yang baru berada di ambang pintu berlari cepat menuju tempat duduk isterinya.
Shasa tersentak dari segala lamunan panjangnya setelah ia merasa tubuhnya di goncang kuat oleh sepasang tangan yang besar, dan kekar.
Shasa menatap nyalang kearah suaminya dengan kedua mata yang siap menumpahkan airnya. Dengan tangan yang lemas, Shasa berusaha melepas pegangan erat tangan suaminya di kedua bahunya. Ternyata berhasil, Pian mengalah, dalam artian laki-laki itu menurut pada keinginan isterinya yang tidak ingin di sentuh olehnya saat ini.
Shasa membuang pandangannya kearah lain, lebih tepatnya kearah anaknya yang sedang terlelap dengan raut wajah sedih dan merah karena tangisan panjangnya tadi.
"Kakak mohon. Jangan diam!"mohon Pian lirih dengan wajah yang kacau.
Darah yang berada di sudut bibirnya, telah kering karena tidak sempat di bersihkan oleh laki-laki itu dengan jarinya karena terburu ingin segera menemui anak, dan isterinya.
"Tolong, keluarkan suaramu, Sha. Walau itu berisi makian, dan umpatan untuk kakak."Mohon Pian dengan kedua tangan yang menyatu mohon pada Shasa.
Tapi, sedikitpun Shasa tidak menoleh kearahnya. Hati perempaun itu terlanjur sangat sakit. Mungkin, kesalahan, dan sikap pengecut suaminya kemarin-kemarin masih bisa di maafkan oleh Shasa dalam artian ia masih sabar menunggu saat di mana suaminya itu berani mengakui di depan kedua orang tua mereka, dan umum kalau mereka telah menikah bahkan telah memiliki anak yang sedang dalam tahap pertumbuhan menuju remaja awal.
Tapi sikap suaminya sangat pengecut, dan b******k untuk kali ini. Terbuat dari apa hati laki-laki itu yang dengan tega tidak mengakui anaknya sendiri, bahkan pura-pura tidak mengenalnya di depan umum. Tidak taukah, Pian? Kalau Rangga sangat tersakiti, dan terluka akan kelakuannya. Kata-kata, dan perlakuannya akan membekas kuat dalam memori anaknya. Kata-kata Pian mematikan semangat anaknya.
"Please, Sha. Ampuni Kakak. Kakak menyesal."Pian menjatuhkan dirinya di depan kedua lutut Shasa kali ini.
Shasa memberi respon kali ini berupa tatapan sinis, dan rasa benci yang amat besar, membuat Pian mencelos dengan wajah yang pias. Tatapan Shasa kali ini berbeda dengan tatapan marah wanitanya sebelumnya, bahkan tatapannya saat ini lebih seram di banding dengan tatapan dimana ia memperkosa dengan brutal adiknya dulu.
"Kakak menyesal. Maafakan kakak. Kakak ak---"
"Rangga anak papa. Hiks… Rangga anak papa. Hiks."Igauan pilu Rangga memotong telak ucapan Pian.
Spontan Shasa bangkit dari dudukannya, dan memberi tendangan kuat pada perut Pian membuat Pian tersungkur dengan mengenaskan di lantai.
Pian membeku di tempatnya karena mendapat tendangan kuat dari Shasa. Sedang Shasa telah berada di atas ranjang, dan mendekap anaknya lembut serta membisikkan kata-kata menenangkan untuk anaknya. Tapi sepertinya pelukan dan kata-kata menenangkan dari Shasa tidak menyurutkan Rangga dalam mengigau.
"Rangga anak papa-kan? Hiks...hiks"Igau Rangga dengan mata yang terpejam erat tapi air mata anak itu mengalir deras.
Hati Pian mencelos melihat wajah anaknya yang menyedihkan, dan air mata Rangga sangat menyakitkan hati Pian.
Pian menjatuhkan dirinya dengan kasar diatas ranjang, tanpa membuka sepatunya terlebih dahulu. Dan mengambil alih Rangga dalam pelukan
Shasa, dan di bawah olehnya tubuh anaknya diatas tubuh kekarnya, dan mendekapnya erat.
"Sinikan anakku. Aku nggak sanggup lagi hidup dengan laki-laki pengecut, dan b******n sepertimu."ucap Shasa sinis dengan raut wajah datarnya, dan berusaha mengambil alih tubuh Rangga dari Pian, tapi Pian mendekap anaknya erat membuat Shasa kalah, dan tidak berhasil mengambil alih anaknya.
"Diam, Sha. Aku mau minta maaf sama anak’ku dulu."bisik Pian lirih, dan mengeratkan lagi pelukannya pada tubuh anaknya membuat Rangga merasa sesak.
Shasa berdecih, dan bangkit dengan kasar dari baringannya. Rasanya Shasa jijik berada dalam jarak yang dekat dengan Pian hari ini.
Pian menghiraukan Shasa dulu untuk saat ini. Ia ingin bersimpuh pada anaknya. Memohon ampun atas perlakuan kejamnya tadi.
"Maafkan Papa."bisik Pian menyesal dengan mata yang memerah menahan tangis melihat wajah merah, dan mata bengkak anaknya.
Pian menahan nafasnya kuat melihat kelopak mata Rangga yang bergerak pelan. Sedetik, dua detik, dan, tiga detik mata bulat yang biasanya jernih itu terbuka lebar. Ada keterkejutan dalam sinar mata Rangga melihat wajah Pian yang begitu dekat dengannya.
Perlahan, raut wajah Rangga berubah sedih lagi dengan raut wajah yang menahan tangis.
"Jangan nangis, sayang. Papa mohon, jangan nangis lagi."bisik Pian serak dengan air mata yang telah merembes kali ini. Melarang anaknya menangis malah dia sendiri yang menangis.
Shasa membuang tatapannya kearah lain. Shasa tidak sanggup melihat wajah terluka anaknya.
"Hei, sayang. Papa kasih tau satu rahasia. Papa sering bilang’kan. Kalau papa punya rahasia sama Rangga?"Tangan Pian merangkum lembut dagu anaknya, dan menatap dalam dengan sinar mata menyesal kearah Rangga.
"Rangga bukan anak papa."Ucap Rangga sedih dengan nada lirihnya.
Pian menggeleng lemah.
"Kamu anak papa. Anak kandung papa. Demi langit, dan bumi. Kamu anak kandung papa dan mama. Papa kasih tau satu rahasia papa. Rangga dengar baik-baik, ya."Ucap Pian masih dengan nada seraknya.
Rangga mengangguk lemas dengan sebelah tangan yang mengurai air matanya yang merembes.
Maafkan, Papa. Jerit hati Pian kuat di dalam sana.
" kamu dengar, ya. Jangan sedih setelah papa kasih tau rahasia yang papa miliki."Ucap Pian dengan raut seriusnya.
Shasa ikut mencuri dengar pembicaraan antara Pian, dan anaknya. Shasa ikut penasaran, rahasia apalagi yang di miliki suaminya?
"Papa tadi lagi akting sama Rangga. Ada yang rekam diam-diam, lo, pada saat Rangga ketemu papa, dan memeluk papa tadi. Tadi itu bohongan, sayang. Jangan percaya, ya. Rangga ikut main film tadi. Sehari-hari juga Rangga main film di rumah sama mama, dan papa. Nanti papa kasih lihat videonya."dusta Pian lancar dengan nada yakinnya. Uuntung ada cctv disetiap sudut rumahnya yang di pasangnya. Untung juga idenya encer tadi.
Shasa membeku kaku di tempatnya mendengar ucapan palsu yang mengalir dengan begitu lancar dari mulut pahit suaminya.
Rangga? Mulut anak itu menganga lebar mendengar penjelasan panjang papanya.
Benarkah ucapan papanya barusan?
Tbc