PERTEMUAN

2604 Kata
Jovanka tersenyum kecil melihat Jovanka dan Ryu duduk diam-diam an. Emm..intip ah. Habis nganter om pocong tadi dengan catatan terpaksa, catat kalau perlu diperhatikan dan diteliti baik-baik, bahwa dia terpaksa. Daripada tuh orang tua ngomongnya enak, alus, tapi, buntut nya ngatain, mending di angkut. Ngomong-ngomong ini diam-diam an doang nggak ada yang inisiatif untuk memulai pembicaraan, atau mungkin kangen-kangenan. Ngehehe "Hai, apa kabar?" Suara mendayu-dayu, Jovanka yakin Johannes sedang dag dig dug seer denger suara pujaan hati yang semakin adem. "Nggak mau di jawab?" "Fine." Tak jauh dari sana Jovanka duduk bersila menopang dagu melihat Johannes masih diam dan Ryu masih menunggu jawaban dari kembaran sahabatnya itu. "Syukurlah." Jovanka tertawa tanpa suara, tepuk tangan pun nepuk angin melihat muka masam Johan. Dia yakin Johannes menginginkan reaksi yang berbeda dari kata fine, selain syukurlah. Mungkin seperti, "Kok fine sih, harusnya kamu marah, kesal, aku pergi tanpa pamit, di sana pun tidak ada kabar. Kamu anggap aku apa? Apa?" Emm… seperti di drama-drama di tinggal pergi pujaan hati pas lagi sayang-sayangnya. HIYAAAAA "Khem," Johannes berdehem, Ryu menatapnya dengan kedipan-kedipan yang selalu buat dia terpeleset ke hati Ryu. Anzaayy "Ah, aku punya sesuatu buat kamu sama Jovan. Sebentar," Ryu terlihat lebih heboh mencoba mencairkan suasana, dan merogoh tote bag miliknya. Gadis cantik itu mengeluarkan boks kecil berwarna putih, begitu dibuka terlihat gelang giok berwarna biru laut. Masing-masing terdapat inisial nama di sana. "Aku sengaja memilih yang kecil bola-bolanya, aku tau kamu nggak suka yang terlalu mencolok." Ryu tersenyum menata gelang-gelang itu di atas meja kayu, "ini buat Jojo, ini buat Anka, dan ini buat Ryu." ucapnya mengulurkan tangan ke arah Johannes yang hanya mendapat tatapan bingung. "Ckh, tangan kamu sini aku pakein." tuturnya mencondongkan diri meraih tangan Johannes. Namun lelaki itu lebih dulu meraih gelang inisial miliknya lalu memakainya sendiri. "Itu punya aku__" "Mau di maafin kan?" Ryu mempoutkan bibir matanya mendelik tak suka. "Iya, udah. Maafin tapi ya," "Hem." "Aahh… terasa lagi nonton telenovela marahan nya bentaran doang, kesel deh." celetuk Jovanka kelepasan. "Ups! Hehehe." nyengir ketahuan mojok ngupingin mereka. Ck, dia kira lagi ngomong dalam hati, tau nya… anzing lah. "Anka," Ryu berdiri melihat Jovan mendekatinya dengan muka datar. "Nggak usah dipaksain gitu mukanya, nggak cocok." kata Ryu polos. Saking polosnya, Jovanka pengen Cemplungin di pasir nih anak. "Bangggg… gebetan lo nyebelin." dengus nya nggak jadi mengumpat dapat tatapan menusuk dari si abang. "Apa sih." sanggah Ryu, dalam hati lagi loncat kesenangan. "Heleh, tau gue hati lo lagi lompat-lompat bawa spanduk kan, ngaku lo." "Anka ihh." Ryu lirik Johannes yang lagi buang muka nahan malu sekaligus kesal punya adek yang durhakanya minta di tebas bibirnya. Jovanka mencibir, "Sekali lo manggil anka, gue jejelin coklat rasa t*i ayam. Dikira gue Caca Handika angka satu apa," ketus Jovan dan yang Ryu lakukan hanya berlari memeluk sahabatnya. "Kangen. HUAAAA…" "Juga. HUAAAA… " Johannes berpasrah diri dari makhluk-makhluk aneh yang sedang saling bersahutan, seperti pemburu babi saling bersahutan untuk mempermudah proses buruan babi imut mereka. *** Haris terpaksa kembali ke kantor dengan taksi, tiba di sana karyawan pada bubar pulang ke rumah masing-masing. Iyalah udah malem begini. Jadi terpaksa dia putar haluan setelah mendapat telepon dari sang bos, siapa lagi kalau bukan tuan muda Aziel. "Dari mana aja sih?" "Mejeng sis, ihhh... cucok deh." "Bangsat." "Hehe. Ngomong-ngomong ini mau kemana lagi bos?" Azriel mendengus pelan, "Ya pulang lah, yang dicari nggak ada." "Emang bos mau cari apa sih di toko barang antik kayak gini?" "Itu pasangan cincin ini, tapi nggak ada, mending balik aja lah." jawab Aziel. "Ini beneran masih jam 9 malam mau pulang? nggak party dulu?" ejek Haris. "Jangan bikin godaan lagi deh, nanti ada berita headline di surat kabar gara-gara saya nge club malam," ucap Aziel kesal. "Hehehe canda bos, yuk cus, pulang aja dah malam," "Eh makan dulu aja deh, saya lapar. Tapi kayaknya resto usah pada mau tutup ini, jam sembilan lebih gini," "Lha? Eh, mau makan di angkringan gak? Situ kan belum pernah kan ngerasain makan di kaki lima," ajak Harris. " Higienis nggak tuh? kan tempatnya lesehan pinggir jalan lagi?" tanyanya bergidik ngeri. Bagi orang sekaya Aziel tentu belum pernah sekalipun merasakan makan di angkringan kalau bakso sering. Njirr, sama aja. "Heleh gaya nya. Udah nggak usah banyak tanya, penting situ nggak kelaparan," ucap Haris. Mobil mewah milik Aziel melaju perlahan menyusuri suasana malam di kota. Bekas hujan gerimis ditemani sorot lampu kota yang meredup. Menambah hangat suasana malam. Ditambah lalu lalang kendaraan yang mulai terlihat jarang membuat sedikit nyaman setelah berkutat dengan kemacetan di siang harinya. Tidak butuh waktu lama keduanya telah sampai di sebuah warung angkringan di sudut sebuah perempatan. Suasana ramai menjadi sambutan bagi keduanya ketika pertama kali menjejakkan kaki di sana. Anak-anak muda yang berkumpul, berbincang dan menghabiskan malam ditemani secangkir kopi hangat. Alunan musik dari gitar akustik menambah kehangatan suasana di warung tenda sederhana tersebut. "Kita duduk dimana?" tanya Aziel yang terlihat kebingungan. "Di pojok sana saja, kayaknya kosong," tunjuk Haris menunjuk ujung warung sederhana itu. Aziel menurut saja dengan ajakan Haris. Setelah duduk keduanya langsung memesan nasi kucing yang ada di meja. Lengkap dengan lauk gorengan dan sate telur puyuh. Tidak lupa segelas kopi hitam hangat. "Ini yakin kita makan ginian?" tanya Azriel sekali lagi. "Udah makan saja, kamu pasti doyan, ini enak kok," bujuk Haris. Dengan berat Aziel mencoba menyuapkan sesendok nasi kucing ke dalam mulutnya. Dia mencoba menikmati makanan yang barusan masuk ke mulutnya. Tak berselang lama wajahnya langsung berubah. Dia tersenyum senang. Sepertinya Aziel menikmati nasi kucing yang baru pertama kali disantapnya. "Ternyata enak loh," kata Aziel girang. "Baru pertama kali saya makan kayak gini, enak banget ternyata," lanjutnya. "Saya bilang juga apa bos, yok habiskan, nambah lagi juga gak papa," "Ya, nggak masalah kan saya juga yang bayar termasuk bayarin situ," "Hahahaha," Harris tertawa mendengar. "Saya tambah 5 lagi deh, porsinya kecil-kecil," ucap Aziel. Haris hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah bosnya itu. **** "Ini kalung buat apa ya? kenapa sih kakek malah ngasih gue kalung ginian?" sungut Jovanka karena kesal. Dia berjalan seorang diri melewati malam. Tak berapa lama datang Johannes yang sedari tadi mencari adik kesayangannya itu. "Kamu kemana aja sih? udah malam tau ayo pulang!" ucap Johannes. "Ye ini juga perjalanan pulang bang, untung aja lu dateng gue nggak bisa jalan kaki nih sampai rumah." "Ya lagian motor lu mana sih, hah!? Otak emang selalu kadang-kadang ya," "Ish, bukan gitu. Gue lupa punya motor, punya sepeda, punya mobil sport, punya…" "Ya udah gue cabut dulu ya? Anda terlalu songong." canda Johannes. "Woy k*****t! jangan lah, si cantik disuruh jalan kaki? enak aja," teriak Jovanka. "Ya udah ayo naik jangan kelamaan, gaya banget punya ini itu." ledek Johannes. Jovanka cuman manyun naik di boncengan Johannes. "Tadi, gimana? Nganternya sampai depan pintu kamar atau__" "Sekali ngomong, gue sikut lu." "Ish, jahat." Kedua kakak beradik itu segera bergegas pulang. Di tengah perjalanan, Jovanka mengeluh lapar. Dia memang belum makan, nunggu Johannes taunya si abang lagi berbunga-bunga. "Bang gue laper, makan dulu yuk, " ajak Jovanka sambil memegang perutnya. "Jangan bilang… haish!" "Hehe, kan tadi udah janji suapin. Tapi, Jojo lama di rumah Ryu." Johannes jadi merasa bersalah. "Ya udah, maaf. Kita makannya di rumah aja ya, entar gue buatin nasi goreng. Mana ada rumah makan buka malam hari kayak gini? udah pada tutup." "Ke angkringan ajalah, kita pesan makanan tapi dibungkus." ucap Jovanka. "Yakin mau ke angkringan?" "Iya lah daripada gue mati kelaparan," ucap Jovanka. "Mulutnya." "Hehe." Keduanya segera bergegas menuju angkringan di sudut sebuah perempatan. Dengan riang Jovanka memasuki warung tenda yang lumayan ramai dengan para pemuda. Di saat dia masuk para laki-laki yang sedang ngobrol di warung itu sekilas memperhatikan Jovanka. Siapa yang tidak terpana melihat gadis cantik yang masih remaja sedang sendirian di warung yang hampir 90 persen pengunjungnya adalah pria? Hingga ada laki-laki yang berniat untuk mendekati atau mungkin menggoda Jovanka. Namun baru akan melangkah dia melihat seorang pria yang memeluk Jovanka. Siapa lagi kalau bukan Johannes sang abang. "ish, ngapain sih peluk-peluk gue kak? gue bukan pacar elu bang!" keluh Jovanka yang merasa risih dengan tindakan abangnya itu. "Udah lo nurut aja deh, elu mau digodain pria-pria yang nongkrong disini?" balas Johannes. Jovanka hanya menggeleng pelan. Mata Jovanka tak tinggal diam begitu saja. Emang dari lahir dia terlahir sangat hiperaktif hingga dalam kondisi kayak gini pun dia masih sempat jelalatan melihat suasana sekitar. Penglihatannya terhenti sejenak ketika melihat ke arah ujung angkringan tersebut. Tempat dimana Aziel dan Haris sedang menikmati nasi kucing untuk meredakan lapar mereka. "Bang, liat deh, tuh orang makannya kayak rakus banget ya, masak habis lima bungkus? kesurupan apa gimana tuh orang?" tanya Jovanka kepada sang abang. "Hust udah biarin, jangan ikut campur urusan orang nggak baik." kata Johannes mengingatkan. Sifat Johannes memang berusaha sabar dan memberi contoh yang baik untuk adiknya itu. Walaupun Jovanka sangat badung dan kadang menjengkelkan bagi Johannes, dia tetap sangat menyayangi adiknya tersebut. Ngomong-ngomong Jovanka merasa asing dengan teman si rakus tadi. Kek pernah ketemu, dimana gitu. 'Ah, bodoh lah. Entar otak gue ngambek diajak mikir.' Keduanya memesan beberapa bungkus nasi kucing lengkap dengan lauknya berupa gorengan dan sate telur puyuh. Serta dua bungkus teh hangat sebagai minumnya. Setelah pesanan diterima, Johannes langsung segera mengajak sang adik pulang karena malam semakin larut. "Tadi di toko barang antik ngapain? Suka banget perasaan kesana." tanya Johannes. "Em… tadi nyari kalung beruang, eh malah di kasih kalung berkunci sama si kakek," ucap Jovanka dengan riangnya. "Kalung antik? emang harganya berapa?" tanya Johannes "Nggak tau, hehehe." jawab Jovanka sambil cengar-cengir menyimpan sesuatu yang tersirat. Namun bukan Johannes jika tidak bisa menebak gelagat sang adik. "Pasti belum bayar?" tebak Johannes. "Hehehe, iya, besok bayarin ya bang please," ucap gadis itu sambil memasang muka manjanya, Johannes jelas melihatnya dari kaca spion motor vespa retronya. "Kebiasaan!" "Ye, makasih abangku yang paling ganteng," rayu Jovanka sambil memeluk kembarannya itu. "Hem." *** "Bangun woy bangun udah siang nih!" teriakan nyaring Jovanka terdengar. Gedoran keras pun berulang kali terdengar dari luar kamar Johannes. Anak ini memang selalu membuat ulah tiap hari. Seperti pagi ini Jovanka berusaha membangunkan Johannes walaupun masih jam setengah enam pagi. "Apaan sih tuh bocah, rese mulu kerjaannya?" gerutu Johannes kesal. Dia berusaha tak menghiraukan teriakan dari Jovanka. "Bang woy bangun udah siang," teriaknya lagi. "Iya, iya gue bangun ada apa sih pagi-pagi kayak gini gedor-gedor kamar orang? kayak mau nagih hutang aja." ucap Johannes. "udah setengah enam, cepet mandi, ini hari senin bang." kata Jovanka. "Palalu hari senin. Lagian tuh orang tumben-tumbenan bangun pagi, biasanya juga gue yang gedor." Jika sudah berurusan dengan Jovanka, Johannes tidak akan lagi menjadi dingin dan irit ngomong seperti pagi ini di penuhi dengan omelan Johannes. *** "Udah lu cek belum tuh motor? jangan sampai mogok kayak kemaren ya?" ejek Jovanka. "Aman. Gue duluan, lu make sepatunya lama." ucap Johannes meledek sang adik. Dia langsung ngacir mengendarai motornya. "Ye, dasar kutu kupret, gue kejar elo, emangnya gue nggak bisa ngebut apa?" teriak Jovanka. "Jovan, jangan ngebut-ngebutan." Teriak sang mama dari dalam rumah. "Iya mama sayang. Love you." Jovanka tetaplah Jovanka yang tidak mendengar nasehat apapun itu. Seperti saat ini, dia mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi. Dia berlagak seperti pembalap motogp yang sedang bertarung di arena balap. Tentu sangat membahayakan apalagi kondisi jalanan pagi ini yang lumayan ramai. "Minggir- minggir awas woy minggir!" teriak Jovanka sambil mengendarai motornya kencang. Semua orang yang sedang santai berjalan kalang kabut untuk menyelamatkan diri. Tak terkecuali Aziel yang kini telah menyamar menjadi anak SMA. Dia juga ikut berlari ketakutan menyelamatkan diri. Bugh... "Akh! s**t!!" pekik Aziel yang telah jatuh terkapar. Nasib sial menghampiri Aziel di hari pertamanya. Dia tertabrak oleh sepeda motor yang dikendarai Jovanka secara ugal-ugalan. "Kan gue udah bilang minggir, nggak dengar apa?" ucap Jovanka sewot. Dia berusaha mendirikan kembali motornya yang terjatuh setelah menyerempet Aziel. "Punya mata nggak sih? naik motor dilingkungan sekolah ugal-ugalan." balas Aziel. "Gue buru-buru tau! Lagian buta ya, udah tau pake motor, pastilah punya mata." ucap Jovanka dia segera menaiki motornya untuk segera memasuki gerbang sekolah. "Sialan, tuh bocah. Awas aja, saya tandai kamu." Teet.. Teet .. Teet… Bel sekolah berbunyi Aziel cepat bangun dan mencoba berlari menuju gerbang. Begitu juga Jovanka yang langsung memarkir kendaraannya di parkiran dan bergegas berlari menuju gerbang sekolah. Namun sial, pak satpam sudah terlanjur lebih dulu menutup pintu gerbang. Aziel yang berusaha berlari juga sia-sia. Karena pak satpam yang terkenal galak itu tidak bisa dinego sedikitpun. Aziel terpaksa berbaris bareng para siswa yang bernasib sama dengannya termasuk Jovanka. Mereka tetap mengikuti upacara bendera, namun bedanya mereka tetap berada di luar gerbang utama. Sial. 'Baru pertama masuk udah sial begini.' batin Aziel. Ternyata, sekolah ini masih sama. Yang beda penghuninya doang. Menyebalkan. Sepertinya dia sudah punya musuh kesumat di sini. Sibuk mendengus kesal, mencaci maki cewek yang nabrak tadi, matanya melihat ke samping dan orang yang dia cari berada tepat di sebelahnya. "Ini semua gara-gara kamu!" bisik Azriel geram. Sedikit kaget dapat bisikan syaiton kalo kata dia, Jovanka membalas. "Hey k*****t. Lo juga ngapain nggak mau minggir, hah!?" sewotnya nggak mau kalah, padahal jelas-jelas dia lah yang salah. "Kalian berdua bisa diam tidak? atau mau ibu tambahin lagi hukumannya?" ucap bu Siwi, guru BK yang ternyata sedari tadi berdiri dibelakang Aziel dan Jovanka. "Awas kamu." bisik Aziel sebelum cari aman memilih bungkam walau sebenarnya di dalam hati uring-uringan kepada gadis nyebelin yang berada di sebelahnya saat ini. "Idih, apa sih. Naksir bilang." sinis Jovanka mengibas rambut. Aziel liatin Jovanka, memandang gadis di depannya dari kepala sampai kaki. Cantik sih, bisa di bilang okelah, mukanya manis, sayang tipis sama nggak tau diri. "Najis.. puihhh." Jovan jadi manyun merasa harga dirinya di turunin di injak seperti keset yang tiada artinya. "Gue aduin ke abang, awas aja." gumamnya masih manyun, dan Aziel hanya bodo amat meski dalam hati misu-misu. Rupanya hukuman bagi siswa yang telat tidak hanya berada di luar gerbang. Semua siswa yang telat harus menyapu halaman sekolah hingga bersih secara bersama-sama. Selain itu mereka juga diberi sanksi poin di ruang BK. Sungguh hari yang sial bagi Aziel yang baru pertama menampakkan kaki di SMA itu. "Lo telat lagi?" tanya Johannes ketika beristirahat. Kakak beradik itu memang terkadang kedapatan makan bersama saat istirahat. Sebenarnya itu hanyalah trik bagi Jovan agak bisa makan gratis ditraktir oleh Johannes. Sedangkan uang Jovanka selalu digunakan untuk membeli barang-barang antik. Tidak tahu kenapa, kembarannya ini sangat menyukai barang-barang antik. Di tanya pun, Jovanka cuma nyengir udah selesai. Untuk urusan makan Jovanka sering nebeng abangnya ini, bahkan merayu untuk mentraktir dirinya. "Iya, gara-gara tuh anak baru yang nggak mau minggir!" jawab Jovanka kesal. "Ya siapa juga yang mau minggir, kan emang jalur itu memang jalur pejalan kaki, lagian kan di gerbang sudah ada ketentuan kecepatan maksimal, ngapain juga lo kebut-kebutan?" kata Johannes. Dia lanjut menceramahi sang adik agar tidak melakukan tingkah yang lain lagi. Jovan yang biasanya membantah kini hanya diam tanpa suara. Dia sadar bahwa sebenarnya tindakannya sangat salah dan berbahaya. "Lain kali jangan diulangi lagi ya?" "Baik abang, Jovan yang salah." ucap gadis itu lirih. Kali ini dia mengalah. Sementara itu Aziel berjalan ke kantin sekedar nyari minum. Makan? Cih, gara-gara gadis itu dia sudah kehilangan selera makannya. Hatinya benar-benar dongkol karena ulah gadis yang menabraknya tadi pagi dia jadi diabaikan disini padahal murid baru biasanya disambut dengan penuh cita dan tentunya senyum penuh kekaguman. "Tuh cewek siapa sih? kok kurang ajar banget? Saya harus cari tahu siapa dia." gumam Aziel seorang diri. Aziel sempat berpikir untuk membatalkan rencananya untuk menyamar jadi anak SMA seperti sekarang. Namun disisi lain dirinya juga masih penasaran. Dia masih berharap bahwa kesialan yang terjadi cukup hanya hari ini. Dan esok yang ada keberuntungan yang datang menghampiri dirinya. Hemm, gagal deh jadi pusat perhatian. Padahal dia udah dandan kayak oppa oppa korea, malah dapat apes.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN