Chapter 2 : Undangan Makan Malam

1087 Kata
Warna senja merona tengah bersembunyi dalam suasana sendu. Citranya kini mengendap berupa embun dalam kedinginan. Sally memeluk erat kedua lutut yang ditekuknya. Menatap jalanan yang dihujani air surga. Meratapi kebodohan beberapa waktu lalu. Sebuah mobil hitam berhenti, dan seorang lelaki keluar mengenakan payung. Tentu saja, dia bukan malaikat seperti dalam kisah-kisah drama. Dia hanyalah Danika, masa lalu yang pernah dicintainya. Masa kini sebagai suami dari sahabatnya, Ellena. Sally mengabaikan pandangan sejak sepasang netra menangkap sosoknya. Dia berpura-pura tidak melihat lelaki itu. Matanya menampakkan pandangan kosong pada satu titik. Sungguh, dia sama sekali tidak ingin mengalihkan sekalipun terdengar, “Sal?” Sebuah tanya dari Danika terdengar. Hangat terasa ketika raga sudah berdiri di samping. Namun, Sally memang tidak ingin menolehnya. Sebab perasaan selalu menjadi lemah kala mata kemudian saling bertukar. Saking lemah, kemudian rasa itu mudah sekali untuk hancur, menyakitkan sekali. “Sal?” Danika menepuk pundak karena perempuan ini masih melamun saja. Rasanya semakin hangat, seolah kedinginan yang sedari tadi memeluk Sally semakin meleleh. “Lu kenapa? Kok gak masuk?” Tak ingin diabaikan, Danika tak bosan bertanya. “Ellena sedang ke luar membeli sesuatu. Aku hanya sedang menunggunya.” Sally menjawab dingin. “Oh, ya sudah ayo masuk, di luar dingin.” Danika berjalan menuju pintu membuka kunci. Sementara itu, Sally termenung dengan lontaran kalimat Danika. Bibir berucap tanpa sadar, “I really hate my mind!” Untuk semua pikiran negatif setelah mendengar kata masuk dan dingin. Apa yang akan terjadi pada mereka berdua? Selagi kondisi rumah begitu sepi, Ellena juga tak kunjung kembali. “Gua juga benci pikiran lu!” kata Danika di bibir pintu. Sifat konyol perempuan ini tidak pernah berubah dari dulu. Kalimat Danika menarik pandangan Sally berpaling. Tentu kedua bola mata mereka saling bertemu. Seketika Sally berteriak, “Ah~ Menyilaukan!” Kedua tangan mencoba menutup mata. Dari balik jemari dia kemudian mengintip. Sebuah senyum kecil tengah menghias paras Danika. “Gua masuk duluan. Kalo lu udah ga kuat kedinginan masuk aja. Gua ga kunci,” ucap Danika berlalu sambil menutup pintu. “Fyuhhh ...” Sally menghela napas. Bisa-bisanya mereka saling bertukar pandang kembali. Dia kemudian bangkit berdiri menghadap pintu masuk. Selagi Sally menatap pintu yang sudah tertutup, telinganya mendengar suara langkah kaki. Itu pasti Ellena, batinnya berkata. Sebelum sempat membalikkan badan, Ellena berkata, “Sally.” Tepat suara itu terdengar sebuah guntur menyambar keras. “SETAN!” kata Sally spontan. Namun, rasanya mengucap kalimat kasar secara spontan bagi orang yang tidak disukai melegakan. Ketidaksengajaan sejatinya kata dari alam bawah sadar yang ingin terucap. “Lu nganggep gua setan?!” Ellena marah setelah wajah mereka bertatap muka. “Iya, hahaha.” Ini jujur, tapi seperti biasa diselipi sebuah canda agar terlihat samar. Menilik keberadaan mobil yang terparkir di depan rumah, itu tandanya Danika sudah pulang. Namun, mengapa Sally masih di luar? Apa Danika tidak mempersilahkannya masuk? tanya Ellena dalam hati. “Ayo masuk!” ajak Ellena. Mereka berdua kemudian masuk ke dalam rumah. Sally menatap tentengan di tangan sahabatnya. Penasaran dengan apa yang dibawanya, Sally bertanya, “Apa itu, El?” “Hanya pelengkap untuk makan malam kita,” jawabnya tanpa memalingkan wajah. Jika saja Sally melihat, maka dia akan mendapati sebelah bibir Ellena yang naik ke atas. Cahaya mentari semakin meredup. Hujan lebat tadi sore juga sudah berubah menjadi tetesan gerimis. Ellena sudah berulang kali menyuruh Sally menyegarkan badan. Namun, dia menolak dan berdalih bahwa, suasana dingin membuat hubungannya denga air tidak baik. Jadi, dia memilih untuk tidak mandi. Walau sebenarnya, Sally memang jarang mandi sore. Tiga puluh menit sudah dia ditinggalkan tuan rumah di ruang tamu. Tidak ada tanda-tanda salah satu dari mereka kembali. Ah, mungkin Ellena dan Danika sedang melepas rindu. Lagi pula, lelaki mana yang tidak ingin dimanjakan setelah pulang kerja. “Nungguin ya?” Intro dari sebuah musik video di timeline media sosialnya. “Ahhh, kenapa timeline medsos dipenuhi dengan video-video ga jelas sih?” Sally menggerutu kesal. Namun, pernahkah mendengar sebuah kalimat tentang hatters? Ya, katanya hatters adalah lovers terselubung. Di balik kekesalan Sally melihat konten video seperti itu, tangan dan matanya tak dapat berbohong. Setiap kali sepi melanda, maka tangan akan membuka dan melihat konten yang dia bilang, lebay. “Gak jelas tapi tetap menikmati ‘kan?” Danika datang menghampiri dan duduk di kursi berbeda sebelahnya. “Mau gimana lagi? Gua gabut! Butuh hiburan,” jawab Sally ketus. Pandangan masih berfokus pada ponsel. Dia benar-benar menghindari kontak mata dengan Danika. “Coba lu bikin!” Titah Danika menarik pandangan Sally terangkat. “Kenapa harus gua? Lu aja yang bikin!” jawabnya kesal. “Loh, tapi kan lu yang ...” Mereka akrab kembali, sekalipun Sally mencoba menghindari kontak dengannya. Satu kalimat canda mampu memantik obrolan semakin panjang. Mereka terdengar seperti beradu argumen. Namun, bagi orang yang cemburu, mereka justru terdengar sangat mesra. Ellena menguping di balik dinding pemisah ruangan. Seharusnya ada sebuah petir menggelegar dan backsound lagu, “Kumenangis ... membayangkan, betapa kejamnya dirimu atas diriku.” Sambil tersedu Ellena menangis, tapi itu hanya bila dia menjadi tokoh sinetron diselingkuhi. Nyatanya ini hanya sebuah fakta yang harus dihadapi. Tawa mereka adalah jerit tertahan dalam diri Ellena. Dia memaksa kaki melangkah menghampiri, ikut serta bersenda gurau. Namun, mengapa posisinya seakan menjadi orang ketiga. Padahal meskipun mereka memiliki perasaan, ikatan suci antara Ellena dan Danika seharusnya jadi pembatas bagi Sally. “Sal, udah setengah tujuh. Bantuin siapin makanan yuk?” ajak Ellena. Sengaja dia menyudahi canda mereka agar api cemburu tak melahap habis perasaannya. Di atas meja telah dihidangkan beberapa sajian makan malam. Untuk pelengkap pesta makan malam ini masih berada di tas karton berwarna cokelat. Baik Sally maupun Danika belum menengok isi dari karton tersebut. Lagi-lagi, Sally dan Danika melanjutkan canda mereka di meja makan. Sementara Ellena masih ada di dapur. Dia kemudian membawa sajian terakhir pelengkap makan malam ini. Dalam langkah kaki pasti dia menyimpan sebuah botol minuman di atas meja makan. Jelas sekali Sally dan Danika kaget melihat botol minuman tersebut. Di antara mereka bertiga tidak ada yang pernah minum alkohol. Lalu, kenapa Ellena menyediakan minuman tersebut? “El, kok ada minuman keras sih?” tanya Danika. El? Seharusnya meskipun mereka bertiga sahabat, panggilan sayang tak berubah. Karena status Danika dengan dirinya sudah melebihi dari kata sahabat. Namun, setiap kali perempuan ini hadir, kata sayang menghilang begitu saja. “Kenapa?” Ellena balik bertanya sambil menarik kursi kemudian duduk. “Kita bertiga udah dewasa. Emangnya, ga mau coba minuman kaya gini?” lanjutnya. “Engga. Gua ga pernah minum alkohol,” jawab Sally. “Ayolah, Gua juga belum dan Danika juga sama. Bukannya lu lagi pusing? Katanya, alkohol bikin rileks , loh.” Ellena pemaksa hebat. Dia tidak memedulikan kedua orang yang menolak ajakannya. Cepat atau lambat seseorang memang harus mengakui perasaannya. Baik mengatakan secara gamblang tanpa paksaan, atau dipaksa dengan cara dipancing. Sedang alkohol ini adalah umpan agar Sally mau membuka mulutnya. Namun, pertanyaannya adalah ... Apa siap Ellena menghadapi situasi selanjutnya? . . . TbC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN