Bab 2 : Dunia Baru

1248 Kata
Alisha merasa bingung dan terkejut saat dia terbangun di tempat tidur rumah sakit yang asing. Dia meraba dadanya yang terasa berbeda, kulitnya halus dan bebas dari bekas luka yang selama ini menghiasi tubuhnya. Luka tembakannya hilang?! Alisha memeriksa dirinya dengan seksama, dan setiap sentuhan membuatnya semakin yakin bahwa sesuatu yang luar biasa telah terjadi. Dia tidak lagi merasa sakit dan terluka seperti sebelumnya. Dimana aku? Sementara Alisha tercengang dengan perasaan yang aneh ini, pintu kamar rumah sakit tiba-tiba terbuka, dan seorang perawat masuk dengan senyuman yang ramah. "Selamat pagi. Bagaimana perasaan Anda hari ini?" tanya perawat itu. Alisha masih tercengang. "Saya... saya tidak tahu. Apa yang terjadi? Di mana saya?" Perawat itu menjelaskan bahwa Alisha telah dirawat di rumah sakit karena luka-luka serius. Namun, ketika Alisha bertanya lebih lanjut tentang bagaimana dia bisa berada di sini dan apa yang telah terjadi padanya, perawat itu hanya menjawab dengan senyuman dan tidak memberikan penjelasan yang memadai. Apa aku dibawa ke rumah sakit oleh pria tua itu? Ketidakpastian membuat Alisha semakin frustrasi. Dia merasa seperti terjebak dalam sesuatu yang bukan pada tempatnya. Saat dia mencoba mengingat-ingat kenangan terakhirnya, yang terlintas hanya ingatan akan penderitaannya bersama pria tua itu. Semuanya begitu kabur dan mengganggu. Aku benar-benar tidak bisa mengingatnya. Ini sakit. Beberapa saat kemudian, pintu kamar rumah sakit tiba-tiba terbuka kembali. Alisha mendongak dan melihat seorang pria tampan dengan jas yang rapi memasuki kamar. Dia terdiam melihat pria itu menatapnya dengan tatapan dingin. Pria tampan tersebut kemudian berbicara dengan suara tenang kepada perawat, "Bagaimana keadaannya?" Perawat itu menjawab dengan hormat, "Dia terbangun beberapa saat yang lalu, Tuan. Kondisinya terlihat stabil, tetapi dia agak bingung tentang situasinya." "Baiklah, kamu boleh pergi." ucap dingin Pria itu dan melambaikan tangannya untuk mengusir perawat itu. Perawat itu menunduk perlahan lalu meninggalkan mereka berdua. Pria tampan itu berjalan mendekati tempat tidur Alisha, masih dengan ekspresi serius di wajahnya. Dia duduk di kursi sebelah tempat tidur dan memandang Alisha dengan tatapan tajam. Alisha merasa tidak nyaman di bawah tatapan pria ini. Dia merasa seolah-olah dia sedang diinterogasi tanpa alasan yang jelas. "Siapa kamu?" tanyanya akhirnya dengan suara ragu. Pria tampan itu menjawab dengan dingin, "Aku? Suamimu." Pernyataan bahwa pria tampan itu membuat Alisha terkejut. Dia tidak bisa mempercayainya. Bagaimana mungkin dia bisa memiliki suami seperti ini? Pria ini? Suamiku? "A-Apa kamu gila!" teriak Alisha dengan nada tidak percaya. Pria tampan itu hanya tersenyum dengan dingin. "Aku mengerti bahwa kamu kehilangan ingatan. Tapi, melontarkan kata-kata seperti itu bukan hal yang baik." Alisha merasa semakin bingung. Dia mencoba mengingat-ingat sesuatu yang bisa menghubungkannya dengan pria ini, tetapi ingatannya tetap kabur. Tidak ada yang bisa dia kenali dari pria ini, bahkan wajahnya yang tampan. "A-Aku minta maaf, tapi aku tidak bisa mengingat apapun tentangmu," kata Alisha dengan jujur. Pria tampan itu mengangguk, seolah-olah dia sudah mengharapkan jawaban seperti itu. "Aku tahu ini akan sulit bagimu untuk mengingatnya. Namun, kamu adalah istriku." Istrinya? Apa dia bercanda? Alisha terdiam sejenak, mencoba memproses kata-kata yang baru saja diucapkan oleh pria tampan yang menyebut dirinya sebagai istri dari pria ini. Tidak ada kenangan tentang pernikahan atau hubungan apa pun dengan pria ini dalam ingatannya yang terlalu kosong. Dia hanya mengingat tentang penderitaan terakhir dan luka tembakan dari pria tua itu sebelumnya. Pria itu menatap dingin kearah Alisha. "Sepertinya kamu masih bingung," lanjut pria itu. "Ini mungkin sulit dipahami, tetapi kita sudah menikah, Alisha." Alisha merasa semakin bingung dan terkejut. Bagaimana mungkin dia bisa menikah dengan pria ini tanpa memiliki ingatan apapun tentang pernikahan mereka? Hatinya berdebar-debar, mencoba mencari jawaban yang masuk akal atas kebingungannya. "Aku... aku tidak tahu apa yang kamu bicarakan," ucap Alisha dengan gemetar. "Aku tidak memiliki kenangan tentang pernikahan kita atau hubungan apapun denganmu." Pria tampan itu terdiam sejenak. "Mengingat keadaanmu yang baru saja pulih, mungkin ingatanmu perlu sedikit waktu untuk kembali. Namun, kenyataannya tetap tidak akan berubah. Kita adalah suami dan istri." Alisha mencoba mengingat-ingat lebih dalam, tetapi semuanya masih berupa kabut. Bagaimana mungkin dia bisa menikah dengan seseorang yang tidak bisa dia kenali? Dan mengapa dia merasa tidak nyaman di dekat pria ini? "Si-Siapa namamu?" tanya Alisha, mencoba mendapatkan lebih banyak informasi. Pria tampan itu menjawab dengan tenang, "Gestara Sean Pradeepa. Kamu bisa memanggilku Sean." Gestara Sean Pradeepa. Nama itu terdengar begitu asing bagi Alisha. Dia merasa bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan pria ini. Sean menatap Alisha dengan tatapan tajam. "Aku tidak punya waktu untuk berurusan dengan hal-hal seperti ini. Cepatlah pulih." Dia bangkit dari kursi di samping tempat tidur Alisha dan berjalan menuju pintu keluar. Alisha terdiam sejenak melihat Sean yang berjalan ke arah pintu keluar. "Ka-Kamu mau kemana?" ucap Alisha ragu-ragu. Sean berhenti sejenak di ambang pintu keluar dan menoleh padanya. "Aku punya urusan yang harus aku selesaikan. Tapi jangan khawatir, Altair akan menjagamu." Sebelum Alisha bisa mengajukan pertanyaan lebih lanjut, Sean sudah menghilang dari kamar rumah sakit. Alisha merasa semakin terisolasi dan bingung. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan, dan situasinya semakin misterius. Beberapa saat kemudian, pintu kamar rumah sakit terbuka kembali, dan seorang pria seumuran Sean dengan penampilan yang rapi memasuki kamar. Pria ini tampak lebih ramah daripada Sean, dan senyumnya terasa lebih tulus. Apa pria ini yang bernama Altair? "Pagi, Alisha," ucap pria itu tersenyum ramah. Alisha merasa lega melihat pria yang tampak lebih ramah ini. Setidaknya, dia merasa bahwa ada seseorang yang mungkin bisa memberikan penjelasan tentang situasinya yang misterius ini. "Pagi," balas Alisha dengan lembut, mencoba tersenyum meskipun dia masih merasa bingung. Pria itu berjalan mendekati Alisha. Dia memegang keranjang buah di tangannya. "Aku membawakan beberapa buah. Apakah kamu mau?" Alisha melihat keranjang buah itu dengan tatapan terpana. Selama dia hidup, Alisha tidak pernah merasakan buah segar seperti itu. Alisha mengangguk perlahan. Pria itu meletakkan keranjang buah di meja dekat tempat tidur Alisha. Dia memilih satu buah dan memberikannya kepada Alisha dengan lembut. "Terima kasih," kata Alisha sambil tersenyum. Dia merasa lapar, dan buah segar itu tampak sangat menggoda. Altair tersenyum senang melihat Alisha menerima buah itu. "Aku senang melihatmu sudah berbicara hari ini. Aku tahu ini pasti adalah waktu yang sulit bagimu." Altair, yang tampak lebih bersahabat daripada Sean, membawa sedikit cahaya dalam kehidupan Alisha yang penuh ketidakpastian. Meskipun Alisha masih merasa bingung dan tidak memiliki ingatan tentang pernikahannya dengan seseorang bernama Sean, dia merasa lebih nyaman dengan Altair daripada dengan Sean. Alisha mencoba memanfaatkan kesempatan ini untuk mendapatkan pemahaman lebih lanjut tentang situasinya. "Al-Altair, bisakah kamu memberitahuku apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa aku tiba-tiba berada di rumah sakit ini?" Altair duduk di kursi di samping tempat tidur Alisha. Dia tampak lebih baik dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan Alisha. "Sulit untuk dijelaskan dengan singkat, Alisha. Namun, yang pasti adalah bahwa kamu mengalami kecelakaan mobil beberapa waktu lalu." Kecelakaan mobil? Alisha terdiam sejenak. Dia mencoba untuk memahami situasinya. Saat dia meraba kembali dadanya, ingatan terakhir tentang tembakan dari pria tua itu masih terasa walaupun rasa sakitnya sudah tidak ada. Luka tembakannya sudah tidak ada. Alisha melirik kearah Altair. "Apakah aku boleh meminjam cermin?" Altair memandang Alisha dengan kebingungan. "Cermin?" Alisha mengangguk perlahan. Altair tampak sedikit terkejut oleh permintaan Alisha untuk melihat cermin, tetapi dia memberikan tanggapannya, "Tentu, ada cermin di kamar mandi. Aku akan membantumu." Altair menuntun Alisha menuju ke kamar mandi. Ketika Alisha menatap cermin, dia terkejut. Wajahnya sudah tidak lagi berbekas oleh luka. Tidak ada tanda-tanda kekerasan atau penderitaan yang pernah dia alami. Sebaliknya, dia melihat wajah yang cantik rupawan, kulit yang sehat, dan mata yang cerah. Ini bukan wajahku! "A-Apa yang terjadi padaku?" tanya Alisha kepada Altair, suaranya penuh dengan ketidakpercayaan. Altair melihat reaksi Alisha dengan kebingungan, "Apa maksudmu?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN