Bab 4 : Penglihatan Masa Depan

1192 Kata
Beberapa hari berlalu sejak Alisha terbangun di rumah sakit dan mulai menjalani pemulihan. Selama waktu itu, Alisha terus mencoba memahami situasinya yang rumit karena jiwanya masuk ke tubuh asing. Ini bukan tubuhnya dan lingkungan sekitarnya pun sangat berbeda dari kehidupannya. Pagi itu, sinar matahari menerobos masuk melalui jendela kamar rumah sakit Alisha, menghangatkan wajahnya yang mulai kembali berseri. Dia duduk memandang jendela yang menampilkan pemandangan luar yang tenang. "Disini tenang sekali." Alisha memandangi sekitarnya, "Dan juga bersih." Ini jauh berbeda dari rumahku dulu. Dan, suasananya juga tampak sangat berbeda. Setelah beberapa saat, seorang perawat masuk membawakan sarapan untuknya. Perawat itu meletakkan meja makan kecil di atas tempat tidur Alisha dengan senyuman yang ramah. "Selamat pagi, Nyonya. Sarapan Anda sudah siap." Alisha tersenyum tipis sambil mengucapkan selamat pagi kepada perawat itu. "Selamat pagi. Terima kasih." Wow. Sarapan mewah itu datang. Sarapan yang disajikan terlihat sangat lezat. Ada sepiring telur dadar dengan irisan tomat segar, sekeranjang roti panggang, dan segelas jus jeruk. Alisha menatap makanan itu dengan perasaan kagum. Di kehidupan sebelumnya, dia tidak pernah diperlakukan seperti ini. Alisha merasa lapar, dan aroma makanan membuatnya semakin tergoda. Perawat itu membantu Alisha menata meja sarapannya dengan cermat sebelum meninggalkannya untuk makan. Alisha merasa sangat berterima kasih. Makanan yang enak seperti ini adalah hal yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya. "Apa orang-orang kaya biasanya makan makanan lezat seperti ini?" gumam Alisha saat mengambil roti panggangnya. Ini enak! Alisha membulatkan matanya saat merasakan renyahnya roti panggang itu. "Ini benar-benar enak." gumamnya. Saat Alisha menikmati sarapannya, pintu kamar tiba-tiba terbuka. Alisha menatap ke arah pintu. Seorang laki-laki berpakaian formal masuk dan itu adalah Sean. Dia memasuki kamar rumah sakit dengan langkah tegap, dan ekspresinya tetap dingin dan datar seperti sebelumnya. Dia berjalan mendekati tempat tidur Alisha, dan tatapannya yang tajam seolah-olah menusuk ke dalam jiwa Alisha. Ada apa dengan tatapan pria itu? Alisha merasa tidak nyaman saat Sean mendekat. Dia berusaha tetap tenang dan meneruskan sarapannya, meskipun kehadiran Sean telah membuatnya merasa cemas dan sedikit gelisah. Sean akhirnya berbicara dengan suara yang datar, "Bagaimana perasaanmu hari ini?" Alisha menelan ludah, mencoba menjawab dengan tenang, "A-Aku baik-baik saja." Sean tampak terlihat datar oleh jawaban Alisha. Dia tetap berdiri di samping tempat tidur, menjaga jarak, dan tidak menunjukkan emosi apa pun di wajahnya. "Aku mendengar kamu berbicara dengan Altair tentang situasi kita. Apa yang dia katakan padamu?" Dia tahu aku bertanya tentang dirinya? Apa Altair memberitahunya? Alisha terkejut oleh pertanyaan tiba-tiba ini. Dia mencoba untuk tidak menunjukkan ketidaknyamanannya. "Dia hanya memberiku beberapa penjelasan dasar. Tentang kecelakaan dan perjanjian di antara keluarga kita." Sean mengangguk singkat, tetapi tatapannya tetap dingin. "Kamu memahami itu, bukan?" Memahami? Memahami apa? Aku tidak ingat apapun. Alisha merasa semakin cemas. Dia tahu bahwa dia tidak memiliki ingatan tentang perjanjian tersebut, dan Sean memberikan tekanan padanya untuk memahami betapa seriusnya situasi ini. "A-Aku akan mencoba memahaminya," jawab Alisha dengan ragu. Sean berbicara dengan nada tegas, "Kamu harus lebih dari sekadar memahami, Alisha." Alisha merasa terkejut. Dia tidak tahu bagaimana cara menjalani pernikahan dengan pria yang tidak bisa dia kenali dan merasa tidak nyaman di dekatnya. Namun, dia juga merasa tertekan oleh nada bicara yang Sean berikan padanya. "A-Aku akan mencoba sebaik mungkin," kata Alisha dengan suara gemetar. Sean hanya mengangguk sekali lagi dan kemudian berbalik untuk pergi. Alisha hanya melihat Sean yang pergi tanpa berpamitan. Ah! Dadaku. Sakit! Tiba-tiba Alisha merasakan sakit di dadanya. Dia memegang dadanya seraya melirik ke arah Sean yang hendak membuka pintu kamarnya. "Se-Sean.." lirih Alisha. Sean menghentikan langkahnya tiba-tiba, mengalihkan pandangannya kembali ke arah Alisha. "Ada apa?" Alisha merasa sesak napas. "Sakit... di dada..." Sean dengan cepat mendekat ke samping tempat tidur Alisha, "Apa yang terjadi? Apakah kamu merasa tidak enak badan?" Alisha merasakan nyeri yang semakin membesar di d**a. Dia mencoba berbicara, tetapi suaranya terputus-putus. "Sak... it... Se... an... ka... kamu..." Sean segera mengambil tindakan cepat. Dia memencet tombol di dekat ranjang untuk menghubungi perawat dan berteriak meminta bantuan medis untuk Alisha. Alisha merasa semakin lemah, dan dunianya mulai menjadi kabur. Apa ini? Sakit sekali. Ini benar-benar sakit. Dalam waktu singkat, tim medis datang ke kamar Alisha dan mengambil alih perawatan. Mereka memeriksa Alisha dengan cepat dan menyatakan bahwa dia sedang mengalami serangan panik yang cukup parah. Mereka memberikan obat untuk meredakan gejala dan menenangkan Alisha. "Se-Sean." lirih Alisha seraya melihat ke arah Sean. Alisha tiba-tiba bisa melihat sesuatu dihadapannya. Kilatan bayangan muncul seperti layar film yang berputar cepat didepannya. Dia melihat bayangan orang-orang yang berhamburan di jalan. Apa ini? Alisha merasa berada dalam pusaran kegelapan. Kilatan bayangan yang muncul di hadapannya begitu membingungkan. Dia tidak tahu apa yang sedang terjadi. Nyeri di dadanya masih terasa, tetapi sekarang dia merasa seperti berada dalam dunia yang lain. Aku melihat apa? Kilatan-kilatan bayangan itu semakin jelas, dan Alisha mulai memahami apa yang dia lihat. Dia melihat mobil-mobil yang rusak, beberapa terbalik di jalanan. Ada suara sirene yang berkejaran, dan kerumunan orang-orang yang panik berusaha membantu para korban. Ini kecelakaan, bukan? Alisha merasa seperti dia tidak berada di tubuhnya sendiri. Seolah-olah dia sedang melihat kejadian-kejadian ini dari sudut pandang yang berbeda. Dia melihat seorang pria dengan setelan jas formal yang tampak terluka. Itu mirip dengan seseorang. Sean! Lalu, kilatan bayangan itu tiba-tiba berhenti, dan Alisha kembali ke kamar rumah sakitnya. Dia mengalihkan pandangannya ke Sean, yang terlihat terkejut. "Bagaimana keadaannya?" ucap Sean kepada dokter dan perawat. Dokter yang memeriksa Alisha memberikan laporan. "Dia mengalami serangan panik yang cukup parah, tetapi sekarang kondisinya akan stabil setelah kami memberikan obat penenang. Saran saya adalah untuk memberikannya cukup istirahat dan menghindari situasi yang dapat memicu serangan panik lebih lanjut." Sean mengangguk kepada tim medis tersebut. Setelah tim medis meninggalkan kamar, Sean kembali menatap Alisha yang masih terbaring di tempat tidur, tetapi wajahnya pucat dan mata masih terbuka dengan ekspresi cemas. "Kamu harus istirahat sekarang." ucap Sean yang tiba-tiba dingin kembali. Alisha yang masih terlihat panik memegang lengan kemeja Sean. "Se..Sean.." Sean menatap Alisha dengan ekspresinya yang datar. "Ada apa, Alisha?" Alisha menelan ludah, mencoba menjelaskan apa yang baru saja dia alami. "Aku... jangan... kejadian... di luar sana. Jangan... pergi, Sean." Sean mengernyitkan dahinya. "Alisha, apa yang kamu bicarakan? Tenangkan napasmu," Alisha menghela napas panjang, mencoba menjelaskan, meskipun dia sendiri belum benar-benar memahami apa yang dia lihat. "Aku melihat mobil-mobil yang rusak, ada truk besar... kecelakaan beruntun. Aku merasa seperti melihat kamu disana." Apa yang terjadi pada Alisha membuat Sean bingung. Wajahnya yang dingin sekarang dipenuhi oleh ekspresi yang lebih manusiawi, meskipun masih tampak bingung oleh apa yang baru saja diungkapkan oleh Alisha. "Kamu melihat kecelakaan?" Sean bertanya dengan nada menebak. Alisha mengangguk lemah, masih mencoba merangkai kata-kata untuk menjelaskan pengalamannya. "Ya, Sean. Itu terasa sangat nyata. Aku tidak tahu bagaimana bisa melihatnya, tetapi aku melihat kecelakaan beruntun, dan aku merasa seolah-olah aku melihatmu di sana, terluka." Sean tampak ragu, "Apa kamu yakin ini bukan efek dari serangan panikmu?" Alisha merasa frustrasi karena dia ingin sekali membuat Sean memahami betapa seriusnya situasi ini. "Aku mohon jangan pergi kemana-mana, Sean. Aku takut... Aku mohon... Aku mohon." ucap Alisha dengan gemetar. Sean terdiam sejenak. Sifat yang biasanya terlihat acuh dan dingin kini lebih melunak. "Aku harus pergi ke pertemuan, Alisha." Alisha menggelengkan kepalanya, "Aku mohon, percaya padaku. Jangan pergi.. Jangan.."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN