“Yang dipegang dari pasangan itu bukti, bukan janji.”
Episode 9 : Hampir Gila
***
Tidak biasanya Tanto ayah Fanny mengabari Melia dan meminta waktu untuk bertemu. Selain memang jarang bercakap sekalipun sempat hidup satu atap selama delapan tahun, tapi apa yang Tanto lakukan diyakini Melia beralasan. Setidaknya, pria berkacamata yang memiliki kulit putih bersih itu pasti memiliki tujuan penting. Apalagi ketika pagi tadi Melia pamit, Tanto melepasnya begitu saja tanpa basa-basi terlebih menahan.
Melia memilih menelepon Tanto, terlebih baginya, komunikasi lewat pesan singkat rawan salah paham apalagi Tanto juga mengatakan ingin membahas hal penting.
“Halo, Paman?” ucap Melia langsung membuka obrolan, ketika panggilan telepon yang dilakukannya mendapatkan balasan.
“Iya, Mel.”
Kegelisahan terdengar dari suara Tanto.
“Paman sibuk?” Melia memastikan. Takut pamannya yang bekerja di perusahaan konstruksi, sedang tidak bisa menerima telepon terlebih masih jam kerja.
“E-nggak, Mel.”
Hening. Melia memilih diam, menunggu Tanto melanjutkan obrolan. Toh Tanto juga yang meminta waktu padanya untuk membahas hal yang dikata pria itu penting.
Setelah tiga menit berlalu, akhirnya Tanto melanjutkan. “Mel, sebenarnya ...,”
Lagi-lagi Melia menunggu. Selain terdengar ragu, Tanto seolah menyimpan maksud lain yang bahkan mungkin lebih dari pemikiran Melia.
***
Sepanjang hari ini, Zean kembali sibuk menghubungi Melia. Sayangnya tidak ada satu pun telepon darinya yang dijawab termasuk beberapa pesan yang ia kirimkan. Melia benar-benar mengabaikannya. Itu mengapa, ia nekat mendatangi butik tempat Melia bekerja.
Terhitung ada tiga kejadian yang membuat Zean dilema, selama tunggunya di depan butik. Pertama, ketika pria itu melihat beberapa anak berusia sekitar lima hingga sembilan tahun, mengamen dan ada kalanya memakan sisa makanan yang mereka temukan. Kemudian, ketika Zean melihat wanita tua yang mengemis sambil mengemban bayi, selain bocah berpenampilan kumal yang dibentak-bentak oleh seorang wanita. Mengingat itu, hati Zean menjadi terenyuh. Pria itu langsung membayangkan jika kejadian yang membuat hatinya terluka itu menimpa anaknya yang masih dalam perut Melia. Tidak menutup kemungkinan, anaknya juga mengalami hal serupa jika tidak berada di bawah pengawasannya, kan? Bagaimana jika Melia justru menelantarkan anak mereka, atau suatu hal membuat wanita itu tidak bisa menjaga anak mereka dan membuat kebahagiaan sekaligus keselamatan anak mereka terancam? Zean tidak bisa membiarkan itu terjadi. Ia tidak akan membiarkan anaknya terluka terlebih sampai hidup susah!
Dering panggilan masuk ponsel di jok sebelah kemudi, mengusik fokus Zean. Pria itu segera menyeka air mata yang membuat sekitar matanya basah, kemudian memastikan ponsel yang ada di sebelahnya. Didapatilah kontak Fanny, lengkap dengan foto kebersamaannya dengan wanita itu yang dipenuhi kebahagiaan. Mereka kompak tersenyum ke arah kamera, dengan Fanny yang menyandar di dadanya, sedangkan sebelah tangannya merangkul mesra pinggang wanita itu.
Zean tampak ragu. Fokusnya terbagi pada layar ponsel, serta pintu masuk tempatnya menunggu. Layar ponselnya berkedip-kedip seiring panggilan masuk dari Fanny, sementara butik masih saja ramai pengunjung kendati waktu nyaris pelepasan sore.
“Iya, Fan?” jawabnya tak bersemangat. Fokus matanya masih tertuju pada pintu masuk butik.
“Z-zean, kamu di mana?”
Fanny terdengar panik bahkan takut. Sayangnya, Zean yang tak kalah panik karena takut diketahui Fanny, buru-buru berkata, “lagi di luar buat mengurus pekerjaan. Memangnya kenapa? Ada masalah? Kenapa kamu panik begitu?” Meski sempat gelagapan, tapi akhir-akhir ini Zean memang terbiasa berbohong.
“Z-zean, Sandra meninggal setelah melahirkan. Kamu harus menemaniku ke rumah duka, sekarang juga! Kamu jemput aku, ya?”
Pikiran Zean menjadi terombak-abing. Bukan karena ia mengenal Sandara teman baik Fanny, melainkan penyebab kematian wanita itu.
“Sandra meninggal setelah melahirkan.”
Pernyataan itu terus menggema di benak bahkan menguasai kehidupan Zean.
Zean ketar-ketir. Ia tidak tahu dengan apa yang harus ia lakukan jika kejadian serupa juga menimpa Melia dan tentunya akan berdampak pada anaknya. Ia menginginkan anak itu. Bahkan karenanya, segala ego hidup bahagia bersama Fanny hilang begitu saja. Pikirannya telanjur dikuasai Melia berikut masa depan anak yang sedang wanita itu kandung.
“Eh, Zean ... aku dapat WA, kalau si Vina juga pendarahan. Ya ampun, kok seram banget, ya? Padahal usia kandungan Vina masih muda. Aku jadi takut hamil ....”
Tak mau mengulur waktu, Zean yang telanjur kacau segera keluar dari mobil dan meninggalkan ponselnya begitu saja. Pria itu benar-benar tak peduli pada hal lain, bahkan meski telepon dari Fanny masih berlangsung. Yang jelas, keputusan Melia mengabaikannya justru menciptakan jarak antara dirinya dengan anak yang sedang wanita itu kandung, dan itu membuatnya seolah kehilangan sekaligus dirugikan. Karena entah atas dasar apa, Zean juga tiba-tiba saja tidak mau jauh dari anak itu, apalagi jika sampai dipisahkan.
Zean berjalan cepat menghampiri seorang satpam yang berjaga di depan pintu masuk. Satpam yang ia ketahui sering dipanggil “Pak Gar” itu, memberi kepastian bahwa Melia masih ada di dalam.
“Khusus hari ini, Mbak Melia memang nggak keluar.”
“Melia ada pesan minuman atau makanan, nggak, Pak?”
“Nggak ada, Mas. Biasanya sih, kalau enggak titip ke saya, Mbak Melia pesan online, terus saya yang antar.”
Zean semakin cemas. Hal terakhir yang harus ia lakukan agar tidak benar-benar gila menahan rasa penasaran, memang hanya dengan memastikan keadaan Melia secara langsung.
***
“Yang dipegang dari pasangan itu bukti, bukan janji. Menurutku, hindari orang yang terlalu banyak omong apalagi sering kasih janji manis. Karena biasanya, orang-orang seperti mereka nggak bisa dipercaya.” Karla menatap teduh Melia.
Makin lama, keadaan Melia memang makin mencemaskan. Setelah akhir-akhir ini menjadi pemurung dan jarang bergabung dengan karyawan lain termasuk bersamanya, wanita itu juga menjadi sering melamun dan kurang fokus dalam semua hal. Bahkan beberapa menit lalu, Karla menyaksikan Melia nyaris pingsan dan jatuh ketika bangkit dari duduk.
“Aku sudah nggak apa-apa, Kar. Makasih buat semuanya. Juga buat teh hangatnya.” Melia tersenyum simpul. Sebisa mungkin, ia menatap Karla jauh lebih lama dari biasanya. Ia harus meyakinkan Karla, agar kecemasan wanita itu tidak berlanjut.
“Jujur, yah, Mel. Sebenarnya aku cerita ke Abang, kalau kamu sudah putus dari Zean. Dan semenjak tahu itu, Abang jadi tambah semangat buat latihan jalan.”
Melia bergeming. Balasan Karla membuatnya bingung bahkan serba salah. Mereka bersahabat, tapi Melia merasa sungkan kalau kedekatannya dengan wanita tomboy itu sampai berjarak, karena ia tidak bisa membalas cinta kakak laki-laki wanita itu yang Karla dipanggil “Abang”.
Abang Karla seorang polisi. Namanya Kai. Kainendra Pradipta. Sekarang usia Kai sudah menginjak tiga puluh dua tahun. Dan semenjak awal melihat Melia, ketika mengantar Karla kerja, Kai langsung jatuh hati. Pun kendati Kai mengetahui hubungan Melia dan Zean. Bahkan, Kai yang nekat mengantar-jemput Karla demi bisa melihat Melia lebih dekat, harus menerima kenyataan pahit lantaran selama itu juga, Zean tidak pernah membiarkannya dekat dengan Melia. Pria dingin yang bahkan jarang bicara itu selalu menggenggam Melia erat-erat, seolah-olah sedikit saja Melia jauh darinya, seseorang akan langsung merampasnya.
Enam bulan lalu, Karla mengadu sambil menangis ketakutan pada Melia, lantaran Kai mengalami kecelakaan ketika bertugas menangkap seorang NAPI yang mencoba kabur. Kaki kiri Kai ditembak brutal NAPI itu. Karenanya, Kai harus menjalani penanganan intensif. Mau tak mau Melia menyempatkan waktu menjenguk Kai, kendati setelah itu, pertengkaran hebat menimpa hubungannya dan Zean. Pria itu marah besar setelah mengetahui Melia menjenguk Kai tanpa peduli pada alasan yang Melia berikan.
Setelah merenung perihal Kai, Melia pun berkata, “kalau ada waktu luang, aku akan menjenguk Kai lagi.”
Rona bahagia terpancar di wajah Karla yang bahkan sampai menahan napas, lantaran tak percaya dengan apa yang baru saja Melia sampaikan. Bahkan Karla sampai meremas kedua tangan Melia yang duduk di hadapannya, setelah meraihnya dari pangkuan wanita itu.
“Serius, kan, Mel?”
Melia tersenyum getir sembari mengangguk. Sebisa mungkin ia mencoba duduk jauh lebih rileks dikarenakan kepalanya sedang sangat pusing. Akhir-akhir ini, selain kepalanya sering tiba-tiba terasa sangat pusing, Melia juga kerap mual. Tubuhnya pun semakin terasa lemas. ada kalanya kenyataan itu membuat dirinya hilang keseimbangan tubuh bahkan pingsan. Andai tadi Karla tidak datang tepat waktu, Melia tidak tahu apa yang terjadi padanya. Bahkan bisa jadi, anak dalam kandungannya juga merasakan efeknya. Apalagi, semenjak Melia menelepon Tanto, kabar buruk dari pamannya itu membuatnya semakin terpuruk.
Di balik pintu ruang kerja Melia yang sedikit terbuka, Zean yang menyimak pembicaraan Karla dan Melia, menjadi menelan ludah dan tampak ketar-ketir. Pria itu mengibaskan sebelah sisi jasnya, kemudian berlalu dengan luapan kekesalan. Tak habis pikir baginya. Setelah hampir gila karena mencemaskan Melia, wanita itu justru lebih mementingkan laki-laki lain!
Bersambung ....