Bab 4 - Membuka Hati

1391 Kata
Menerima Kak Satria? Apa aku harus belajar menerima dia? Aku belum yakin kalau aku bisa menerima Kak Satria. Aku takut menyakitinya, karena aku masih belum bisa melupakan Arkan. Ada rasa yang tertinggal di hatiku untuk Arkan, yang sangat sulit aku lepaskan. Rasa cinta. Iya, cinta itu masih ada di hatiku, meski dia sudah menikah. Menikah dengan wanita yang sangat ia cintai. Aku hanya pelampiasannya, saat di mana wanitanya meninggalkan dirinya di Berlin dan menikah dengan laki-laki yang dijodohkannya. Aku harusnya sadar, aku ini sangat bodoh sekali, bisa-bisanya aku mau menanggapi Arkan yang kesannya hanya menjadikan aku sebagai pelarian hatinya. Benar kata Devan dulu, aku terlalu bodoh dan terlalu polos dengan perasaan yang terus tumbuh di hatiku untuk Arkan. Aku mengambil ponselku yang terdengar berdering di dalam kamar. Paling Kak Satria yang menelefonku, siapa lagi kalau bukan dia? Devan kan masih ada urusan penting dengan Aiko. Mana mungkin dia menelefonku. Dengan sungkan dan terpaksa aku beranjak dari sofa mengambil ponselku yang berdering di kamar. Aku melihat nama Kak Satria tertera di layar ponselku. Sebenarnya aku malas mengangkatnya, karena yang dibahas pasti soal lamaran, tunangan, dan ujung-ujungnya ngajakin nikah? Hufft ...! “Hallo, Kak?” sapaku. “Hallo, Ca. Maaf ganggu malam-malam, ini mama mau bicara sama kamu.” “Tante Leli mau bicara sama aku?” “Iya, ini dengan mama dulu, ya? Aku sedang ngerjain pekerjaan kantor yang kubawa ke rumah soalnya.” “Iya, Kak.” “Ica, Sayang ... bagaimana kamu sudah mengambil keputusan soal yang kemarin tante tanyakan?” “Ehm ... itu tante, Ica belum memikirkan itu. Ica memang dekat dengan Kak Satria, tapi Ica kan masih fokus kuliah dulu, Tante ....” “Iya tante tahu, Sayang ... ya tante ingin saja lihat kamu sama Satria ada ikatan resmi. Kan sudah sama-sama tahu kedua orang tuamu, kalau kalian sedang dekat. Tante mohon, pikirkan ini ya, Nak? Tante sudah bicara dengan mama dan papamu. Mereka setuju kok, kalau kamu pun mengiyakan.” “Jadi tante sudah bicara dengan mama dan papa?” “Iya, mereka setuju, tinggal menunggu keputusan kamu, Nak. Tante berharap sih, kamu bisa sececaptnya memutuskan itu, Ica.” “Tante, bisa Ica bicara dengan Kak Satria. Karena, bagaimanapun ini kan urusan aku dengan Kak Satria. Dan, kita perlu bicara lagi soal ini, baru Ica memutuskannya.” “Oh, ya ... sebentar tante kasihkan ke Satria, dia sedang di ruang kerjanya.” Aku tidak tahu, kenapa Tante Leli bisa ingin cepat-cepat hubungan aku di resmikan. Mungkin karena Kak Satria lama menyendiri, dan semakin hari umur Tante Leli kan semakin bertambah. Mungkin ingin melihat anak semata wayangnya memiliki seorang kekasih, lalu menikah. Aku tahu, semua harapan orang tua seperti itu. Pun orang tuaku, apalagi aku yang sudah gagal menikah. Itu membuat mama dan papa proteks banget sama aku. Dan, benar-benar memilihkan laki-laki yang tepat untuk aku. Kadang mereka menyuruhku memilih antara Kak Satria dan Devan. Apaan coba? Masa aku harus milih, jelas aku tidak bisa memilih Devan, karena dia sahabatku, kalau Kak Satria, mungkin aku iya. Karena, dia yang selama ini bisa membuat hatiku menghangat karena perhatiaannya. “Ca, ini aku Satria.” “Ah iya, Kak." "Kata mama kamu mau bicara denganku?" "Iya, Kak. Kakak maksa banget sama tante, ya? Ica kan bingung jawabnya gimana? Toh kakak juga santai kan?” “Ya, kakak sih sebenarnya enggak santai, Ca. Kakak nunggu kamu siap, nunggu hati kamu siap, nunggu kamu selesai S2. Kakak sih enggak masalah, tapi memang mama seperti itu, Ca. Mama minta hubungan kita cepat-cepat diseriuskan untuk kejenjang yang lebih.” “Gitu ya, Kak? Apa kakak benar-benar mau menerimaku yang belum genap hatinya?” “Ca, aku sayang kamu. Aku mencintaimu. Aku siap menerima hati kamu yang mungkin separuh masih tertinggal di hati Arkan. Kamu butuh membuka lembaran baru, Ca. Dan, aku siap, siap untuk menunggu hatimu genap, dan menunggu luka di hatimu mengering.” “Yang Ica butuhkan, laki-laki yang bisa menerima Ica tulus, Kak. Bukan karena terpaksa, apalagi laki-laki yang masih terikat dengan masa lalu. Ica enggak mau, Kak. Ica gak mau jatuh di tempat yang sama, dengan luka yang sama pula.” “Aku tidak punya masa lalu. Kamu tahu sendiri, kan? Masih ingat yang pernah aku ceritakan?” “Iya, soal Kak Rana. Kakak suka sama Kak Rana, tapi ditolak mentah-mentah, kan?” “Ih gak usah ketawa deh! Ya gitu, Ca. Makanya aku takut mau menyatakan cinta lagi, takut ditolak lagi. Aku harap sama kamu tidak, Ca.” “Beri aku waktu satu minggu ya, Kak? Aku juga perlu membicarakan ini dengan mama dan papa.” “Iya, aku beri kamu waktu satu minggu. Kamu enggak suka Devan, kan?” “Kak, dia tuh teman aku! Harusnya kakak terima kasih sama Devan, karena dia yang selalu jaga Ica di sini! Kakak cemburunya gitu amat sih? Jangan cemburu, dia teman aku, ya sudah aku anggap seperti saudara sih? Tapi, mulai minggu depan aku sepertinya sudah gak bisa pulang pergi ngampus sama Dev. Dia kan kerja kalau pulang kuliah, Kak. Sibuk dia sekarang. Ini saja dari siang enggak ke sini, dia sibuk di tempat kerjanya.” “Dev kerja apa?” “Di Rerstoran, Kak. Aneh dia, dikasih kerjaan bagus di kantor papanya, malah minta kuliah lagi bareng aku, terus malahan kerja di restoran sekarang. Aneh, kan?” “Dia gitu kan karena kamu, Ca? Karena pengin dekat kamu. Kan suka sama kamu?” “Iya aku tahu Dev suka sama aku. Kalau aku suka, mungkin aku sudah jadian sama dia sejak SMP. Tapi, aku hanya anggap dia teman saja, Kak. Enggak lebih, cukup berteman, dan tidak ada perasaan.” “Kalau sama aku?” “Ehm ... kalau kakak? Ya, aku sih sempat nyaman dengan kakak, dan enggak tahu lah! Udah deh jangan bilang gitu, aku malu jawabnya.” “Kok malu?” “Iya aku nyaman dengan kakak, lebih dari teman, Kak. Udah deh jan bikin Ica grogi, Kak!” Tidak tahu kenapa aku bisa bicara seperti itu, memang ini jujur dari dalam hatiku, kalau aku memang suka dengan kedewasaan Kak Satria, dan dia benar-benar membuat aku nyaman dengan perlakuan dan perhatiannya. Ya, meski aku belum bisa mencintai laki-laki lagi, karena masih ada perasaan yang tertinggal untuk Arkan. Tapi, harusnya aku mencoba untuk menjalin hubungan dengan laki-laki lagi. Apalagi, sosok Kak Satria yang membuatku nyaman. Harusnya aku bisa sedikit demi sedikit menerima Kak Satria. Iya, benar kata Devan, aku harus bisa sedikit demi sedikit membuka hati untuk Kak Satria. Padahal aku tahu, dia cemburu saat menyebut nama Kak Satria. Tapi, kali ini Devan sangat dewasa sekali. Sikapnya jauh berbeda dari Devan yang dulu argoan dan kasar. “Hallo, Ca? Kamu masih di situ?” “Ah iya, Kak. Aku masih di sini, nunggu kakak!” “Hmmm ... aku akan secepatnya ke situ, melamar kamu.” “Ih, kakak!” “Aku sayang kamu, Ca. Sudah sana istirahat. Kakak akan menunggu jawaban kamu satu minggu lagi. Padahal kakak maunya sekarang, Ca. Tapi, gak apa-apa lah! Sudah istirahat, jaga kesehatan kamu. Sampai jumpa minggu depan, apa pun jawaban kamu nantinya, aku tetap akan ke situ menemui kamu.” “Ehm ... iya, Kak. Makasih kakak sudah mengerti aku.” “Iya, Ca. Ya sudah kamu istirahat. Aku sayang kamu. I love you.” “Ehm ....” “Gak usah dijawab, Ca. Aku tahu kamu belum bisa jawab sekarang, tapi suatu hari nanti kamu akan terbiasa membalas ucapanku itu. Aku hanya ingin mengutarakan saja apa yang ada di hatiku, karena itu kenyataannya.” “Iya, Kak. Makasih, ya?” Gak tahu kenapa malam ini rasanya aneh sekali mendengar Kak Satria mengucapkan kata I love you padaku. Ada sedikit getaran di hatiku, dan entah itu cinta atau bukan. Bahkan aku gugup sekali rasanya saat mendengar Kak Satria mengucapkan itu. Mungkin pipiku saat ini memerah, mendengar Kak Satria mengungkapkan kata sayang padaku. Dengan nada bicara dengan sangat dewasa sekali padaku. Tuh benar pipiku bersemu, ih kenapa bisa seperti ini? Padahal Devan setiap hari bilang cinta dan sayang sama aku, aku biasa saja? Kok ini sama Kak Satria aku gini, udah detak jantungku gak karuan lagi rasanya? Jatuh cinta? Ah, masa iya aku jatuh cinta sama Kak Satria? Apa mungkin ini semua pertanda kalau aku harus membuka hatiku kembali, dan menerima lamaran Kak Satria? Ya, mungkin harus sih? Aku harus membuka hatiku lagi untuk laki-laki yang benar-benar tulus padaku seperti Kak Satria.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN