Bab 5 - Dilema

1714 Kata
Aku masih saja terngiang ucapan Kak Satria tadi saat dia menyatakan perasaannya padaku. Tidak pernah aku duga, Kak Satria mengucapkan kata I love you. Padahal selama ini, dia hanya bilang sayang saja kalau sedang telfonan. Tidak pernah sampai mengucapkan kata cinta seperti saat kemarin mengungkapkannya waktu aku ulang tahun. Aku memang belum menjawabnya, tapi malam ini, aku merasakan Kak Satria begitu tulus dan serius denganku. Apa aku harus menerimanya dan mencoba belajar mencintainya? Apa aku harus memberikan kesempatan itu pada Kak Satria? Aku memang butuh pelipur lara hatiku yang masih saja sakit dan tidak bisa melupakan Arkan. Arkan lagi. Setiap hari aku terus mengingat Arkan. Tidak tahu kenapa, setiap hal yang aku lakukan selalu saja ingat dia. Sudah hampir satu tahun kejadian itu, tapi aku sama sekali belum bisa melupakannya. Padahal Arkan pasti sudah bahagia, mungkin juga sekarang sedang menikmati masa-masa menemani Thalia hamil? Harusnya aku, aku yang ada di posisi itu. Tapi, memang cinta tidak bisa dipaksakan, dan apa aku salah masih mencintai Arkan? Orang yang sudah menghancurkan hidupku kala itu, saat di mana seharusnya aku meneguk kebahagiaan, tapi malah kekecewaan yang aku dapatkan. Huft ... aku tidak mau mengingat kejadian pahit dan sakit dalam hidupku lagi. Benar kata Devan, aku harus belajar menerima Kak Satria. Aku harus segera melupakan Arkan dari hidupku, aku tidak mau hidupku seperti ini terus. Belajar melupakan, tapi malah mempersulit hidupku sendiri, karena tidak ada sosok yang bisa membimbingku untuk belajar melupakan Arkan. Percuma aku menghindar jauh ke Jepang, tapi hasilnya nihil? Percuma saja. Benar kata Devan, semua percuma saja kalau aku masih terus mengingat Arkan, dan enggan membuka hatiku untuk laki-laki lain. “Asslamualaikum ....” Dengan cepat aku menoleh ke arah pintu depan. Mama dan papa pulang dari kantor. Aku bergegas membukakan pintu. “Mama sama papa kok tumben lama pulangnya?” “Iya, tadi mama menemani papamu dulu,” jawab mama. “Harus ya ditemani mama?” protesku. Aku memang kesepian setelah Devan kerja, dan kalau malam sudah jarang ke rumah menemaniku. Bahkan kita pun sekarang jarang mengerjakan tugas kuliah bersama. Dev sibuk dengan pekerjaannya saat ini. Apalagi sekarang dia menjadi kepercayaan bosnya yang cantik itu. “Kok masam gini wajahmu? Kan papa sudah biasa ditemani mama, Sayang?” ucap papa. “Iya sih? Tapi, apa harus tuh setiap hari?” Aku berjalan di sebelah papa dengan bergelayut manja. “Kenapa kok tiba-tiba kamu protes gini? Biasanya enggak masalah kalau mama dan papa pulang malam? Kan ada Dev?” ujar mama. “Mama kan tahu sendiri, Dev sekarang kerja. Dia habis pulang kuliah langsung ke tempat kerja, karena sekarang kan dia jadi kepercayaan bosnya yang cantik, Ma ...,” jawabku. “Hmmm ... jadi protes gini juga karena Dev sekarang jadi kepercayaan bos cantiknya? Kesepian ya gak ada Dev? Makanya, jangan nyia-nyiain orang yang care dan sayang sama kamu. Lihat berapa lama Dev mendampingimu dan selalu setia? Sampai papa udah ngerasa punya anak laki-laki. Sekarang pun dia selalu ada sama kamu, giliran Dev punya dunia sendiri kamu malah gini?” ujar Papa. “Ih, papa ... bukan gitu! Aku kesepian saja sendirian!” tukasku. “Kan ada mbak yang nemenin?” ucap mama. “Iya sih, tapi kan mama tahu sendiri, kalau mbak udah selesai masak dan beres-beres ya sudah ke kamarnya, telfonan sama suami atau anaknya. Kan gak enak kalau Ica ajak bicara, Ma ....” “Ya sudah, nanti mama kurangin ikut papa ke kantor deh, demi anak mama biar gak kesepian,” ujar Mama. “Gitu dong, papa juga harus ngalah! Masa ditemanin mama terus kerjanya?” protesku lagi. “Iya, iya ... besok papa suruh mama untuk pulang dulu deh, demi anak papa yang sekarang sedang kesepian.” Papa merangkulku dan mencium kepalaku. Sejak kegagalanku untuk menikah dengan Arkan, papa dan mama adalah sahabat terbaikku. Meski mereka sibuk, mereka sama sekali tidak pernah membuat aku kesepian. Mama dan papa selalu ada untuk aku, seperti halnya Devan, dia pun sama seperti mama dan papa, selalu menemani hariku yang masih belum stabil karena luka yang tak berdarah ini. “Papa dan mama bersih-bersih dulu, ya? Terus nanti ada yang ingin mama bicarakan sama kamu,” ucap Mama. “Soal?” tanyaku. “Nanti kamu tahu,” jawab papa. “Pasti Kak Satria?” ucapku yang membuat mereka menghentikan langkahnya untuk ke kamar. “Apa Satria dan Tante Leli sudah bicara dengan kamu?” tanya mama. “Ya, baru satu jam yang lalu menelefonku,” jawabku. “Lalu, kamu bagaimana?” tanya papa. “Lebih baik, papa dan mama bersih-bersih dulu deh! Ica siapin kopi buat teman kita cerita, terus Ica siapkan cemilan yang tadi iseng-iseng Ica buat sepulang kuliah,” jawabku. “Emmm ... oke deh,” ucap papa. Sudah kuduga, pasti mama dan papa akan membicarakan soal keinginan Tante Leli. Memang aku yang menunda-nunda menjawab apa yang Kak Satria tunggu. Sudah hampir dua bulan aku tidak memberikan jawaban pada Kak Satria. Mungkin memang ini saatnya aku membuka hati untuk Kak Satria, dan aku akan buktikan, jika suatu hari nanti aku kembali ke Indonesia, aku bisa melupakan Arkan, apa pun tentang Arkan sudah aku lupakan dan aku melepaskannya dengan ikhlas. Aku duduk di ruang tengah, menunggu mama dan papa keluar dari kamar. Selama papa di Jepang, papa meminta Kak Satria mengurus perusahaannya, dan sejak itu papa dan Kak Satria semakin dekat. Papa memang menyerahkan semua urusan perusahaannya pada Kak Satria, karena papa pun malu dengan kejadian itu. Kejadian yang membuat papa malu dengan semua rekan bisnisnya yang sudah menyaksikan akad nikahku yang gagal kala itu. Itu alasan papa memberikan amanah pada Kak Satria, dan papa lebih baik mengurus usahanya di sini menemani aku menyembuhkan luka hati karena kejadian itu. Orang tua mana yang tidak malu, anak perempuan satu-satunya gagal menikah. Tinggal selangkah lagi untuk memulai hidup baru, tapi gagal karena mempelai prianya menyebut nama wanita lain saat melangsungkan ijab qobul. Papa sebenarnya sangat malu saat itu, bukan hanya papa. Mama pun malu. Mama sangat terpukul dengan kejadian itu. Tapi, aku salut dengan mereka yang benar-benar legawa menerima takdir yang aku hadapi saat itu. Cibiran dari rekan bisnis, omongan tak sedap dari teman-teman mama, dan lainnya. Semua itu adalah mimpi buruk dalam keluargaku. “Ngelamun apa?” Papa tiba-tiba merangkulku dan duduk di sebelahku. “Enggak ngelamun, Cuma lagi bengong saja, ingat sakit hati papa dengan keluarga Om Arsyad,” jawabku. “Hei, jangan mengingat itu lagi. Papa sudah ikhlas, papa juga sudah baik-baik saja dengan Om Arsyad dan Tante Annisa,” ucap papa. Padahal aku tahu, papa masih sakit jika mengingat itu. Tapi, papa dan mama orang tua yang hebat, hatinya benar-benar seperti malaikat, tidak pernah memiliki dendam, meski disakiti orang. “Iya sih, kalau saja aku mendengarkan ucapan papa saat itu, aku mungkin tidak sesakit ini, Pa. Maafin Ica ya, Pa? Ica sudah bikin papa dan mama malu. Sampai papa menyerahkan semua urusan perusahaan pada Kak Satria,” ucapku. “Bukan seperti itu. Papa melakukan itu, karena papa enggak mau putri papa ini melalui masa tersulitnya sendirian. Jadi, papa serahkan semua pada Satria, mumpung Satria sudah tidak bekerja lagi dengan Leo,” jelas papa. “Sekarang papa tanya, bagaimana jawaban kamu untuk Satria?” tanya papa. “Jawaban apa ya, Pa?” “Ih malah tanya balik? Apa perlu papa jelaskan?” “Ih papa ... Ica bingung, Pa. Ica takut tidak bisa menjadi yang terbaik untuk Kak Satria, papa tahu sendiri Ica sampai saat ini masih ... ya seperti yang papa tahu saja lah,” jawabku. “Ca, kadang hidup harus memilih yang tidak enak. Enggak selamanya apa yang kamu mau itu terwujud, contoh saja kamu mau sama Arkan, tapi nyatanya?” “Iya sih, Pa. Ica juga mau tanya sih sebenarnya soal Kak Satria, sama mama dan papa. Ica harus gimana? Apa Ica harus nerima Kak Satria dan belajar mencintai Kak Satria, atau gimana?” “Mulai belajar dari hal kecil, mungkin dari perhatian kecil untuk Satria, atau bagaimana. Papa yakin, jika sudah terbiasa perasaan itu akan tumbuh.” “Lalu dengan Devan? Aku sudah terbiasa dengan Devan tapi biasa saja? Padahal dia selalu bilang cinta, sayang, dan lainnya yang romantis sama Ica. Tapi, tidak ngefek sih?” “Ya kamu dari awal kan sudah niat kalau Dev itu sahabat kamu. Ya pasti sulit untuk kamu jatuh cinta sama Dev. Beda dengan Satria, kamu kenal Satria dengan tidak sengaja, papa lihat Satria sangat dewasa dan sabar orangnya.” “Iya sih, beda jauh dengan Dev.” “Lalu anak mama ini nerima enggak? Sudah lah, lupakan Arkan! Laki-laki plin-plan enggak punya pendirian! Sudah lupakan, pilih Dev atau Satria. Mama sih setuju semua, tapi mama lebih condong ke Satria, dia lebih bisa mengayomi kamu yang manja, kalau Dev, dia saja manja dengan papa dan mamanya. Biarlah, Dev jadi anak laki-laki mama saja. Dia juga manutan sekali kalau mama suruh nemenin shoping.” “Ih mama gitu amat!” “Tapi, sekarang Dev sibuk ya, Ca?” “Dia kerja, katanya lagi cari jati diri.” “Ada-ada saja dia,” ujar papa. Dev memang selalu menuruti apa yang mama minta. Kadang mama juga meminta Dev untuk menemani ke mall, menemani jalan-jalan, di suruh bawa belanjaan banyak pun Dev mau. Dia sudah menjadi anak laki-lakinya mama dan papa. Kadang malah papa beliin apa-apa untuk Devan dulu, bukan untuk aku. “Terus jadinya diterima gak?” tanya papa. “Aku minta waktu sama Kak Satria satu minggu, Pa. Dia bilang sih gak apa-apa, tapi kalau bisa lebih cepat lebih baik,” jawabku. “Kamu minta petunjukm sama Allah, kalau memang Satria baik untuk kamu, dalam waktu seminggu ini, kamu pasti dapat jawabannya,” tutur papa. “Iya, Pa. Ica gak pernah lupa shalat istikharah. Ica memang dilema, dua bulan lamanya Ica dihantui rasa bersalah pada Kak Satria yang menggantungkan pertanyaan Kak Satria tanpa Ica jawab. Mungkin dalam waktu dekat ini, Ica akan memberikan jawaban. Do’akan Ica selalu ya, Pa, Ma?” “Itu pasti, Nak. Papa yakin, kamu pasti bisa melupakan luka di hati kamu,” “Iya, Ca. Kamu pasti bisa. Ada mama dan papa yang selalu support kamu, apa pun yang kamu putuskan mama akan menghargai keputusan kamu.” Aku benar-benar beruntung sekali memiliki orang tua yang care denganku. Saat aku terpuruk seperti ini, mereka selalu ada. Mereka selalu memberikan support untukku, dan selalu mengerti perasaanku yang masih porak-poranda karena Arkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN