Bab 12

1266 Kata
"Sudah malam, Nadia. Kamu tetap akan pulang?" tanya Nyonya Ranti, sang mertua.  "Iya, Mah. Nadia pulang saja. Sekalian beres-beres buat besok." Ya, pada akhirnya Nadia mengambil keputusan untuk menemani Keanan ke Bali, demi tugas yang diberikan oleh Pak Hari —papa mertuanya.  Bukan karena ia ingin berduaan dengan Keanan, seperti tujuan yang Pak Hari rencanakan. Gadis itu hanya memikirkan kondisi jiwa Keanan yang saat ini tengah tidak baik. Ia takut jika tugas yang Pak Hari serahkan, tidak dijalankan dengan baik oleh lelaki itu.  "Ya sudah kalau begitu. Kamu hati-hati di jalan. Besok subuh Anto akan memberikan tiket dan kebutuhan lainnya ke rumah kalian." "Baik, Pah." Anto adalah asisten pribadi Pak Hari. Ia yang menyiapkan segala keperluan yang akan Keanan dan Nadia butuhkan selama di Bali.  Nadia meninggalkan rumah mewah kediaman Darmaputra ketika hampir pukul sebelas malam.  Suasana malam yang sepertinya kelabu, dengan mendung yang menghiasi langit ibukota, dan sekali terdengar petir menggelegar dengan kilat yang seolah membelah langit.  Nadia yang sejak dulu takut dengan suara petir, melajukan kendaraannya dengan sedikit lebih cepat.  Beruntungnya ia, sebab jalanan yang sudah lengang, sehingga ia bisa sampai rumah dalam waktu yang cukup singkat. "Non' Nadia? Kirain Bibi, Non' mau menginap di rumah bapak?" kaget Bi Darmi, ketika membuka pintu, ternyata nona mudanya yang membunyikan bel.  Nadia masuk ke dalam rumah dengan sedikit kelelahan. Entah tubuhnya yang lelah, atau kah pikirannya yang saat ini memaksa untuk ia lebih keras berpikir. Tapi yang terlihat oleh sang asisten, wajah cantik gadis itu tampak tak b*******h, hilang semangat.  "Besok aku harus berangkat ke Bali, Bi. Nemenin tuan Keanan. Jadi, aku harus packing malam ini." "Non mau ke Bali juga? Berdua?" Ada gurat khawatir yang nyata terlihat di wajah tua wanita itu.  Bi Darmi yang sudah sangat menyayangi Nadia, sejak gadis itu tinggal di kediaman Mahendra, tentu saja tak tega jika terjadi sesuatu yang akan membuat Nadia celaka meskipun itu dilakukan oleh tuan mudanya sendiri. Lelaki yang Bi Darmi tahu, nonanya itu cintai.  "Iya, Bi. Tugas kantor dari papa." Nadia berusaha menampilkan wajah ceria di hadapan asistennya itu.  Bi Darmi tahu jika tuan mudanya itu hendak ke Bali besok. Tapi ia tidak menduga jika kepergian Keanan, bersama dengan Nadia. Rencana apalagi yang tengah Pak Hari pikirkan? Begitu batin wanita tua itu bicara.  "Tuan udah pulang?" tanya Nadia sembari berjalan ke arah kamar.  "Sudah, Non. Udah dari tadi." Perlahan berjalan menuju kamar miliknya yang berada dekat dengan ruang keluarga, Nadia berpamitan pada Bi Darmi.  "Ya sudah, aku mau packing dulu kalau gitu, terus lanjut tidur. Besok ada Mas Anto —asisten papa— yang datang ke rumah bawa tiket dan dokumen lainnya, nanti tolong Bibi terima. Setelahnya, kalau aku atau tuan Keanan belum keluar kamar, tolong bangunin saya yah, Bi?" "Baik, Non. Kalau gitu Non segera istirahat." "Bibi juga. Maaf yah ganggu waktu istirahatnya tadi?" "Ah, enggak, Non. Memang Bibi belum tidur." Senyum menghias wajah Bi Darmi.  "Oh yah, jangan lupa tolong sampaikan pada tuan, kalau besok aku jangan ditinggal," sahut Nadia, sebelum sosoknya menghilang ke dalam kamar.  *** Di dalam kamar Keanan, tampak lelaki itu sedang duduk di balkon. Dengan beralaskan lantai yang dingin, juga beratap langit malam yang tampak mendung, Keanan tengah menikmati kesendiriannya dengan ditemani minuman alkohol berkadar rendah.  Lelaki itu, meski hati dan pikirannya sedang kacau, ia masih sadar dengan perintah sang papa yang menyuruhnya berangkat tugas ke Bali esok, sehingga ia tidak berani meminum terlalu banyak, yang akan membuatnya mabuk hingga siang hari.  Ketika mobil sang istri —Nadia— masuk ke halaman rumah, ia tahu. Dan melihat dari atas balkon, memandang lurus ke arah gadis cantik yang dulu pernah dekat dan akrab dengan dirinya.  Sayangnya, Nadia tidak tahu jika lelaki yang ia cintai sejak pertama kali bertemu, hingga saat permintaan cerai ia keluarkan dari mulutnya, tengah memperhatikan dari lantai atas kamar.  Nadia! Nama gadis itu cukup melekat di dalam hati Keanan —dulu— ketika gadis itu masih remaja. Menyebalkan tapi menyenangkan. Sebal karena gadis itu terus mengikuti kemana pun ia pergi. Senang karena ada orang yang bisa ia rundung jika Keanan sedang berada di rumah.  Lelaki itu memang tidak pernah jatuh cinta pada Nadia. Ia hanya menganggap gadis berusia dua puluh tahun itu hanya sebagai adik perempuannya. Ketika pun ia tahu Nadia menyukainya, Keanan menganggap itu adalah sesuatu yang kekanak-kanakan, sebab usia lima belas tahun yang masih menempel di tubuh dan jiwa gadis itu, sama sekali tidak memikat hatinya.  Perubahan terjadi tatkala Keanan jatuh cinta pada Maura. Wanita yang berprofesi sebagai model itu, mampu menggetarkan hati Keanan sejak pertama kali melihat gadis itu berleggak lenggok di atas catwalk.  Sepulangnya Nadia dari Jepang dengan Sean, setelah melakukan perjalanan selama satu minggu lamanya —sembari menikmati keindahan sakura yang tengah bersemi— gadis itu baru mengetahui kalau ia sudah tidak seakrab dulu dengan 'adiknya' itu.  Masa empat tahun kebersamaan mereka, harus terkalahkan dengan kehadiran sosok Maura di hati Keanan.  Sedih? Tentu saja Nadia sedih. Dan Keanan tahu itu. Tapi mau bagaimana lagi, hati memang tidak bisa dipaksakan.  Lambat laun —setahun belakangan ini— Nadia berubah menjadi sosok yang lain dari yang Keanan kenal dulu.  Gadis itu berubah menjadi seorang wanita muda yang mandiri dan pintar. Keanan akui jika Nadia kini memiliki penampilan yang sangat cantik. Bukan dulu tidak cantik, bukan sama sekali. Tetapi penampilannya kini menunjukkan sosok wanita dewasa yang tidak bisa dianggap sebagai gadis lugu seperti dulu lagi. Seorang gadis polos dengan segala tingkah konyol juga suaranya yang cempreng plus cerewet.  Terpesona? Entahlah, Keanan belum mau mengakui. Hanya saja sejak Nadia memintanya untuk mereka bercerai, Keanan enggan.  Di tengah lamunan juga memori Keanan tentang dirinya dan juga Nadia, terdengar suara ketukan di pintu kamarnya.  Tok! Tok! Tok!  Dengan berat hati, Keanan bangun dari duduk lesehan di lantai balkon. Mendekati pintu sembari membawa gelas berisi minuman alkohol tadi.  "Iya, Bi?" Sang asisten rumah tangga itu berdiri di depan pintu kamarnya.  "Non Nadia bilang, besok akan menemani Tuan Keanan ke Bali. Bibi disuruh menyampaikan, kalau Non Nadia belum siap saat Tuan berangkat, tolong Tuan untuk menunggu." Ada raut terkejut di wajah Keanan tatkala mendengar tugasnya esok akan ditemani oleh sang istri. "Bukannya tadi Papa menolak dia menemaniku?" batin Keanan.  Sekejap kemudian, Keanan menormalkan ekpresi mukanya kembali. "Iya, Bi. Makasih udah kasih kabar. Ya, kalau besok dia kelamaan, mau enggak mau aku tinggalin." Keanan berkata dengan cuek. Meski tak dipungkiri, ada sedikit perasaan senang ketika akhirnya ia tidak harus sendiri melaksakan tugas sang papa di Bali.  Menghadapi klien yang sangat akrab dengan papanya itu, jujur saja menjadi beban yang memberatkan Keanan untuk menerima kemauan sang pemimpin perusahaan itu.  Tapi, mau tak mau Keanan harus maju. Sebab nantinya, bukankah perusahaan itu akan jatuh padanya?  Ah! Ternyata itu hanya mimpi. Pilihan yang ia berikan kepada sang kepala keluarga, jika ia tidak menceraikan Nadia, otomatis membuatnya menjadi pria miskin sekarang.  Jadi, tugas yang besok harus ia laksanakan, semata-mata hanya sebuah keterpaksaan yang Pak Hari berikan kepada putranya, sebab waktu yang sempit dan juga keadaan yang membuat Pak Hari tetap menunjuk Keanan untuk berangkat.  "Ini sudah malam, kenapa Tuan Keanan belum tidur? Dan juga kenapa harus minum minuman seperti itu lagi?" seru Bi Darmi, miris melihat tuan mudanya kembali ke hobinya yang lama.  Bi Darmi tahu, jika Keanan meminum minuman beralkohol itu karena ada masalah yang saat ini sedang membebani pikiran dan jiwanya. Berpuluh tahun tinggal di kediaman Darmaputra sejak masih remaja sampai tua, wanita itu tentu hafal dengan semua yang ada di dalam anggota keluarga itu. Baik fisik, sifat dan karakter, Bi Darmi tahu.  "Aku enggak mabuk kok, Bi. Cuma pingin nyobain dikit aja, udah lama." Senyum menghias di wajah Keanan.  "Ya sudah, lebih baik Tuan istirahat. Bukankah besok harus pergi pagi?" "Ehm, ya!" ***  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN