Kesal

968 Kata
  Ella memandangi seluruh penjuru kamarnya. Benar-benar indah. Ella tidak pernah membayangkan akan memiliki kamar seperti ini. Seumur-umur yang ada dibenaknya hanyalah bagaimana cara dia menghasilkan uang. Boro-boro mikirin punya kamar sendiri. Dikasih tidur diatas tempat tidur saja, sudah merupakan hal yang Bagus. Kamarnya terbagi menjadi beberapa bagian. Pada bagian depan ada ruang khusus bersantai, yang di isi sama 1 set sofa empuk berwarna putih, perpustakaan kecil. Dibagian depan itu juga ada meja belajar, serta televisi besar yang menggantung di dinding. Sedangkan bagian tengah ruangan, barulah didapati tempat tidur yang menghadap balkon dengan pemandangan Taman rumah mereka, dan dibagian paling ujung ruangan adalah walk in closet, yang dipenuhi dengan barang-barang mewah serta bermerk. Gadis itu, Ella, bahkan sampai tidak mengenal merk merk apa yang ada dalam walk in closetnya. Ella menaiki ranjang dengan memakai salah satu piyama yang ada dilemarinya, bersiap untuk tidur. Ini sudah jam 8 malam, dan mamanya menyuruh dirinya untuk istirahat. Padahal biasanya, jam segini Ella baru saja menyelesaikan jam kerja part timenya. Sebelum merebahkan tubuhnya, ia mendengar suara pintu kamarnya dibuka. Ella terpaku melihat sesosok orang yang gak dikenalnya, berdiri didepan kamarnya, yang memandanginya dengan tatapan tajam. Khafi Putra Kylie, putra pertama keluarga Kylie berdiri bak patung didepan kamar seorang gadis yang saat ini sedang terpaku menatapnya. "Apa kamu tidak mau memeluk kakakmu ini, Karin?" Khafi berucap pelan. "Kakak?" cicit Ella. Dia bingung apa yang akan dilakukannya. Khafi memandangnya tajam, dan membuat dirinya merasa teritimidasi. Tidak mendapat apa yang diinginkannya, Khafi berjalan pelan memasuki kamar adik perempuannya itu. Dia berdiri tepat dihadapan adiknya. Kepalanya menunduk, memastikan bahwa adik kecilnya itu memperhatikannya. Khafi tersenyum miring, yang lebih mirip kepada menyeringai sebenarnya. Ella yang melihat itu langsung tertunduk takut. Sejujurnya, seberani apapun dia selama ini, jika dihadapkan dengan orang seperti yang dihadapannya, pasti akan membuat nyalinya ciut. "Kamu takut?" kembali suara itimidasi itu terdengar diruang kamar Ella. Tidak ingin membuat masalah semakin rumnyan, Ella hanya menggangkukan kepalanya. Ia benar-benar takut, kalau boleh jujur sebenarnya. Khafi yang melihat tingkah adiknya itu langsung duduk dan mensejajarkan pandangannya dengan Ella. Dirinya kasihan sebenarnya, tapi hanya dengan cara begini yang bisa menyadarkannya, bahwa adik kecilnya itu sudah kembali pulang kerumah. Khafi langsung memeluk erat Ella, merengkuh tubuh mungil adiknya itu. "Jangan takut sayang, kakak gak akan nyakitin kamu" tubuh Ella menegang mendapati perlakuan itu. "Terima kasih ya kamu udah mau pulang. Trimakasi masih memberikan kami kesempatan untuk mengenal kamu. Trimakasih karna masih memberikan kami kesempatan. Dan maafkan kakamu yang tidak bisa melakukan banyak hal ini" pelukan Khafi semakin mengerat seiring perkataan itu keluar dari mulutnya. Khafi teringat dengan masa-masa neraka saat mereka kehilangan adiknya ini. "Kak! Aku gak bisa nafas" ucap Ella pelan. Khafi yang baru menyadari dirinya baru saja melampiaskan emosinya kepada adiknya itu langsung melepaskan pelukannya. "Maaf sayang. Kakak nyakitin kamu lagi ya?" Tanya Khafi lembut. Ella yang melihat sorotan bersalah dari tatapan Khafi hanya menggeleng lemah, dia bukan kesakitan, tapi ketakutan. "Jangan pergi lagi ya!" Khafi mengelus pipi Ella sayang. Ada perasaan bahagia dan terharu karena masih bisa diberi kesempatan untuk bertemu dengan adiknya. Ella menganggukan kepalanya pelan. Dia tidak terbiasa diperlakukan seperti ini, karena selama di panti, mau tidak mau dirinya diwajibkan untuk mandiri. "Tidur ya! Kakak temankan disini" ujar Khafi sambil membaringkan Ella lembut. Khafi juga ikut membaringkan tubuh lelahnya tepat disamping Ella. ^^^ Hari sudah menujukan pukul 07 pagi, dan saat ini keluarga Thomas sedang berkumpul diruangan makan untuk sarapan pagi. Ella yang memang selalu bangun pagi sudah duduk manis dibangkunya, beda hal dengan Kenzo yang masih diseret-seret mama mereka untuk bangun pagi. Kennan yang tadi malam menghabiskan waktunya untuk mabar bersama Kenzo pun saat ini masih sedang mandi, karena dia ada kelas pagi. Khafi menuruni undakan tangga menuju ruangan makan. Disana dia sudah mendapati adik kecilnya sudah duduk manis sedang mengobrol dengan papanya. Sedangkan mama mereka, Gisel, baru saja turun kebawah setelah berhasil menyeret Kenzo kekamar mandi. "Morning sayang!" ucap Khafi, dan tanpa permisi langsung mengecup ujung bibir adiknya, Ella. Ella yang mendapat perlakuan seperti itu terkesiap kaget, sendok yang dipegangnya langsung jatuh dan menghantam piring yang berada dibawah. Thomas yang melihat keterkejutan putrinya langsung terkekeh. "Ada apa? Apa kakak mengejutkanmu?" Khafi berujar kawatir, apalagi melihat wajah adiknya yang terdiam. Mata Ella berkaca-kaca "Itu ciuaman pertamaku kak! Kenapa diambil?" ucap Ella dengan mata berkaca-kaca. Khafi yang melihat tingkah adiknya hanya bisa mengerjabkan matanya lucu, benarkah? "Bagus kalau begitu!" ujar Khafi tersenyum miring tanpa merasa bersalah sedikitpun. "Hai adikku sayang!" Kennan datang dari arah belakang Ella, hendak mencium pipi adiknya. "NO!!!" teriak Ella dengan mata berkaca-kaca. "Pokoknya aku gak mau dicium siapa-siapa lagi" ujarnya yang hampir menangis. Thomas yang melihat kondisi mulai menegang langsung memecah keheningan, "Sayang, anaknya papa, kakakmu gak bermaksud begitu nak. Lagiankan yang cium kakak kamu sendiri. Sesama keluarga itu adalah hal yang lumrah" jelas Thomas sabar sambil mengelus pipi Ella sayang. Ella tidak terbiasa mendapatkan perlakuan seperti itu. Jadi ini hal yang baru terjadi padanya, dan dia tidak tau mau merespon seperti apa. Hidup Ella itu keras, segala hal menjadi hal serius baginya. "Maafin kakak ya!" ucap Khafi lembut. Ia tidak ingin adiknya itu membencinya karena hal spele seperti ini, ya walaupun dia sama sekali tidak merasa bersalah akan perbuatannya. Ella tidak langsung menjawab, pikirannya berkelana, batinnya saling beragumen, mungkin, sudah seharusnya Ella menikmati hidupnya. Hal seperti ini mungkin merupakan salah satu bentuk kasih sayang menurut keluarganya. Ella memandang sekelilingnya, ia melihat tatapan sedih papanya, tatapan menyesal kakaknya, Khafi, serta tatapan berharap dari Kennan. Ella menghembuskan nafasnya kasar setelah mendapatkan jawabannya. Kepalanya mengangguk pelan, kemudian mengambil inisiatif untuk memeluk kakaknya Khafi. Khafi yang mendapat perlakuan seperti itu tersenyum bahagia. Ia senang, tentu saja. "Kakak gak mau dipeluk juga?" Kennan berucap tidak terima. Ella memiringkan kepalanya, memandang Kennan yang sedang berharap. Setelah memutuskan, Ella melepas pelukannya pada Khafi, dan memeluk Kennan erat. Tanpa diminta, Ella mendaratkan kecupan ke pipi Kennan dengan malu-malu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN