Farhan memegang dadanya yang bergemuruh dengan kencang.
Tuhan, ada apa ini?
"Han?" Panggil Rama. Farhan tak menyauti.
"Han?" Panggil Rama sekali lagi, tapi tetap saja Farhan tak menggubris panggilan dari Rama.
"Et cah budeg! Lu ngapein sih liatin anak itu?! Lu demen sama anak kecil? Lu pedof--" belum selesai Rama berbicara tapi Farhan sudah menyela terlebih dahulu.
"Enggak, Dia.."
Rama menaikan sebelah alisnya, "dia kenapa?"
"Dia mirip.."
"Mirip siapa?"
"Mirip Nara, Ma."
Deg
"Maksud lo, Han?"
"Iya dia mirip Nara. Gak tau gimana ceritanya, tapi gue rasa dia anak gue Ma."
"Gimana bisa?"
"Entahlah, tapi firasat gue gapernah salah."
"Semoga aja itu emang bener anak lo, bro." Rama menepuk pundak Farhan, lalu keduanya kembali menyusuri jalan.
***
Nur masih saja berusaha untuk menyuapi Reya makan siang ini, anaknya itu sedikit susah makan sekarang.
"Reya gak mau makan Mama. Reya mau Ayah," kata nya sambil memandangi gelas kaca yang ada dihadapannya.
Nur mengelus rambut hitam dan lurus Reya dengan sayang. "Ayah kan masih di Yogyakarta sayang. Masa iya, Reya gak mau makan kalo gaada Ayah, hhmm?"
"Iya, Reya cuma mau Ayah. Reya kangen Ayah.."
Nur menghela napasnya. Reya memang dekat sekali dengan Farhan. Walaupun hubungannya dengan Farhan bisa dibilang dingin dan tak berwarna tapi hubungan Farhan dan anak mereka sangat-sangat hangaat.
Reya memutar mutar pinggiran gelas kaca, lalu menatap bayangannya sendiri di kaca itu.
"Mama?"
"Iya sayang?"
"Boleh Reya telfon Ayah?"
"Ngggg..."
"Kenapa Ma?"
"Ini masih siang Re, ayah masih kerja. Nanti malem aja ya?" Tawar Nur. Reya mengerucutkan bibirnya lucu.
"Yaaaah.. yaudah deh kalo gitu..."
"Hei sayang jangan seedih ya?Mama janji nanti malem kita telfon Ayah, ookay?"
"Okaay!"
"Yaudah sini sekarang makan dulu yaa!"
Pun Nur menyuapi Reya makan sambil pikirannya menerawang jauh entah kemana.
***
Nara sedang memasukan pudding yang sudah ia panaskan tadi ke dalam cetakan, dan memasukannya ke dalam kulkas yang baru saja dibeli Dela untuk mereka. Dela memang lebih sering membeli peralatan-peralatan yang ada dikontrakan ketimbang dirinya. Faktor ekonomi lah yang jadi penghalangnya.
"Jadi gimana, Ra? Kamu udah siap buat ngabdi di sekolah lagi?" Tanya dela. Dia memasukan beberapa tortilla ke dalam mulutnya.
"Emang kamu udah tanya kepala cheff di hotel tempat kamu kerja itu?"
"Udah, dia bilang ada. Kamu mau gak?" Tanya Dela lagi. Nara menimbang-nimbang. Antara mau dan tidak.
"Aku mau si.. tapi gimana sama Daffa?"
Dela menghentikan kunyahannya, lalu menatap Nara. "Kan aku udah bilang si Daffa sama aku aja. Santai aja sih, aku jagain kok!"
"Tapi gaenak aku ngerepotin kamu terus-terusan," cicit Nara.
"Sans aja, Ra. Kayak baru kenal sehari aja," tawa Dela berderai.
"Bukan gitu, tapi kan ya gimana ya kan----" ucapan Nara terpotong ketika Daffa masuk kedalam kontrakan dengan sandal yang sudah dilempar nya dengan brutal.
"Astagfirullah! Anak kamu kenapa?"
"Gatau deh, tunggu aja bentar lagi juga pasti cerita."
Daffa menghampiri Nara dengan napas tersegal. Ia memeluk Nara lalu meletakan kepala nya diperut Nara.
"Bunda, aduh, tadi Daffa udah bisa main laket!"
"Oh yaa?" Nara mengusap-usap rambut Daffa sambil tersenyum.
"Terus gimana? Kak Nesya yang ajarin ya?" Tanya Dela
"Iya ante!" Daffa bangkit dari baringnya. Lalu menghadap ke arah Dela, antenya. "Kak Neca ajalin Daffa."
"Diajarin apa aja sama kak Nesya?" Tanya Nara
"Diajalin lempal kok."
"Oh terus Daffa bisa?"
"Bisa! Tapi tadi kok nya Daffa kena om-om..."
"Om-om?" Tanya Nara
"Iya nda om-om. Pake kacamata, ganteng kayak Daffa." Jelas Daffa.
Dela berpandang pandangan dengan Nara. Lalu menatap Daffa kembali.
"Terus sayang, om itu marah gak sama Daffa?"
Daffa menggeleng, "Enggak ante, omnya baik. Omnya gak malah sama Daffa."
Nara tersenyum, "Terus abis itu Daffa lakuin apa sama om itu?"
"Minta maaf, kan kata bunda kalo abis sakitin olang halus minta maaf supaya olang itu gak sedih, yakan ante Del?"
"Iya cabiii! Pinter banget sih, kamu!" gemas Dela.
Nara mengelus-elus punggung Daffa, "Anak bunda pinter bangetttt!"
Nara sangat bersyukur atas lahirnya Daffa di dunianya. Daffa adalah pelipur laranya, juga pelipur dukanya.
••••
Farhan menjatuhkan badannya diatas ranjang king sizenya. Ia memutar balikan badannya, lalu mengambil ponselnya di saku celana.
Foto Freya dan Nur masih setia menjadi lockscreen handphonenya.
2 missed call from wife's.
"Tumben nelpon," gumam Farhan. Ia langsung membuka applikasi w******p dan menekan tombol kamera di room chat ia dan Nur.
10 detik setelah panggilan itu tersambung, wajah Reya muncul. Membuat Farhan tertawa kecil.
"Ayaaaaaaah..."
"Iya anak ayah apaa, hhmm?"
"Reya kangen ayaah.. ayah kapan pulang?"
Bibir Reya yang mengerucut sukses membuat Farhan tertawa, lucu sekali pikirnya.
"Iya ayah juga kangen sama reya. Kangeeeeen sekali! Tapi kerjaan ayah masih banyak disini jadi gak bisa pulang!"
Pun Reya semakin mengerucutkan bibirnya setelah mendengar jawaban Farhan, "Hhhhmm iya deh tapi ayaaah.."
"Tapi apa sayang?"
"Tapi ayah janji buat pulang kan?"
Jantung Farhan berdetak lebih kencang dari biasanya. Ia tak bisa janji, karna ia sudah bertekad tidak akan pulang ke jakarta sebelum ia menemukan Nara dan anak nya.
Huft, maafkan ayah, re.
"Iya sayang ayah janji pasti bakalan pulang!"
"Yeayyy!!" Reya mendekatkan bibirnya pada kamera, seolah olah sedang mencium Farhan.
Farhan juga mendekatkan bibirnya ke kamera membuat keduanya tertawa.
Tak lama, Reya memberi ponsel itu kepada Nur. Nur tersenyum membuat Farhan sedikit tak enak hati.
"Nur maaf," kata Farhan.
Pun nur menjawab dengan tenang, "iya gapapa kok. Hati-hati ya. Jangan sampai telat makan. Aku sayang kamu."
Farhan semakin tak enak hati mendengarnya. "Iya nur, kamu juga ya. Iya, aku juga sayang kamu," jawab Farhan.
"Yaudah aku matiin ya, assalamu'alaikum"
"Wa'alaikumsalam."
Farhan menyimpan ponselnya diatas nakas samping tempat tidur. Ia membalikan tubuhnya menjadi terlentang, lalu menatap langit-langit kamar hotelnya.
Mata anak tadi mirip dengan Nara, sedang wajah hidung juga bibirnya mirip denganku.
Farhan memijit keningnya, lalu tangannya menarik kalung berbandul cincin milik Nara, yang sedang dipakainya.
Farhan mencium cincin itu lama, "Aku mencintaimu Nara. Selamanya, akan tetap begitu."
Lalu matanya terpejam seiring hujan yang turun dikota Yogyakarta malam ini.
***
Nara sedang menidurkan Daffa dikamar kontrakan itu. Ia sedang menepuk-nepuk p****t Daffa agar bocah itu segera tidur.
"Ayo dedek bobok yuk, dah malem lho,"
"Daffa gak ngantuk bundaaa" kata Daffa sembari menenggelamkan kepalanya di d**a Nara. Nara mengusap lembut rambut Daffa. Daffa sangat mirip dengan Farhan. Rambut, hidung, bibir dan wajahnya benar-benar seperti fotocopy Farhan.
"Bunda?" Panggil Daffa
"Iya dek apa?"
"Daffa punya ayah?"
Deg
Satu pertanyaan yang Daffa lontarkan tadi sukses membuat Nara panas dingin. Ia tau cepat atau lambat pasti Daffa akan mempertanyakan perihal Ayah kandungnya.
Dengan senyum lembut, Nara menjawab pertanyaan Daffa. "Punya, tapi ayahnya Daffa lagi kerja jauh bangett." Dustanya.
"Ayah kelja jauh banget nda? Kok ayah gapelnah pulang? Ayah ga sayang Daffa ya bunda?"
"Sayang dek, Ayah sayang sama dedek. Makanya ayah kerja jauh supaya nanti bisa beliin mainan bagus buat dedek."
"Tapi kalo ayah sayang sama daffa, kenapa ayah gapelnah kayak ayahnya kak neca yang ada dilumah telus?"
Nara mengehela nafas berusaha menahan tangisnya agar tidak pecah dihadapan Daffa.
"Sayangg.. dengar bunda ya? Setiap orang bisa menunjukan kasih sayangnya lewat apapun. Kayak ayah Daffa misalnya, beliau gak bisa nemuin daffa dan bunda disini karna beliau kerja buat keperluan kita disini sayang!"
Nara melanjutkan lagi, "Dan lagi, kalo ayah ga disini sama kita itu bukan berarti ayah ga sayang, nak. Justru ayah sayang banget sama kita."
Nara merasa miris. Sayang? hahaha, jelas, ia lebih menyayangi mereka dari pada kita, nak.
"Daffa pengen ketemu ayah bun."
"Nanti ya sayang? nanti ada saatnya ayah pulang terus bisa main sama Daffa ya?"
"Iyaaa "
"Yaudah sekarang daffa bobok ya?"
"Iya bundaaaa.."
Pun dengan itu, Daffa memejamkan matanya sambil memeluk erat Nara.
Nara menatap langit-langit kamarnya sembari mengusap-usap rambut daffa. Ingatannya berputar ke 4tahun yang lalu.
Flashback 4tahun yang lalu.
Nara sedang memasak menu makan malam didapur ketika Farhan sampai dirumah sore itu.
Farhan berjalan memasuki rumah, sambil bersiul-siul melepas jam tangannya. Matanya melihat ke arah dapur dan didapatinya Nara ada di sana.
Ia menghampiri Nara, memperhatikan Nara sambil berkacak pinggang.
"Hei," panggil Farhan. Nara menoleh sambil tersenyum.
"Iya kak? Kakak sudah pulang?" Nara mengecilkan api dikompornya lalu menghampiri Farhan. Mencium tangannya sebagai tanda hormatnya kepada suami.
"Ya kayak yang kamu lihat. Saya udah ada disini ya berarti udah pulang." Sentak Farhan, Nara sedikit terkejut namun kemudian ia tersenyum lembut.
"Mau Nara siapkan air hangat kak?"
"Nggak usah. Lagian saya cuma mau ngasih kamu ini." Ucap Farhan sambil melemparkan pil KB ke atas meja makan. Nara kaget apa apaan ini?
"Ini apa kak?"
"Itu pil KB. Kamu harus minum itu setiap hari supaya kamu gak hamil. Saya gamau sampai kamu hamil. Karna saya gasudi punya anak dari rahim kamu," ucapan Farhan sangat menyakiti hatinya. Tapi meski begitu Nara tetap mempertahankan senyumnya dihadapan Farhan.
"Iya kak, Nara pasti minum ini kok. Maaf ya kak.." cicit Nara.
Farhan bergumam, "Yaudah, jangan sampe lupa. Nanti malem saya tunggu kamu dikamar."
Farhan berjalan memasuki kamarnya. Air mata Nara turun dengan deras karna ucapan Farhan tadi sukses melukainya.
Sebegitu menjijikan kah aku, kak? Hingga kamu tak sudi mempunyai bayi dari rahimku?
Flashback end.
Nara mengusap air matanya. Perkataan Farhan waktu itu benar-benar tak bisa ia lupakan. Jika dulu ketika Nara belum mengandung Daffa saja Farhan sudah menolaknya, lalu bagaimana sekarang yang mana wujud Daffa sudah nyata didepan matanya?
•••