Siapa yang menyangka jika pria tampan bernama Randi itu sangat menyebalkan. Dia selalu membebaniku dengan berbagai pekerjaan di liar job desc-ku.
Mulai dari membuat scedule service, schedule washing, sampai membuat orderan sparepart untuk mobil-mobil raksasa itu.
Sebulan bekerja di sini, membuatku terbiasa menghadapi sikapnya yang menyebalkan.
"Pinjem bentar," kata Randi. Dia mengambil alih tikus yang kupegang, menggerakkannya untuk membuka beberapa file dari komputerku.
Aku masih mengamatinya. Pasti dia mau nambahin kerjaanku.
"Kerjakan ini!" perintahnya.
Sudah kuduga. Tebakanku tidak meleset.
"Lho, ini di luar job desc saya. Nggak mau," bantahku
"Baca PKB, kan? Menolak perintah atasan tanpa alasan yang jelas sanksinya adalah SP 1. Buka buku PKB, dan baca pasal 31."
"Di PKB pasal 17 juga dijelaskan kalau pekerja itu wajib mengerjakan pekerjaan sesuai dengan tanggung jawab yang dibebankan kepadanya. Lah, inikan bukan tanggung jawab saya," debatku tak mau kalah.
"Bawel banget sih kamu. Kerjakan sekarang! Harus selesai sebelum jam pulang."
"Dasar pemaksa," gumamku.
"Apa kamu bilang?"
"Nggak bilang apa-apa. Ini gimana cara ngerjainnya?"
"Ck, sini aku ajarin."
Randi duduk di sampingku, mengambil alih komputer, sedangkan aku menyimak penjelasannya dengan saksama.
"Ngerti, 'kan? tanya Randi.
Kami sama-sama menoleh. Wajah kami sangat dekat, sampai aku bisa merasakan hembusan napasnya menerpa wajahku.
"Ngerti," jawabku singkat setelah memalingkan wajah.
Randi pun kembali keruangan setelah membebaniku dengan pekerjaannya.
Jam sudah menunjukkan pukul 12 siang, waktunya untuk beristirahat. Aku merenggang otot-ototku yang kaku setelah setengah hari duduk di depan komputer.
Ponselku berdering. Senyumku langsung terbit saat melihat nama yang tertera pada benda pipih itu.
Aku menggeser ikon berwarna hijau.
"Halo, Ma," sapaku saat wajah Mama sudah memenuhi layar ponselku.
"Mama lagi di mana?"
"Di rumah sakit, Sayang," jawab Mama.
"Siapa yang sakit?"
"Mbak Sarah, operasi caesar tadi pagi."
"Kok di caesar, Ma?"
"Soalnya sudah melewati HPL, tapi Mbak Sarah belum merasakan kontraksi sama sekali," jelas Mama.
"Gimana keadaan Mbak Sarah?"
"Dia baik-baik aja. Sekarang lagi tidur."
"Mau Liat baby-nya," pintaku dengan suara manja.
Mama mengarahkan kamera ponselnya pada boks bayi. "Cantik, 'kan?"
Kuperhatikan sosok bayi yang sedang tertidur itu. Aku jadi teringat pada sebuah poto bayi yang terpajang di kamar orangtuaku
"Mirip Alin waktu bayi," pekikku, kemudian terkikik geli.
"Ini pasti gara-gara Kak Andre suka ngejek aku."
"Ini gara-gara Sarah waktu hamil benci sama kamu." Bukan Mama, itu suara Kak Andre.
Sekarang wajah bahagia Kakakku yang muncul.
"Apa kabar, Dek? tanyanya.
"Selalu baik, Kak. Selamat ya, Kak. Sekarang sudah naik pangkat jadi Ayah."
"Makasih, Adikku sayang," ucap Kak Andre.
Dia kembali mengarahkan kamera pada bayi mungil berkulit putih itu.
"Tante, kalau pulang bawakan batu bala satu kalung, ya," ucap Kak Andre cadel, mengikuti suara anak kecil.
"Oke, nanti tante bawakan sama Pontonnya."
Aku memandangi bayi mungil itu, rasanya ingin segera pulang, supaya aku bisa mencium pipi tembamnya.
"Namanya siapa, Kak?
"Kiara Anindya, panggilannya Kia."
"Namanya bagus."
"Dek, kapan pulang? Nggak pengen gendong ponakan kamu, nih?"
"Dua bulan lagi, Kak. Rasanya Alin nggak sabar pengen pulang. Pengen nguyel-nguyel Kiara," ucapku gemas.
"Gimana kerja di sana, betah?" tanyanya lagi.
Sekarang Kak Andre duduk di samping Mama.
"Betah. Walaupun capek, tapi Alin dapat banyak teman dan pengalaman."
"Bagus deh. Nggak ada yang gangguin kamu, kan?"
Aku tau jika selama ini Kak Andre selalu memantauku melalui akun media sosial.
"Nggak ada, Kak."
Aku menceritakan kegiatanku selama tinggal di sini. Saking asyiknya mengobrol, aku sampai lupa waktu.
"Ma, Kak, Alin lanjut kerja dulu. Nanti malam kita telponan lagi," kataku.
"Hati-hati di sana, jangan nakal, jangan neko-neko dan jangan lupa jaga kesehatan," pesan Mama.
"Iya, Ma." Aku mematikan sambungan telepon.
Aku mencuci muka, untuk menghilangkan rasa kantuk yang mulai menyerang, tiba-tiba ada seseorang berdiri di sebelahku.
"Astaga!" aku memekik kaget.
"Kayak hantu aja tiba-tiba nongol," ujar Alin sambil mengelap wajahnya dengan sapu tangan.
"Emangnya ada hantu ganteng?" tanya Randi.
"Memangnya situ ganteng?" balasku sambil mengoleskan lipbalm.
"Kamu nggak liat mukaku mirip Billy Davidson?"
Aku langsung menoleh kearahnya. "Ih, kepedean," cibirku.
Aku menyisir rambutku dan mencepolnya.
"Tadi telponan sama siapa?" tanya sambil menatapku.
Aku menatapnya heran. "Kenapa?" Aku balik bertanya.
"Nggak pengen tau aja."
"Mama," jawabku singkat.
Aku kembali ke meja kerjaku, menyelesaikan pekerjaan yang diberikan Randi.
Siang ini suasana kantor sedang lengang, hanya terdengar suara khas dari mesin fotocopy. Beberapa staf sedang mangadakan meeting untuk menyambut hari kemerdekaan.
"Lin, malam ini kamu mau kemana?" tanya Icha.
"Nggak kemana-mana, mau tidur aja."
"Ih, keliatan banget jones-nya. Daripada tidur mendingan kita nongkrong."
"Males ah, Cha!"
"Pokoknya kandia malam ku alau!" ujar Icha mengunakan bahasa Banua
(Pokoknya nanti malam kujemput!)
"Mana Dampamu!” balasku dengan bahasa yang sama.
(Terserahmu!)
"Beh, bolehlah. Talla pintar kau bebahasa banua, Lai."
(Wow, boleh juga. Sudah pintar kamu berbahasa Berau, Sist.)
"Awu lah," ucapku bangga.
(Iya dong.)
Sesuai ucapannya, Icha benar-benar menjemputku menggunakan motor matiknya.
"Mau kemana?" tanyaku.
"Ketepian lah. Memangnya mau kemana lagi. Disini nggak kayak di kotamu, banyak pilihan tempat nongkrong."
"Bonceng aku ya, Lin," pinta Icha.
"Aku belum hapal jalan. Nanti kalau nyasar, gimana?"
"Di sini nggak bakalan nyasar. Rute jalannya cuma itu-itu aja. Cepetan!" paksanya dengan mendorong bahuku pelan.
Malam ini aku mengenakan celana jeans berwarna Biru muda dipadukan dengan Sweater berwarna soft pink, sedangkan Icha mengenakan celana jeans hitam dengan kaos oblong berwarna Abu-abu.
Aku mengendarai motor dengan santai, sambil bercerita dengan Icha.
Icha mengajakku untuk mengelilingi kota.
"Keliling dulu, biar kamu tau nama-nama jalan disini," ucapnya.
Tepian sungai Segah merupakan salah satu tempat nongkrong favorit warga Berau. Tempat ini selalu ramai pada malam hari, terutama di malam minggu. Rombong para penjual aneka makanan khas dari berbagai daerah berjejer rapi di sepanjang tepian sungai. Suara deru mesin ketinting menjadi ciri khas saat bersantai di tempat ini.
Ada tiga wilayah kecamatan yang dipisahkan oleh sungai. Hal ini membuat sebagian warga lebih memilih menggunakan jasa taksi air untuk pergi ke kecamatan seberang, karena lebih cepat daripada melewati jalur darat.
Puas berkeliling, kami berhenti di depan salah satu rombong yang menjual empek-empek.
Kami duduk menghadap ke sungai, menikmati suasana malam di kota ini. Cahaya lampu yang dipancarkan oleh kapal tongkang batu bara memantul indah di permukaan air.
Suasana mala mini sangat ramai. Kendaraan yang di d******i oleh roda dua berlalu-lalang memadati jalan raya. Banyak muda-mudi yang menghabiskan malam ini dengan berkencan atau berkumpul bersama teman.
Bagi kaum jomblo seperti kami, malam minggu adalah malam yang paling horror. Bagaimana tidak, di sepanjang jalan tadi mata kami disuguhi pemandangan romantis ala ABG, berboncengan dengan si wanita memeluk erat perut lelakinya. Seperti dua buah magnet yang saling menempel, lengket banget.
Ah, Mata polosku ternodai.
Tak jauh berbeda dengan di jalan raya, di tepian pun seperti itu, duduk saling menyandarkan kepala, merangkul bahu, menggenggam tangan, dan ada juga adegan bersuap-suapan.
Oh, astaga! Bikin iri saja. Harusnya aku bobo cantik saja di kamar kost.
"Miris banget nasib kita malam ini, Cha. Noleh ke kiri, orang sender-senderan. Tengok ke kanan, adegan suap-suapan. Liat ke belakang, ada yang rangkul-rangkulan." ujarku.
"Hahaha," Icha tergelak. "Nasib jomblo, Lin."
Sekarang kami duduk saling berhadapan.
"Kalau kemarin kamu nerima si Adit, malam ini kamu nggak bakalan jomblo, Lin."
Kenapa Icha jadi mengungkit masalah itu.
"Kalau aku nggak suka, masa harus aku terima," ujarku.
"Lin," panggil Icha sambil mencolek pinggangku.
"Hmm ..., kenapa?" jawabku tanpa memperhatikan Icha. Aku sedang berbalas pesan dengan teman-temanku di Balikpapan.
"Itu bukannya Mas Randi, ya?" dagu Icha mengarah pada pria dengan tampilan kasual.
"Cewek baru lagi. Ck ..., benar-benar playboy kentang," sambungnya.
Kulihat Randi menggandeng tangan seorang wanita muda saat menyeberangi jalan. Dia berjalan ke arah kami duduk.
"Mas, Randi," panggil Icha sambil melambaikan tangan.
Randi menghapiri kami setelah memesan sesuatu pada pemilik rombong.
"Oh, jadi selera Mas Randi sudah berubah? Sekarang sukanya sama yang baru menetas, ya?" ledek Icha.
Ya, Ampun ... sepertinya filter mulut Icha sedang bocor. Besok aku harus mengorderkan filter baru untuknya, agar mulutnya tidak asal jeplak.
"Ngawur! Dia ini adikku, Rena," bantah Randi.
"Rena, kenalan dulu sama mereka," perintah Randi pada adiknya.
"Rena, Kak," ucapnya memperkenalkan diri. Menjabat tangan kami satu per satu
"Alin,"
"Icha,"
"Kalian berdua aja?" tanya Randi.
"Nggak, berempat sama pacar kami," sahut Icha sekenanya.
Randi terkejut. Raut wajah berubah, seperti sedang menahan emosi.
"Yang mana orangnya?" tanyanya lagi sambil celingak-celinguk memeperhatikan orang-orang di sekitar kami.
"Cuma orang beriman yang bisa liat pacar kami," ujar Icha santai.
Aku dan Rena tetawa.
Randi ingin menoyor kepala Icha, tapi dengan sigap Icha menghindar.
"Kirain beneran," ucapnya terlihat lega.
"Tumben nggak jalan sama pacarnya?" Icha bertanya lagi.
"Nggak punya."
"Ah, masa playboy cap kentang nggak punya pacar?"
"Kak Randi memang nggak punya pacar, Kak." Rena membenarkan ucapan Kakaknya.
"Dengerin tuh." Randi merasa senang karena mendapat pembelaan dari sang adik.
"Sebenernya, tadi Kak Randi disu—"
Randi menyela ucapan Rena, "Ssst ... anak kecil nggak usah ngomong."
"Setiap orang itu punya hak untuk bicara. Mas sudah melanggar Hak Asasi Manusia," bela Icha.
Icha dan Randi terus berdebat. Selalu seperti ini jika mereka bertemu. Aku sampai pusing mendengarnya.
"Rena masih sekolah," tanyaku mengalihkan perhatian pada Rena.
"Masih, Kak. Sekarang baru kelas 8."
Kami larut dalam obrolan, menceritakan berbagai hal.
Waktu terus bergulir, tak terasa sudah jam 10 lewat. Aku harus pulang, sebelum Mama menelpon.
"Biar aku yang bayar," ucap Randi menahan tanganku, saat aku akan membayar.
"Sering-sering traktir kami ya, Mas," kata Icha.
Icha sudah bersiap untuk melajukan motornya. Kali ini aku yang duduk si belakang.
"Hati-hati," kata Randi sambil tersenyum.
Icha pun melajukan motornya.
"Lin, kayaknya Mas Randi naksir kamu?" tebak Icha.
"Nggak mungkinlah. Yang ada dia benci sama aku. Setiap hari dia nyikasa aku sama kerjaan."
"Ish, kamu ini nggak peka banget sih, itu modusnya dia supaya bisa dekat sama kamu."
Aku diam enggan menanggapi ocehan Icha, karena mataku sudah terasa berat.
"Dia itu sering banget curi-curi pandang sama kamu," lanjutnya.
"Terserah kamu." Aku merespon malas ucapan Icha.
Aku ingin segera sampai di kamar kost. Merebahkan tubuhku yang terasa sangat lelah setelah seharian bekerja.