Clarissa menatap jalanan di ibu kota di depannya dengan tatapan lekat. Sejak sampai di Jakarta, dia hanya diam dan tidak mengatakan apa pun. Bibirnya hanya bungkam dan tangan yang sibuk mengelus pelan puncak kepala putrinya. Tidak ada semangat sama sekali di wajahnya. Clarissa memejamkan mata, berusaha mengusir sakit yang kembali dirasakan. Jika memiliki pilihan lain, dia akan menolak permintaan atasannya. Dia akan memilih tetap di Jogja dan enggan menapak di kota dengan seribu luka tersebut. Sayangnya, aku tidak memiliki pilihan sama sekali. Oliv semakin besar dan aku harus menghilangkan keegoisanku, batin Clarissa. Perlahan, dia membuka mata, menatap jalanan yang terasa memilukan. Meski di tempat berbeda, tetapi tetap saja dia masih merasakan sakit ketika berada di kota tersebut. “Sud