Part 2
Tiba-tiba mahluk itu menoleh ke arahnya dan membuat Zein sedikit kaget. Namun, dengan cepat dia bisa menguasai diri dan mulai membangun pagar gaib di sekeliling tubuhnya dan Rima.
"Jauh dikit!" titah Zein pada Rima yang semakin menempel erat di punggungnya. Hawa dingin dari tubuh hantu perempuan bergaun cempaka itu sedikit mengganggunya.
"Nggak mau!" jawab Rima dengan berbisik.
"Dingin tau!"
"Diam ahh! Aku takut!" rajuk perempuan berwajah manis itu dengan suara bergetar.
Susah payah Zein menahan tawanya, ucapan Rima barusan itu benar-benar menggelikan. "Masa hantu takut sama hantu?" tanya Zein.
"Hantu yang itu menyeramkan. Aku kan hantu cantik," kilah Rima yang tak ayal membuat Zein tersenyum.
Salah satu alasan dia membiarkan Rima untuk mengikuti dirinya, adalah karena sifat humoris perempuan itu, yang sangat polos dan selalu bisa membuatnya tertawa.
Sosok hantu berpakaian hitam di dekat lift itu bergerak meninggalkan Zein dan Rima yang masih mematung. Hantu itu terus melaju menelusuri lorong di depannya.
Didorong rasa penasaran yang cukup tinggi, akhirnya Zein berjalan dengan cepat untuk mengejar sosok hantu yang menyeramkan, menurut Rima.
Lorong yang dilewati Zein ini sangat sepi. Sampai di depan lift, pria bertubuh tinggi itu berbelok ke kiri. Langkah kakinya terhenti karena lorong di depannya tampak sedikit gelap.
Lampu-lampu di sepanjang lorong entah kenapa tidak bersinar terang. Padahal menyala semuanya.
Sentuhan di lengan kiri membuatnya menoleh. Rima memandanginya dengan raut wajah khawatir. "Nggak usah dikejar! Kita balik lagi ke kamar, ya," rengek perempuan itu dengan manja.
Zein menghela napas dan mengembuskannya dengan cepat. Sepertinya dia harus membiasakan diri untuk menerima sikap Rima yang manja ini setiap hari.
"Ya udah. Ayok!" ajak Zein sembari membalikkan tubuh. Dia berjalan cepat sambil menggeret Rima yang masih mencengkram lengannya. Membawa hantu itu masuk ke unit dan mengunci pintunya. Memasang pagar gaib agar tidak ada yang bisa melintas.
"Kok dipagarin?" protes Rima.
"Mau hantu tadi masuk ke sini?" Zein balik bertanya.
Rima menggeleng.
"Kalo gitu, diam aja. Nggak usah banyak protes!" tegas Zein.
"Berarti aku juga nggak bisa keluar dong?"
"Mau ngapain juga keluar? Udah. Diam di sini. Dan jangan coba-coba masuk ke kamar. Nanti sayangku bisa jerit-jerit ngelihat kamu!" perintah Zein yang sontak membuat Rima mencebik.
Pria itu kembali merebahkan diri di atas karpet tebal. Di sebelah kanannya tampak Adi masih tertidur pulas.
Zein berbaring miring ke kiri. Tatapannya bersirobok dengan mata bulat Rima, yang rupanya ikut tidur di sebelahnya.
"Bikin kaget aja!" desis Zein.
Rima mengulurkan lidah, meledek sahabatnya yang sedang menguap. Saat Zein menutup mata, Rima memperhatikan wajah pria itu dengan saksama.
Gerakan tiba-tiba dari Ivan yang langsung duduk di tempatnya, membuat Rima terkejut. Dia nyaris lupa menyamarkan diri. Untungnya di detik-detik terakhir dia segera menutupi dirinya dengan baik. Membuat Ivan yang masih mengantuk menjadi bingung.
Pria itu mengucek mata beberapa kali untuk memastikan penglihatan. Namun, setelah menyadari tidak ada siapa pun di sebelah kiri Zein, akhirnya Ivan merebahkan diri kembali dan melanjutkan tidurnya.
***
Pagi menjelang dengan suara peralatan masak yang beradu di dapur.
Zein menggeliat untuk melemaskan otot-ototnya yang kaku. Melihat Adi yang masih tertidur di sebelah kanannya, membuat Zein teringat masa kuliah dulu. Di mana dia dan Adi, serta Firman si cumi gendut, pernah menghabiskan beberapa malam tidur hanya dengan beralaskan tikar.
Mereka bertiga, Zein si gurita, Adi si paus beluga, dan Firman si cumi gendut, bersahabat sejak di tahun pertama mereka kuliah.
Persahabatan yang akhirnya menjadi persaudaraan yang kuat. Walaupun terpisah jarak, hubungan ketiganya masih sangat akrab.
Saat Zein kembali bertugas di Bandung, Firman menyambutnya dengan penuh suka cita. Beberapa waktu Zein tinggal di rumah Firman, sebelum akhirnya pindah ke kontrakan rumah petak, tempat di mana dia bertemu dengan Triska dan teman-teman lainnya. Sekaligus menjadi tempat pertemuannya dengan Rima.
"Hmm ... ke mana hantu centil itu, ya?" batin Zein. Dia bangun dan duduk dengan punggung tegak. Menyapukan pandangan ke sekeliling, tapi tetap tidak bisa menemukan Rima.
"Bang," panggil Triska yang muncul dari dapur. "Kopinya mau dibuatin sekarang?" tanya perempuan pujaan hati yang tampak segar sekali di pagi ini.
"Boleh," jawab Zein sambil berdiri. Pria itu menyambar handuk di sandaran kursi, kemudian jalan masuk ke kamar mandi. Bersemedi dengan damai sembari berkhayal kehidupan selanjutnya.
Sementara itu, Ary dan Rama yang baru saja bangun, beranjak ke meja makan bulat dan termenung sejenak.
"Kalian mau minum kopi atau teh?" tanya Tia seraya mengulum senyum. Melihat gaya kedua temannya yang masih belum kumpul nyawanya itu, membuat Tia tak mampu menahan rasa ingin tersenyum.
"Aku mau teh manis aja. Gelas gede," jawab Rama.
"Kalo aku mau kopi hitam aja. Gulanya sedikit," sela Ary sembari menelungkupkan tangan di atas meja. Dia merebahkan kepala di atas tangan. Memejamkan mata untuk mengumpulkan nyawa yang masih beterbangan.
Dengan tangkas Tia menyiapkan minuman untuk kedua pria tersebut. Tinggal dan hidup bersama mereka selama satu tahun lebih, membuatnya hafal dengan selera minuman masing-masing.
Sementara itu Triska melanjutkan kegiatan memasak mie goreng untuk menu sarapan mereka semua. Dia dan ketiga perempuan penghuni kontrakan, sudah terbiasa menjadi koki dan menyiapkan makanan untuk orang satu rumah.
Hal yang masih dilakukannya sampai sekarang, walaupun dengan jumlah orang yang berkurang dua manusia. Yaitu Hasni, dan sebentar lagi Zein juga akan jarang untuk bisa menikmati hasil masakannya.
Tanpa sadar Triska menghela napas dan mengembuskan perlahan. Mencoba mengusir rasa gundah dalam hati karena akan terpisah jarak dengan pria kekasih hatinya.
Tia yang melihat sahabatnya itu sedang melamun, menowel lengan Triska yang sontak terjaga. "Sabar. Pisahnya cuma sebentar kan. Bulan depan udah nikahan," ucap Tia lembut.
Triska tersenyum dan mengangguk pelan. Semburat merah muda menghiasi pipinya yang putih bersih. Mengingat beberapa minggu lagi kedua orang tua Zein akan datang beserta keluarga besarnya. Untuk bertemu dengannya, sekaligus melamar dan langsung menikahkan dirinya dan Zein.
"Aih. Melamun lagi," ledek Tia yang akhirnya mengambil alih kegiatan memasak dan menyuruh Triska untuk duduk.
"Ada siapa di kamar mandi?" tanya Adi yang tiba-tiba saja bangun dan duduk.
"Ada abang," jawab Triska sembari duduk di sebelah Rama.
Adi langsung bangkit dan lari ke kamar mandi. Menggedor pintu dengan semangat sambil meringis menahan perutnya yang melilit.
"Kebiasaan deh. Zein kalo mandi itu pasti lama!" keluhnya.
"Gitu emang. Makanya sering diomelin Triska," sahut Rama.
"Ho oh. Awal-awal pindah ke kontrakan, omelan Teteh tiap pagi itu bikin kaget. Tapi sekarang jarang dengar Teteh ngomel, asa aneh oge," sahut Ary dengan logat Sunda yang kental.
(Asa aneh oge = Terasa aneh juga)
"Jangan mancing, Ry. Ntar dia beneran ngomel lagi, kita yang repot nyari sumpalan telinga," seloroh Rama yang mendapatkan hadiah cubitan di lengan dari Triska.
"Entar nggak ada aku, kalian bakalan kangen!" sela Triska seraya tersenyum lebar.
Tawa mereka bergema di ruangan itu dan mengagetkan Ivan yang sontak terbangun. "Aya naon?" tanyanya dengan raut wajah bingung.
(Ada apa?)
Sontak saja kelima orang teman-temannya kembali tertawa. Membuat Ivan meringis malu sambil menggaruk belakang kepalanya.