Duda keren mencari cinta

1019 Kata
Part 3 Zein melambaikan tangan pada teman-temannya yang sudah siap untuk berangkat. Melepas mereka dengan hati yang sedih. Memandangi raut wajah perempuan yang dicintainya seraya tersenyum. Walaupun hatinya sedih tapi dia tetap berusaha untuk tidak menampakkannya, terutama agar Triska tidak menangis lagi. Perempuan itu menyusut bulir bening di sudut mata sambil membalas lambaian tangan kekasihnya yang sedang berdiri tegak di samping Adi. "Sabar. Minggu depan kan ketemu lagi," ucap Tia sambil menepuk-nepuk punggung lengan Triska. Dia sangat paham dengan perasaan sahabatnya saat ini. Bila dia berada di posisi Triska saat ini, dia pasti akan merasakan hal yang sama. Mobil yang dikemudikan oleh Ivan mulai meninggalkan parkiran basement. Setelah keluar maka Ivan pun menambahkan kecepatan. Melaju di jalan raya besar dan cukup mulus. Sementara itu Zein dan Adi beranjak kembali ke lift. Tiba di lantai tiga pintu lift terbuka. Namun, tidak ada satu orang pun yang menunggu di luar sana. Kedua pria itu saling beradu pandang sejenak. Sebelum akhirnya mereka keluar dari lift dan jalan bersama melewati lorong panjang di lantai ini. Mereka bertemu dengan beberapa orang penghuni. Ada yang tersenyum menyapa, ada pula yang tidak memperhatikan kedua sahabat itu yang tetap melanjutkan langkah kaki mereka. Tiba-tiba Zein berhenti di depan sebuah pintu yang bernomor tiga puluh tiga. Pria itu memandangi pintu dengan tatapan yang tajam. Seolah hendak menembus benda keras itu dan melihat isinya. "Ada apa?" tanya Adi. "Energinya terasa sangat besar di sini," jawab Zein. Seorang perempuan keluar dari pintu unit sebelah. Dia memandangi kedua orang pria yang balas memandanginya seraya tersenyum. "Cari siapa, Mas?" tanya perempuan bersuara lembut tersebut. "Ehm. Penghuni di sini, ada nggak, ya?" Zein balik bertanya. "Kayaknya nggak ada. Penghuninya jarang ada di sini," sahut perempuan berambut ikal sebahu itu. "Oww. Oke. Betewe, perkenalkan, saya Zein. Penghuni di lantai lima." Zein mengulurkan tangan kanan. Perempuan itu tampak ragu sesaat, sebelum akhirnya menjabat uluran tangan pria tampan di depannya. Kemudian beralih menyalami pria bertubuh tinggi besar yang memandanginya dengan sorot mata yang aneh. "Nama Mbak, siapa? Aku, Adi," ujar pria itu. Senyuman tersungging di wajahnya yang tampan dengan garis wajah yang tegas. "Ooo, iya. Sampai lupa memperkenalkan diri. Aku, Eva," jawab perempuan berwajah cantik itu. Dia membalas senyuman Adi yang tampak semakin melebar. Zein menyikut perut samping Adi hingga sahabatnya itu menyadari bahwa dia sedang melamun. Setelahnya Zein berpamitan pada Eva sembari menggusur tubuh besar Adi yang melambaikan tangan dengan centil pada Eva yang tertawa kecil. "Malu-maluin!" omel Zein. "Biarin atuhlah. Namanya juga usaha. Duda keren mencari cinta yang baru," sahut Adi sambil terkekeh. *** Malam hari yang sangat sepi buat Zein. Selama satu tahun terakhir dia tinggal di lingkungan yang ramai. Selalu dikelilingi orang-orang baik. Mulai dari karyawan di kantor, rumah kontrakan, sampai kembali lagi ke rumah Firman. Pria bertubuh gagah itu duduk di sofa seorang diri. Mengunyah cemilan sambil menonton televisi. Sesekali dia menghela napas panjang dan mengembuskan perlahan. Mungkin dengan begitu rasa sepinya bisa berkurang. Adi telah kembali ke kontrakannya tadi sore. Dia sudah telanjur berjanji pada pemilik kontrakan yaitu Mbak Tita, untuk menghadiri peringatan seribu hari kematian ayahnya Mbak Tita. Di lingkungan masyarakat kita hal tersebut sudah menjadi tradisi yang mengakar. Padahal, itu adalah tradisi dari umat Hindu. Jadi, sekarang hanya sebagian dari orang muslim saja yang masih mengadakan peringatan seperti itu. Sebagian lagi sudah tidak melaksanakannya karena memang tidak ada ketentuan seperti itu di dalam agama Islam. Malam beranjak larut. Suasana di lorong pun semakin sepi. Sudah tidak ada lagi langkah kaki para penghuni ataupun jeritan anak kecil. Zein tadi sudah berkenalan dengan beberapa orang tetangganya. Kebanyakan dari mereka adalah pasangan keluarga muda. Seperti halnya tetangga di sebelah kanan unitnya. Pasangan yang sedang menantikan kelahiran anak pertama mereka, ternyata adalah orang-orang yang ramah. Namira dan Faisal, nama pasangan itu. Tanpa sungkan mereka mengetuk pintu unit Zein tadi siang untuk mengantarkan kue, yang sekarang sedang dinikmatinya. Ditemani segelas teh es manis dan Rima yang duduk di kursi dekat jendela. "Coba kalo muncul itu jangan ngagetin!" Protes Zein. "Terus aku harus gimana? Bilang punten gitu?" Sahut Rima dengan santai. Dia tampak sibuk merapikan kuku-kukunya yang panjang. (Punten = permisi) "Iya. Biar aku nggak kaget," ujar Zein yang masih terus mengunyah kue hingga habis tidak bersisa. Rima menghentikan aktivitas dan melayang mendekati Zein. Duduk di sofa sebelah sahabatnya itu sambil ikut menonton televisi. Zein yang merasa sedikit terganggu akhirnya menggeser duduknya menjauh. Mengangkat satu kaki dan menumpangkannya ke lutut kaki yang lain. "Abang," panggil Rima. "Hmm?" "Kapan sih acara nikahannya?" Zein menoleh dan tampak berpikir sejenak sebelum menjawab. "Belum tahu. Orang tuaku baru datang awal bulan depan. Semoga acara pernikahan bisa langsung dilaksanakan." "Terus, nanti Triska bakal tinggal di sini?" "Rencananya begitu. Nggak mungkin tinggal misah-misah kan." "Terus, aku gimana?" Sejenak hening. Zein sedikit bingung hendak menjawab apa. "Aku tetap di sini, ya, Bang. Jangan disuruh pergi," pujuk perempuan berwajah manis itu dengan manja. "Boleh aja. Tapi janji, nggak boleh ngintip kami di kamar. Terus, jangan menampakkan diri di depan Triska bila aku lagi gak ada," sahut Zein. "Bukannya dia udah tahu kalo aku di sini?" "Dia tahu. Tapi mendingan jangan diganggu. Kasihan, ntar sawan dia." "Emangnya aku menyeramkan apa? Orang cantik begini!" Omel Rima sembari memanyunkan bibir dan membuat Zein tertawa. "Pokoknya jangan! Kalo sampai berani nongol, siap-siap diusir!" Tegas Zein yang membuat Rima semakin merengut. Hantu itu lantas berdiri dan jalan menjauh sambil menghentak-hentakkan kaki. Dia berpindah duduk kembali ke dekat jendela. Memandang keluar masih dengan menggerutu. Zein menggeleng-geleng melihat tingkah Rima. Kemudian dia mengambil remote dan mematikan televisi. Bangkit dari sofa dan masuk ke kamar mandi. Beberapa menit kemudian pria berwajah tampan itu keluar sambil menyeka wajahnya yang basah dengan handuk. Tangannya menyentuh saklar lampu dan mematikan benda itu di bagian ruang tamu. Menyisakan hanya lampu ruang makan yang masih menyala. Kemudian jalan masuk ke kamar. Mengunci pintu dan memasang pagar gaib di sekeliling ruangan. Berjaga-jaga agar Rima tidak masuk ke dalam kamar dan mengganggu tidurnya. Hantu perempuan itu masih bersungut-sungut. Dia merasa bosan untuk tetap tinggal di sini. Namun, untuk keluar dia juga merasa takut. Ngeri bila nantinya akan ketemu dengan mahluk tak kasat mata lainnya yang menyeramkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN