Tempat yang dipilih Gala adalah sebuah restoran cepat saji yang menjual berbagai olahan ayam. Tak hanya ayam krispi, di sini juga ada nugget, dimsum, hingga sate taichan. Semua menu bisa memesan sambal secara terpisah. Ada banyak sekali jenis sambal yang berada di buku menu, dan Gala memesan semuanya. Tak tanggung-tanggung, Gala memenuhi meja dengan makanan.
Sepertinya Gala memang sedang berusaha untuk membuat Elisha bangkrut. Atau ini adalah salah satu cara balas dendam secara sembunyi-bunyi?
Sabar, Elisha. Demi masa depan yang cerah dan pensiun umur lima puluh tahun.
"Kamu yakin bisa ngabisin semuanya?" Elisha bertanya sambil menaikkan sebelah alis. Gala itu punya bentuk tubuh yang enggak terlalu kurus, tapi juga enggak gemuk juga. Dengan makanan sebanyak ini, bagaimana cara Gala untuk menjaga bentuk badannya?
Gala mengulas senyum tipis. "Kan, ada lo. Gue nggak ngabisin ini sendirian." Dia kemudian mengambil nugget ayam dan mencocolnya di sambal terasi, kemudian mengunyahnya perlahan. "Kalau kita berdua bisa ngabisin semua makanan yang ada di meja ini, gue bakal langsung tanda tangan kontrak."
Mulut Elisha setengah terbuka tak percaya. "Kamu gila ya? Udah enggak waras? Kamu pikir aku babi? Kontrak ini bukan perkara main-main. Jangan seenaknya."
"Gue enggak pernah maksa." Gala mengangkat bahunya dengan santai. Dia kemudian mengambil sepotong paha ayam dan menggigitnya sambil mendesah nikmat. "Kalau enggak mau ya udah. Toh, ini juga win-win solution buat kita. Coba pikirin lagi."
Memang pintar sekali Gala membalikkan kalimat Elisha. Sekarang justru Elisha sendiri yang kena getahnya. Cowok satu ini memang luar biasa random.
Elisha selalu menjaga pola makannya agar memiliki bentuk tubuh yang ideal. Dia hanya makan buah di malam hari, sereal rendah lemak di pagi hari, dan berusaha hanya makan fastfood sebulan sekali meski Elisha sangat menyukainya. Dia bahkan selalu rutin ke gym seminggu tiga kali agar kulit-kulitnya tampak kencang dan sehat.
Kemudian, Gala malah meminta Elisha untuk makan fast food? Enggak hanya sepiring, tapi satu meja penuh? Dia pasti ingin membuat Elisha mati kekenyangan.
"Aku nggak bisa kalau harus makan banyak," balas Elisha akhirnya, setelah berpikir cukup lama. "Kamu nggak punya syarat lain yang lebih masuk akal?"
Gala itu memang songongnya luar biasa. Dia merasa seolah sudah memiliki segalanya padahal hanya kebetulan dianugerahi otak yang cukup cerdas. Bagaimana bisa dia menolak uang yang nilainya miliaran? Padahal belum tentu juga bisnisnya akan berhasil, sebagus apapun konsep yang dia miliki.
Bagi Elisha, Gala tidak lebih dari cowok bau kencur yang sok jago dan berpikir bahwa seluruh dunia berputar hanya padanya. Si bocah freak yang suka menggampangkan sesuatu. Tipe orang yang ketika jatuh, akan langsung terpuruk dan bunuh diri.
"Kenapa makan ayam jadi sesuatu yang enggak masuk akal?" Sebelah alis Gala terangkat naik. Dia punya tipe alis yang tebal dan berserat, dengan lekukan sempurna yang bisa menonjolkan matanya yang berbentuk seperti bulan separuh. "Lagian lo enggak makan sendirian ini, tapi sama gue."
Elisha memiringkan kepala. Dia menatap Gala dengan sorot ragu. "Aku nggak yakin kalau kamu bisa ngabisin semua ini." Elisha melirik sepiring nasi dengan posi setengah miliknya. "Aku cuma mampu ngabisin nasi ini sama paha ayam satu."
"Lo ngeraguin kemampuan gue," balas Gala santai. Dia kembali mencomot sayap ayam dan memakannya dengan begitu lahap. "Kalau begitu, tawarannya udah ngga berlaku mulai detik ini."
"Tapi aku belum selesai negosiasinya," balas Eila cepat, tidak mau kalah. "Gimana kalau tambah sepiring nugget?"
Gala menggeleng. Mulutnya sudah penuh dengan makanan hingga pipinya menggembung. Satu jam kemudian, seluruh makanan yang berada di atas meja sudah ludes dan hanya menyisakan piring kosong berisi tulang. Gala menyandarkan punggung dan bersendawa. Dia menepuk-nepuk perutnya yang masih rata.
Ke mana perginya semua makanan itu?
Elisha masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, mendadak merasa menyesal karena tidak mengiyakan saja syarat dari Gala tanpa banyak tingkah. Kalau sudah begini, bagaimana cara Elisha untuk membujuk Gala lagi?
Ah, sial.
Kepala Elisha rasanya ingin pecah.
"Makasih buat makanannya," kata Gala, tersenyum manis. Dia kemudian berdiri dan mengambil tas selempang warna hitamnya. Gala mengedipkan mata sekilas sebelum melambaikan tangan dan beranjak pergi. "Bye, Elisha."
Melihat Gala yang pergi tanpa sepatah kata pun lagi, Elisha hanya bisa menghantamkan keningnya ke atas meja sambil mendesah.
Astaga, kenapa hidup bisa semengerikan ini, sih?
***
Rahma menghubungi Dana untuk makan malam bersama, tetapi cowok itu bilang bahwa dia sedang lembur. Mama dan Papa sedang pergi dinas ke luar kota, dan Rahma hanya sendirian di rumah. Sementara itu, Elisha dan Vara tidak bisa dihubungi. Karenanya, Rahma nekat pergi ke street food sendirian kayak orang jomblo.
Ada banyak sekali jajanan malam yang Rahma suka, terutama makanan khas Korea Selatan. Sama seperti Vara, Rahma juga mengagumi negara itu karena drama dan idol grup-nya yang melegenda. Akibat sering nonton drama, Rahma jadi ikut keracunan jajanan Korea.
Pilihan Rahma langsung tertuju pada Korean fish cake yang sedang digoreng hangat-hangat. Antriannya tidak terlalu banyak. Rahma memesan isian sosis dan keju mozarella. Memang agak berlemak untuk makan malam, tetapi enggak apa-apa, sesekali.
“Gamsahamida,” ujar Rahma setelah menerima kue ikan itu dan mendapatkan kembalian. Rahma baru akan mencari tempat duduk saat tiba-tiba seseorang berlari dari arah berlawan dan menabrak Rahma hingga terjatuh.
Pantat Rahma mendarat lebih dulu, disusul sikunya. Dia berteriak kesakitan, menatap fish cake-nya yang jatuh dengan mata berkaca-kaca.
“Maaf, maafin saya.” Sebuah tangan besar terulur.
Karena jengkel, Rahma mengabaikan tangan itu dan berdiri dengan kakinya sendiri. Rasa nyeri di siku Rahma terabaikan akibat gemuruh amarah yang hampir meledak di kepalanya. “Kalau jalan pakai mata dong! Gara-gara lo nih! Fish cake gue jatuh! Padahal gue udah nunggu hampir setengah jam buat makan ini.”
“Maafkan saya. Biar saya ganti. Dua kali lipat.” Pria itu berujar dengan nada bersalah. Kepalanya tertunduk dalam. “Saya lagi buru-buru. Maafin saya.”
“Ganti uang sih gampang. Tapi apa bisa lo ganti waktu gue yang berharga?” Rahma tidak bisa menebak usia pria itu karena dia menutupi kepalanya dengan tudung jaket. Mulutnya juga terselubung masker. “Sialan emang. Dikira jalan ini punya nenek moyang lo apa.”
“Maaf, maafin saya.”
Bisik-bisik orang sekitar mulai membuat Rahma jengah dan menyadari situasi. Nyaris semua pasang mata menatap ke arahnya. Rahma berdeham, kemudian menarik lengan cowok itu agar mengikutinya. “Kita bicarain ini di tempat lain.”
Menurut, Rahma membawa cowok asing ini ke pojok sepi. Mood Rahma untuk makan fish cake sudah lenyap, jadi dia mungkin hanya akan memaki sekali lagi dan pulang.
Rahma menatap penampilan cowok itu dari atas ke bawah. Dia menggunakan celana jeans hitam dan hoodie abu-abu yang menutupi hingga kepala. Dia menggendong sebuah tas ransel hitam. Tingginya mungkin sekitar 185 sentimeter karena Rahma harus mendongak. Kemungkinan dia masih bocil SMA.
“Jangan nunduk terus. Lo mau tanggung jawab kan?” Rahma berujar dengan nada agak keras. “Gue nggak akan minta ganti rugi uang karena lo masih bocil, jadi, dengerin baik-baik.” Melihat anak itu yang tak kunjung mengangkat kepala, Rahma menepuk pundaknya keras. “Kalau ada orang ngomong itu diliat. Jangan bersikap nggak sopan.”
Perlahan, cowok itu mengangkat kepala, bersitatap dengan Rahma yang menunggu. Cahaya di antara mereka memang agak remang, tetapi Rahma masih bisa melihat dengan jelas bahwa warna iris cowok itu berbeda. Kiri berwarna biru, dan sebelah kanan berwarna coklat terang nyaris abu-abu. Kulitnya putih bersih, dengan alis tebal dan batang hidung tinggi. Sejenak, Rahma terpaku.
Cowok itu bukan bocil, melainkan pria dewasa.
Sorot mata pria itu tampak gelisah. Dia buru-buru merogoh saku celananya, mengambil uang seratus ribuan dan menaruhnya di telapak tangan Rahma yang masih mematung kayak orang linglung.
“Saya minta maaf karena nggak bisa ganti waktu Anda yang berharga.” Dia meremas telapak tangan Rahma, menoleh ke sisi kanan dan kiri gelisah seolah khawatir ada orang yang mengenalinya. “Kalau begitu, saya permisi dulu.”
Setelahnya, pria itu setengah berlari meninggalkan Rahma yang masih belum tersadar dari keterkejutannya.
“Mbak, air liurnya ngeces tuh!”
Seseorang menepuk pundak Rahma dan membuatnya tersadar. Buru-buru Rahma mengusap sudut bibirnya, tetapi tidak ada apa-apa di sana. Tawa ngakak kumpulan bocah SMP itu terdengar menyebalkan. Rahma mengabaikan itu dan buru-buru mencari si pria beriris beda warna.
Namun, Rahma sudah kehilangan jejak.
Hingga kemudian, matanya berlabuh pada sosok yang tidak asing dari kejauhan. Sekali lihat saja, Rahma bisa langsung tahu kalau dia adalah Dana, calon suaminya yang paling tampan dan maha sempurna. Senyum Rahma seketika melebar. Dia mengangkat tangan. Baru saja bibir Rahma hendak terbuka, seorang wanita menghampiri Dana dengan senyum lebar dan langsung merangkul lengan Dana mesra.
Lagi-lagi, Rahma terpaku.
Dia... tidak sedang memergoki Dana selingkuh, kan?